Konten dari Pengguna

Ragam Penghambat Pelaksanaan Surat Tercatat

Romi Hardhika
Berprofesi sebagai hakim yang hobi bermain piano. Saat ini berdinas di Pengadilan Negeri Pare-Pare
23 September 2024 14:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Romi Hardhika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Relaas atau panggilan merupakan suatu akta otentik yang disampaikan secara resmi oleh pejabat yang berwenang kepada pihak untuk hadir di persidangan. Menurut Pasal 390 HIR, pejabat berwenang yang bertugas untuk menyampaikan relaas adalah juru sita. Suatu relaas harus diterima oleh pihak yang dituju selambat-lambatnya tiga hari kerja sebelum persidangan. Kedua kriteria tersebut selanjutnya menjadi indikator penting untuk menentukan syarat sah dan patut suatu panggilan. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka panggilan yang demikian menjadi cacat dan harus diulang kembali. Apabila batalnya suatu panggilan timbul karena kelalaian juru sita, maka ia dapat dihukum untuk mengganti biaya panggilan beserta biaya acara yang batal.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan zaman, Mahkamah Agung menilai prosedur panggilan tradisional dalam HIR/RBg sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Maka dari itu, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Panggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat. Dalam beleid ini, surat tercatat didefinisikan sebagai surat yang dialamatkan pada penerima dan dapat dibuktikan dengan tanda terima dari penerima serta menyebutkan tanggal penerimaan. Metode ini dipandang sebagai solusi yang lebih praktis dan efisien untuk menanggulangi isu keterbatasan jumlah tenaga juru sita pengadilan.
Pembinaan Mahkamah Agung mengenai surat tercatat. Sumber: Kepaniteraan Mahkamah Agung
zoom-in-whitePerbesar
Pembinaan Mahkamah Agung mengenai surat tercatat. Sumber: Kepaniteraan Mahkamah Agung
Pasca regulasi ini resmi berlaku, terjadi perubahan signifikan terhadap prosedur panggilan konvensional yang diatur dalam HIR/RBg. Pertama, peran juru sita sebagai pejabat yang berwenang untuk menyampaikan relaas kini digantikan oleh petugas atau kurir ekspedisi. Untuk saat ini, Mahkamah Agung telah menjalin kesepakatan dengan PT Pos Indonesia sebagai penyedia jasa layanan pengiriman surat tercatat melalui perjanjian kerja sama tanggal 22 Mei 2024. Namun jika diperlukan, SEMA Nomor 1 Tahun 2023 masih membuka ruang bagi pengadilan untuk berkolaborasi dengan alternatif vendor jasa pengiriman lain.
ADVERTISEMENT
Kedua, mekanisme surat tercatat memungkinkan petugas untuk menitipkan surat panggilan kepada orang dewasa lain yang tinggal serumah dengan pihak penerima. Jika alamat tujuan adalah tempat tinggal dengan akses terbatas seperti apartemen atau rusun, maka petugas cukup menyerahkan surat panggilan kepada resepsionis/petugas keamanan. Bandingkan ketentuan ini dengan bunyi teks Pasal 390 ayat (1) HIR, yakni surat dari juru sita “harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri”. Ketiga, mekanisme surat tercatat telah memanfaatkan perkembangan teknologi seperti fitur titik koordinat penerimaan (geotagging), pelacakan (tracking) pengantaran, dan unggah foto untuk memastikan akurasi beserta validitas pelaksanaan panggilan.
Dengan berbagai perubahan substansial di atas, terdapat beberapa isu dalam implementasi panggilan melalui surat tercatat. Karena merupakan aturan yang relatif baru, pemahaman mengenai mekanisme surat tercatat belum tersosialisasi secara menyeluruh. Sebagai contoh, rekan penulis pernah bercerita bahwa ada advokat yang merupakan kuasa hukum salah satu pihak menolak menerima panggilan sidang dari petugas pos. Setelah pengadilan melaksanakan panggilan ulang melalui juru sita, sang advokat mengancam akan “menggugat pengadilan” karena merasa telah dipanggil dengan prosedur yang keliru.
