Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Gamang Melawan Corona
7 April 2020 13:24 WIB
Sungguh hebat pidato Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo. Di tengah pandemik virus corona yang mewabah di seluruh dunia, Akufo-Addo memberikan pernyataan yang membuat dirinya terkenal. Dalam suatu pertemuan dengan Kongres Serikat Perdagangan Ghana pada 27 Maret 2020, Akufo-Addo mengatakan:
"Kita sudah mendemonstrasikan selama tiga tahun terakhir, di mana ekonomi kita berhasil tumbuh dari 3,4 persen menjadi rata-rata 7 persen dalam tiga tahun. Saya yakinkan anda semua, kita tahu bagaimana membangkitkan ekonomi untuk hidup kembali. Namun yang kita tidak tahu adalah cara untuk membangkitkan manusia untuk hidup kembali."
Pidato yang tidak hanya mendapatkan pujian dari rakyat Ghana, namun juga dari penjuru dunia.
Kenapa? Karena seluruh masyarakat di dunia saat ini menghadapi ketakutan yang sama.
Seluruh manusia di dunia ini mungkin sudah memahami bahwa satu-satunya cara menghentikan penyebaran virus corona, atau yang biasa disebut COVID-19, adalah dengan berdiam di rumah selama minimal dua minggu, karena masa inkubasi virus itu adalah dua minggu.
Lima hari sebelum pidatonya itu, Akufo-Addo membuat keputusan untuk menutup seluruh perbatasan Ghana selama dua minggu sejak 22 Maret 2020. Padahal kasus pertama penderita corona di negara itu baru ditemukan 10 hari sebelumnya, yaitu pada 12 Maret, dengan total penderita sampai 3 April 2020 berjumlah 214 orang, dan korban meninggal berjumlah 5 orang.
Selain itu, pemerintah Ghana juga menyiapkan anggaran hampir 3 triliun rupiah untuk membantu rumah tangga, usaha kecil, dan menengah. Akufo-Addo menyadari betul bahwa tugas utamanya sebagai presiden adalah untuk melindungi rakyat.
Apakah kebijakan-kebijakan Akufo-Addo akan mengantarkan Ghana lewat dari krisis dengan sempurna?
Waktu yang akan menjawab. Yang pasti, rakyat Ghana saat ini merasa terlindungi oleh pemerintahnya, dan pernyataan pemimpinnya dianggap peka terhadap perasaan rakyat; tidak hanya rakyat Ghana, tapi rakyat dunia yang juga turut mengalami pandemi virus corona.
Bagaimana dengan Indonesia?
Gamang! Begitulah yang terasa di negara kita sekarang ini. Virus corona yang mewabah menjadi pandemi internasional, membuat Indonesia gamang.
Mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah provinsi dan daerah-daerah di bawahnya, terlihat gamang, gugup, dan mis-koordinasi dalam menghadapi COVID-19.
Kegamangan pemerintah tentunya juga berimbas kepada rakyat.
Rakyat di satu sisi ingin menuruti imbauan pemerintah dan para dokter untuk hanya berdiam diri di rumah, berkumpul dengan anak istri serta keluarga. Namun kehilangan mata pencaharian tentunya juga menjadi kekhawatiran para kepala keluarga dan tulang punggung keluarga.
Aparat juga akan kesulitan bertindak tegas kepada rakyat kecil yang keluar demi mencari nafkah. Mengancam mereka sesuai UU Kekarantinaan, yaitu denda 100 juta rupiah dirasa tidak mungkin, wong makan saja sudah susah.
Memenjarakan satu tahun bagi orang yang tidak mau dikarantina sesuai amanah UU tersebut juga mustahil, karena itu sama saja membantu penyebaran corona dengan mengumpulkan banyak orang di dalam penjara.
Dan bagaimana pula mau memaksa rakyat sendiri untuk berdiam di rumah, sementara Tenaga Kerja Asing (TKA) masih juga dipersilahkan datang ke Indonesia?
Bahkan mendekati Idul Fitri yang akan jatuh di akhir bulan Mei ini, pemerintah melalui aparaturnya memberikan mixed message (pesan bercampur-aduk), antara menghimbau rakyat agar tidak mudik, tapi juga membolehkan mudik.
Sesama pembantu presiden saling menganulir pernyataan pembantu presiden lainnya. Padahal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah mengecam kebijakan membolehkan mudik, dengan mengatakan itu akan menjadi blunder besar.
Semua gamang.
Di tengah kegamangan ini, korban terus berjatuhan, hingga angka terakhir (per 6 April) mencapai 2.273 pasien positif, dengan angka kematian berjumlah 198 orang. Ini data resmi pemerintah yang sebetulnya juga masih diragukan akurasinya oleh negara-negara lain.
Kemudian ada pula perdebatan apakah kita harus total lockdown? Atau cukup partial lockdown (karantina wilayah)? Atau melakukan herd immunity?
