Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Menyingkap Tabir Sidang Tertutup dalam Acara Pidana
21 Februari 2025 13:37 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Romi Hardhika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sidang atas nama Terdakwa Razman Nasution yang diselenggarakan PN Jakarta Utara pada hari Kamis (6/2) lalu berakhir ricuh. Bahkan, salah satu tim penasihat hukum Razman tampak naik ke atas meja persidangan. Berdasarkan informasi Humas PN Jakarta Utara Maryono, insiden tersebut dipicu karena Razman menolak keputusan majelis hukum untuk melanjutkan sidang secara tertutup. Pertimbangan hakim, uraian peristiwa dakwaan mengandung ”sesuatu hal-hal yang tabu” sehingga tidak layak disiarkan media. Namun, keputusan itu ditolak oleh Razman yang bersikukuh meminta agar sidang tetap dilaksanakan terbuka. Menurut pihak terdakwa, kedua pasal UU tentang ITE yang didakwakan penuntut umum sama sekali tidak mengandung rumusan unsur kesusilaan. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum acara pidana mengatur ketentuan tentang sidang terbuka atau tertutup?

Prinsip sidang terbuka untuk umum atau open court merupakan salah satu warisan kuno yang paling fundamental dalam hukum acara. Aspek ini bertujuan untuk mewujudkan persidangan yang adil (fair trial) sehingga publik dapat mengawasi secara transparan bagaimana suatu hukum ditegakkan. Dengan banyaknya mata yang mengamati, sidang terbuka mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan berdampak pada peningkatan akuntabilitas. Filsuf Jeremy Bentham bahkan menyebut bahwa “publisitas adalah jiwa keadilan” untuk “menjaga hakim itu sendiri saat mengadili”. Manfaat kedua dari sidang terbuka adalah sebagai bentuk edukasi tentang bagaimana sistem peradilan bekerja. Melalui sidang yang terbuka, khalayak umum dapat memahami proses hakim memimpin pemeriksaan, penuntut umum menjalankan tuntutan, prosedur pemeriksaan saksi dan ahli, serta bagaimana penasihat hukum membela terdakwa. Sidang terbuka juga memberikan informasi dan memudahkan aksesibilitas masyarakat mengenai jalannya perkara.
ADVERTISEMENT
Secara normatif, ketentuan mengenai sidang terbuka untuk umum tercantum di Pasal 153 ayat (3) KUHAP. Ketentuan ini menegaskan bahwa demi keperluan pemeriksaan, hakim ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum. Artinya, semua orang berhak masuk ke ruang persidangan dan menyaksikannya secara aktual. Bahkan seiring dengan perkembangan teknologi media, persidangan kini dapat disiarkan secara langsung seperti perkara kasus kopi sianida yang menjerat Jessica Wongso. Jika prinsip sidang terbuka gagal dipenuhi, maka undang-undang mengancamnya dengan konsekuensi serius, yakni putusan batal demi hukum.
Pengecualian terhadap asas terbuka untuk umum berlaku pada perkara kesusilaan atau jika terdakwanya anak. Contohnya seperti di sidang tertutup penyandang tunadaksa I Wayan Agus Suartama yang didakwa dengan UU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta sidang Anak yang terlibat dalam penganiayaan David Ozora. Sidang tertutup atau closed court bertujuan untuk melindungi privasi individu yang menjadi korban atau saksi, melindungi identitas anak di bawah umur, serta menjaga kepentingan umum yang lebih luas. Pengunjung sidang yang belum mencapai umur 17 tahun dan belum kawin juga dilarang menyaksikan pemeriksaan, demi menjaga jiwa anak dari pengaruh negatif.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA Nomor 5 Tahun 2021 yang mengatur lebih lanjut tentang pelaksanaan sidang terbuka/tertutup. Pertama, jika terdapat muatan kekerasan seksual dalam tindak pidana KDRT, akan tetapi penuntut umum tidak mendakwa dengan delik kesopanan (Pasal 281 hingga Pasal 297 KUHP), maka hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum. Hal ini bertujuan demi “memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan” terhadap korban dari rasa malu serta stigma negatif, yang mungkin terjadi jika persidangan disaksikan oleh masyarakat luas. Kedua, hakim melaksanakan sidang secara tertutup jika ada anak yang diperiksa sebagai korban atau saksi dalam perkara terdakwa dewasa. Hakim, penuntut umum, dan penasihat hukum juga wajib melepas toga dan atribut kedinasan. Peraturan tersebut diperlukan demi menghindari tekanan psikologis dan menciptakan rasa nyaman pada diri anak sebelum memberi keterangan.