ADVERTISEMENT
Salah satu pihak luar lain yang terlibat dalam panggilan surat tercatat adalah kepala desa. Masih serupa dengan prosedur panggilan konvensional, petugas ekspedisi memerlukan tanda tangan dan cap kepala desa jika pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggal, rumahnya tidak berpenghuni, alamatnya tidak ditemukan, tidak tinggal di alamat tersebut, atau penerima telah meninggal dunia. Namun dalam praktiknya, ada kepala desa yang menolak untuk membubuhkan tanda tangan dan cap dikarenakan pihak yang melaksanakan panggilan bukan dari pengadilan. Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa regulasi pemanggilan dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2023 belum sepenuhnya tersosialisasi dengan optimal, terutama di kalangan eksternal pengadilan.
Kepatuhan terhadap regulasi juga menjadi poin krusial dalam pelaksaan surat tercatat. Dalam aspek ini, standar operasional prosedur internal jasa ekspedisi yang berbeda dengan regulasi surat tercatat dapat mengakibatkan kekeliruan kurir ketika melaksanakan panggilan sidang. Menurut prosedur PT Pos Indonesia, suatu pengembalian atau retur dapat terjadi jika penerima barang tidak ditemukan. Namun merujuk SEMA Nomor 1 Tahun 2023, pengembalian surat tercatat dengan alasan ini harus disertai dengan keterangan lurah/kepala desa/aparatnya. Perbedaan inilah yang terkadang kurang diperhatikan oleh kurir ekspedisi yang langsung mengembalikan surat panggilan ke pengadilan tanpa keterangan dari lurah/kepala desa/aparatnya. Kelekaan lainnya adalah kurir yang tidak mengunggah foto dan titik koordinat penerimaan surat tercatat. Akibatnya, suatu panggilan menjadi cacat prosedur sehingga harus diulang kembali. Maka dari itu, pengadilan perlu untuk melaksanakan pemantauan serta sosialisasi terhadap pelayanan jasa pengiriman secara berkala.
ADVERTISEMENT
Isu selanjutnya berkaitan dengan keterbatasan infrastruktur karena jasa ekspedisi belum mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah Indonesia. Berdasarkan penelitian Ilham & Sumarno, di Provinsi Jawa Barat saja masih ada 263 desa dan 85 kecamatan yang belum tercakup oleh PT Pos Indonesia. Di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur tempat penulis sebelumnya berdinas, terdapat 40 titik dari total 144 desa dan kelurahan yang juga belum terlayani oleh PT Pos Indonesia. Untuk menjangkau lokasi yang belum terakses oleh jasa ekspedisi, panggilan sidang terpaksa harus dilayangkan dengan metode konvensional melalui juru sita. Situasi tersebut memperlihatkan bahwa kondisi geografis beserta aksesibilitas logistik sangat memengaruhi efektivitas pelaksanaan surat tercatat.
Penerapan model surat tercatat untuk menggantikan panggilan konvensional merupakan salah satu langkah progresif untuk mewujudkan modernisasi sistem hukum. Dari sisi pengadilan, surat tercatat bermanfaat untuk menanggulangi isu klasik yang berkaitan dengan keterbatasan jumlah juru sita, terutama di kota-kota besar. Dengan berlakunya regulasi ini, pemanggilan terhadap para pihak dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan berbiaya ringan, terutama jika menyangkut relaas delegasi. Bagi penyedia jasa pengiriman, mekanisme surat tercatat berpeluang untuk meningkatkan basis pelanggan (customer base) dengan memanfaatkan setidaknya potensi 400 pengadilan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, keberhasilan implementasi regulasi ini sangat tergantung dari sosialisasi efektif kepada seluruh pihak terkait beserta aksesibilitas distribusi yang memadai. Selain itu, evaluasi berkala terhadap pelaksanaan surat tercatat juga perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kendala dan memitigasi potensi risiko. Dengan demikian, mekanisme surat tercatat dapat berjalan secara optimal dan berimpak pada peningkatan kualitas badan peradilan.
ADVERTISEMENT