Semuanya punya dampak negatif. Apabila total lockdown, maka roda ekonomi diprediksi akan berhenti. Dan di saat rupiah sedang melemah, banyak yang memprediksi total lockdown akan mengakibatkan gelombang kedua bernama resesi, yang mungkin berlanjut ke gelombang berikutnya yaitu krisis sosial, bahkan mungkin krisis politik.
Sementara tidak melakukan total lockdown sama dengan membuka jalan tol untuk virus corona untuk lebih cepat menyebar, karena rakyat yang terus ada di luar rumah akan menjadi pengantar virus dengan mudah.
Ada pula pertanyaan tentang ketahanan sistem kesehatan atau health care system di republik ini. Berapa lama kita akan bertahan memerangi virus ini apabila tidak dilakukan lockdown?
Berkali-kali para dokter dan tenaga medis menjerit tentang minimnya Alat Pelindung Diri (APD) di rumah sakit.
Jangankan untuk pasien, untuk para dokter dan tenaga medis pun APD dirasa sangat kurang. Bahkan tidak jarang tenaga medis hanya bermodalkan jas hujan yang belum tentu kuat menahan penularan virus terhadap dirinya dari pasien.
Korban dari kalangan dokter pun sudah berjatuhan. Belasan pahlawan medis sudah meregang nyawa akibat tertular virus atau karena kelelahan.
Bila sudah begini, lantas berapa lama kita akan bertahan menghadapi virus ini tanpa lockdown? Bukankah orang yang terkena virus ini di kemudian hari akan menghadapi resiko kematian lebih besar dibanding yang terkena saat ini, karena tenaga medis akan semakin berkurang?
Jangan sampai para dokter dan tenaga medis bagai orang yang sibuk memasangkan pelampung ke ribuan orang, namun dirinya sendiri tidak memakai pelampung dan akhirnya lama-kelamaan tenggelam.
Dan akhirnya apakah Indonesia akan terselamatkan dari resesi apabila virus terus mewabah dalam jangka waktu lama? Atau ledakan resesi akan menjadi lebih dahsyat dibandingkan menerapkan lockdown? Gamang!
Dari aspek hukum, muncul kegamangan lain.
Siapa yang akan menanggung makan rakyat apabila mereka dipaksa di rumah? Apakah pemerintah pusat, atau daerah?
Menurut UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah pusatlah yang bertanggung jawab akan pangan dan kehidupan dasar manusia dan hewan ternak.
Sementara menurut UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tanggung jawab penanggulangan bencana, apalagi bila dilakukan karantina wilayah, maka pendanaannya lebih dibebankan kepada pemerintah daerah (dalam UU ini, wabah penyakit termasuk kategori bencana non-alam).
Namun di saat masih gamang, berkali-kali pula pemerintah berbagai daerah mendapat teguran dari pemerintah pusat karena menyatakan karantina wilayah, dengan alasan UU No. 6 mengatur penetapan "karantina" hanyalah wewenang pemerintah pusat.
Tapi dalam hal tanggung jawab pemenuhan isi perut rakyat saat karantina, juru bicara presiden Fadjroel Rachman justru menyatakan di acara Indonesia Lawyers Club beberapa waktu lalu, bahwa Undang-Undang yang akan dipakai adalah UU Kebencanaan. Artinya, pemerintah daerah yang menjadi penanggung jawab utama kebutuhan dasar masyarakat, dibantu oleh pemerintah pusat.
Jadi UU mana yang akan dipakai? Gamang!
Dan kalau tidak jelas siapa yang akan menanggung kebutuhan dasar rakyat, lantas seberapa tegak UU ini bisa dijalankan dan memaksa warga untuk tetap tinggal dirumah? Juga gamang!
Terakhir, pemerintah mengeluarkan pula Perppu No. 1 Tahun 2020 menyangkut Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk menghadapi corona. Dalam Perppu, pemerintah akan membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di bawah koordinasi Menteri Keuangan.
KSSK akan diberikan diskresi dan wewenang lebih untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis guna menjaga kestabilan ekonomi dan nilai rupiah.
Yang menjadi masalah, banyak pihak khawatir Perppu ini akan memberikan imunitas berlebihan kepada pejabat pemerintah, dalam hal ini KSSK, sehingga ditakutkan akan ada penyalahgunaan wewenang tanpa bisa disentuh hukum.
Kecurigaan yang cukup berdasar karena memang Indonesia punya segudang pengalaman dalam hal penyalahgunaan wewenang dan celah-celah hukum yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, seperti yang terjadi di kebijakan BLBI pada krisis ekonomi 1998 (pada saat itu lembaganya bernama Komite Kebijakan Sektor Keuangan—KKSK), dan kebijakan penyelamatan Bank Century yang hingga kini pengusutannya dianggap belum tuntas.