ADVERTISEMENT
Beberapa praktik pemeriksaan membuktikan bahwa telah terjadi perkembangan dinamika sidang terbuka/tertutup di luar regulasi di atas. Sebagai contoh di tahun 2022, khusus ketika Terdakwa Putri Candrawathi menerangkan peristiwa “pelecehan seksual” yang ia alami, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan agar sidang dilaksanakan tertutup untuk umum. Namun, jika menilik surat dakwaan, istri mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo tersebut sebenarnya hanya didakwa dengan delik turut serta melakukan pembunuhan berencana. Sebelumnya, majelis hakim yang sama juga menyatakan sidang tertutup ketika memeriksa ahli DNA. Pertimbangannya, keterangan ahli berpotensi menimbulkan penyalahgunaan informasi jika tersebar luas. Padahal jika merujuk KUHAP dan SEMA, kedua materi tersebut tidak termasuk sebagai kriteria perkara kesusilaan, KDRT, atau yang melibatkan anak.
ADVERTISEMENT
Aspek keamanan dan ketertiban umum juga menjadi pertimbangan PN Surabaya ketika menggelar sidang tertutup tragedi Kanjuruhan. Insiden yang menewaskan 135 orang tersebut dijaga secara ketat dengan melarang media menyiarkan secara langsung, serta menghimbau massa dari Aremania untuk tidak datang. Alasannya, kapasitas ruang sidang sangat terbatas sehingga berpotensi mengganggu acara persidangan yang lain. Padahal, Pasal 153 KUHAP sebenarnya tidak mencantumkan faktor keamanan sebagai alasan pelaksanaan sidang tertutup.
Seluruh studi kasus di atas menunjukkan bahwa dinamika hukum acara menghendaki perluasan alasan pelaksanaan sidang tertutup di luar KUHAP dan SEMA. Dalam perkembangannya, penilaian hakim tidak sekedar terbatas pada kualifikasi pasal dakwaan, melainkan meliputi aspek substansial dan karakteristik materi perkara itu sendiri. Pertimbangan hakim kini bahkan dapat menyangkut aspek keamanan dan ketertiban, indikator yang sebenarnya tidak termuat secara eksplisit dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP.
ADVERTISEMENT
Perluasan tafsir sidang tertutup juga diterapkan dalam perkara Nomor 1057/Pid.Sus/2024/PN Jkt.Utr atas nama Razman Nasution. Menurut majelis hakim, uraian peristiwa pada surat dakwaan mengandung materi yang mengandung kesusilaan dan seksualitas. Maka dari itu, PN Jakarta Utara memutuskan untuk menggelar sidang secara tertutup, walaupun penuntut umum hanya mendakwa dengan pasal UU tentang ITE yang sama sekali tidak mengandung unsur kesusilaan. Hal ini menunjukkan bahwa hakim dapat menafsirkan ketentuan sidang terbuka/tertutup secara ekstensif, dengan mempertimbangkan sensitivitas perkara, nilai moral yang berlaku di masyarakat, serta dampak sosial yang mungkin timbul.
Konsekuensi dari berlangsungnya sidang tertutup tidak hanya memengaruhi proses pemeriksaan, melainkan berimbas pula pada pengaburan data putusan. Berdasarkan SK Ketua Mahkamah Agung Nomor: 2-144/KMA/SK/VIII/2022, pengadilan wajib mengaburkan identitas saksi korban dan saksi lainnya dalam “tindak pidana lain yang menurut hukum persidangannya dilakukan secara tertutup”. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan privasi individu merupakan aspek krusial dalam penyelenggaraan keterbukaan informasi publik. Ke depan, diharapkan tafsir ekstensif sidang tertutup dengan pengaburan data di pengadilan dapat terintegrasi sejak awal perkara didaftarkan. Dengan demikian, data-data dan identitas privat di uraian dakwaan Sistem Informasi Penelusuran dapat terlindungi secara menyeluruh. Bukankah sia-sia melaksanakan sidang tertutup jika toh substansi dakwaannya tetap terbuka untuk publik?
ADVERTISEMENT