Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Melawan Stereotip Film Indonesia Buruk melalui Film Yowis Ben (2018)
2 Januari 2021 12:52 WIB
Tulisan dari Romi Pratama Sunata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Romi Pratama Sunata

Pernahkah berfikir bahwa film Indonesia itu kurang bagus dan tidak bisa bersaing dengan film Hollywood? Kita tidak bisa menghakimi dengan satu sudut pandang penilaian, film Yowis Ben (2018) adalah salah satu film Indonesia yang unik, yaitu dengan pembawaannya yang sangat dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Film Indonesia dan Hollywood memiliki karakter yang berbeda, film memiliki suatu daya tarik, mulai dari pemeran, genre, judul, dll. Berbeda dengan film Yowis Ben yang mengemas filmnya dengan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa khususnya Malang. Bayu Skak dan Fajar Nugros selaku sutradara sudah mempertimbangkan bagaimana nantinya film ini dikemas dan dipublikasikan. Tawa penonton pecah saat melihat adegan lucu dengan logat khas Jawa, menandakan pesan dalam film tersampaikan ke penonton.
Film adalah media yang paling cocok untuk menyampaikan pesan, karena selain bisa menikmati film, penonton juga bisa mengambil pesan apa dari film itu. Chaney (dalam Panuju, 2019:104), menjelaskan bahwa kandungan isi pesan dalam film bisa dianalisis berdasarkan pesan explisit dan implisit, pesan explisit merupakan dialog dan visualisasi gambar, sedangkan pesan implisit merupakan nilai yang ingin dibentuk oleh isi pesan.
ADVERTISEMENT
Pesan film ini disampaikan melalui cerita sekumpulan anak SMA yang bercita-cita membuat grup band dan terkenal. Seakan melawan kata gengsi, perjuangan Bayu Skak membantu warung pecel milik ibunya untuk menggapai mimpi, dilakukan setiap hari di sekolahnya dengan membawa sebagian dagangan milik ibunya untuk ditawarkan di sekolah.
Perjuangan Bayu baru dimulai setelah melakukan seleksi member grup band. Setelah seleksi dan diterima, anggota musik Bayu terbentuk dengan spesifikasi Bayu sebagai bassis, Nando (Brandon Salim) pianis, Doni (Joshua Suherman) gitaris sekaligus penyanyi, dan Yayan (Tutus Thomson) sebagai drummer, mereka mulai latihan dan menamai grup band nya Yowis Ben. Latihan demi latihan mereka lakukan meski banyak sekali halangan mulai dari kekompakan, solidaritas, dan ekonomi. Salah satu jalan yang mereka ambil adalah menyelesaikan dengan kepala dingin dan mencoba mengikuti perlomban grup band daerah.
ADVERTISEMENT
Persaingan mereka semakin berat karena kebanyakan peserta lain membawakan lagu dengan bahasa Indonesia bahkan Inggris. Pesan eksplisit digambarkan melalui pembawaan lagu yang juga menggunakan bahasa daerah dengan visualisasi yang menunjukkan mereka tetap percaya diri dalam penampilan.
Tak disangka, jerih payah mereka selama ini membuahkan hasil, mereka berhasil menjuarai perlombaan grup band di daerahnya dengan lagu-lagu ciptaan sendiri menggunakan bahasa daerah. Menunjukkan pesan implisit terkait persaingan film, bahwasannya dengan mengangkat budaya dan bahasa daerah, bisa bersaing bahkan melampauinya.
Film Yowis Ben menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi batu loncatan bagi dunia perfilman Indonesia, mengingat film ini adalah film Indonesia pertama yang menggunakan full bahasa daerah, suatu tindakan yang cukup berani. Penayangan film dengan jumlah penonton hampir mencapai 1 juta, mematahkan anggapan masyarakat bahwa film Indonesia itu buruk, terbukti betapa besar antusiasme masyarakat Indonesia menonton drama komedi dengan bahasa daerah.
ADVERTISEMENT
Memang terkadang bahasa merupakan salah satu hal yang paling sering dijadikan representasi suatu ras, suku, adat, maupun budaya. Widyasmara, R. M. C., Joni, I., & Pascarani, N. N. D dalam artikel penelitiannya yang berjudul Representasi Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Film Ngenest yang dimuat dalam E-Jurnal Medium No. 1 Vol. 1 tahun 2017 menyebutkan bahwa representasi merujuk kepada kontruksi media massa terhadap realitas, ini menandakan bahwa media berperan penuh dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap suatu hal yang dilihat, didengar, dan dirasakan.
Melalui film ini, Bayu Skak ingin menunjukkan bagaimana film Indonesia itu mampu bersaing, mulai dari mengangkat hal-hal yang ada di dekat kita, suatu daerah itu pasti memiliki sesuatu yang dapat digali potensinya. Dalam acara Talk Show Sarah Sechan di Net TV, Bayu ingin mengubah mindset seseorang dan menunjukkan ini loh film Indonesia, ini loh budaya masyarakat Jawa, menurutnya selama ini masyarakat selalu berfikiran bahwa di mana ada kata film Indonesia dan daerah, selalu dianggap "kampungan". Itu suatu anggapan yang sangat salah, karena setiap daerah pasti memiliki potensi, salah satunya dalam dunia perfilman.
ADVERTISEMENT
Dengan ini sudah jelas bahwa sesuatu yang menarik dan bagus itu tidak selalu dari track record, melainkan melihat sesuatu yang ada di dekat kita dan digali sisi menariknya. Jadi, jangan menghakimi film Indonesia itu tidak bisa bersaing, karena pasti ada sisi lain yang khas dan menjadi potensi.
Romi Pratama Sunata, mahasiswa Ilmu Komunikasi Ahmad dahlan