Memang ada ungkapan"
Yang artinya, "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup."
Dan yang juga menjadi pertanyaan besarnya: mengapa perlindungan yang paling diutamakan justru keselamatan keuangan?
Bukankah resesi ekonomi itu merupakan gelombang kedua, di mana saat ini gelombang pertama berupa virus yang mewabah pun kita masih dilanda kegamangan dalam membuat kebijakan?
Dan jika kita tidak berhasil melewati gelombang pertama, apa gunanya kita memikirkan gelombang kedua?
Mungkin sudah saatnya para dokter dijadikan episentrum kebijakan pemerintah saat ini, sebagaimana virus corona menjadi episentrum perhatian dunia.
Bila diibaratkan Bullseye Model (model seperti papan target panah), seharusnya para dokter menjadi core kebijakan pemerintah saat ini.
Di layer kedua, baru tempatkan para ekonom untuk mengatur agar kelaparan, kehilangan lapangan kerja, dan sebagainya tidak terjadi sembari menjaga stabilitas ekonomi dan meminimalisir resiko resesi, sebagaimana perintah Presiden Akufo-Addo terhadap jajaran kabinetnya.
Kemudian di layer ketiga, tempatkan para aparat penegak hukum untuk memberi ketegasan bagi warga yang melanggar UU padahal sudah dilindung pemerintah kebutuhan pangannya.
Bukankah dalam perang melawan corona ini, lawan kita adalah lawan yang tidak kasat mata, dan tidak diperlukan polisi atau tentara untuk memerangi virus, melainkan para dokter?
Toh di tangan para dokter dan petugas medislah perang ini akan ditentukan siapa pemenangnya; bukan di tangan para ekonom, apalagi para aparat hukum dan tentara.
Seorang filsuf Romawi bernama Marcus Tulius Cicero mengatakan, "Salus Populi Suprema Lex Esto", yang artinya:
Ada nasihat bijak presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, "Saya orang yang percaya kepada rakyat. Mereka bisa diandalkan untuk menghadapi krisis nasional dalam bentuk apa pun. Kuncinya, berikanlah mereka kebenaran dan kejujuran".
Rasanya tidak hanya di Indonesia, negara-negara lain hampir di seluruh dunia pun dilanda ancaman kerusuhan dan resesi ekonomi. Sementara sekarang ini rakyat lebih takut kepada corona dan kelaparan, serta membutuhkan perlindungan pemerintah dibandingkan khawatir akan ancaman resesi ekonomi.
Bukankah di dalam ilmu dasar ekonomi sendiri, Sumber Daya Manusia itu merupakan kapital (modal) utama suatu negara, lebih utama dibandingkan uang?
Dan jangan-jangan dengan karakter rakyat Indonesia yang memang sudah dasarnya permisif dan toleran, akan lebih mudah memaafkan pemerintah apabila terjadi kerugian finansial negara, dibandingkan kehilangan nyawa atau kelaparan karena harus tetap berdiam dirumah?
Kuncinya mungkin sesuai kata Lincoln tadi, "Berikanlah kebenaran dan kejujuran."
Sementara itu, di saat kegamangan masih melanda para pengambil keputusan di negara ini, sang virus pun tidak pernah berhenti bekerja.
Virus corona tidak perlu menunggu aturan mana yang akan diterapkan, dan tanpa kegamangan, terus bergerak untuk mencari inang-inang baru sebagai tempat tinggalnya.
Tantangan memang tidak mudah untuk pemerintah dan rakyat Indonesia. Bak buah simalakama, jika dimakan ibu meninggal, jika tidak dimakan ayah meninggal.
Kalau kata orang Padang, solusinya ada, yaitu "dijual saja". Namun di tengah wabah corona ini pun menjual buah simalakama tidak akan mudah, karena tidak ada yang berani keluar rumah untuk membeli.
Dan mungkin saat ini sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab" diuji sebagai dasar dan tujuan negara kita. Tentunya hal yang mustahil mewujudkan peradaban manusia yang sesuai dengan Pancasila apabila nyawa manusianya saja terancam.
Selain mendengarkan saran para dokter dan pernyataan Akufo-Addo, mungkin ada baiknya juga kita mencari petunjuk dari yang Maha Menciptakan segala makhluk, termasuk virus corona itu sendiri.
Dalam Quran, Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
– Quran Surat An-Nisa ayat 59.
Dan apa petunjuk lain di Alquran terkait kegamangan antara penyelamatan ekonomi dengan penyelamatan nyawa manusia ini?
Kita bisa temukan dalam surat lainnya: "Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi."
– Quran Surat Al-Maidah ayat 32.
Bila petunjuk Sang Pencipta pun juga tidak didengar, maka... Wallahu A'lam Bishawab. Akhh... saya pun jadi gamang!