Islamophobia

Romy Bareno
2006-2007 reporter Metro TV. 2007-2014 Asiten Produser dan Produser TV One. 2014-2019 : wiraswasta. S1 Ohio State U.S jurusan Politik, S2 jurusan Media Westminster London.
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2019 12:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Romy Bareno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pria membawa tulisan "Bersatu Melawan Islamofobia" saat mengenang untuk para korban penembakan di masjid Christchurch, di luar balai kota di Toronto, Ontario, Kanada. Foto: Reuters/Chris Helgren
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pria membawa tulisan "Bersatu Melawan Islamofobia" saat mengenang untuk para korban penembakan di masjid Christchurch, di luar balai kota di Toronto, Ontario, Kanada. Foto: Reuters/Chris Helgren
ADVERTISEMENT
Pertengahan 2001, saya yang saat itu baru akan memulai quarter (sistem kalender kuliah per 3 bulan) pertama saya, melihat sesuatu yang berbeda di negeri Paman Sam tersebut. Negeri yang di lirik lagu kebangsaannya saja tertulis “land of the free and the home of the brave”, tiba-tiba terasa mencekam.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, jantung ekonomi negara adidaya tersebut baru saja terkena serangan teroris pada 11 September 2001. Tidak tanggung-tanggung, ikon perekonomian Amerika Serikat, kalau bukan ikon bisnis dunia, yaitu gedung World Trade Center yang juga dijuluki "The Twin Tower" runtuh rata dengan tanah setelah ditabrak oleh 2 buah pesawat komersil.
Itulah serangan teroris terbesar di era millenial. Hampir 3 ribu orang tewas seketika dan 6.000 oranng lainnya luka, termasuk 19 teroris yang membajak pesawat United Airlines.
Masyarakat Amerika Serikat saat itu tampak bertanya-tanya penuh dengan kebingungan, kenapa negeri yang menjadi simbol kebebasan itu justru menjadi target dari teroris. Belakangan kelompok Islam radikal bernama Al-Qaeda, dengan pimpinannya bernama Osama Bin Laden, mengaku menjadi dalang dari aksi keji tersebut.
ADVERTISEMENT
Dunia terkejut penuh dengan pertanyaan, kenapa ajaran satu agama bisa membuat orang melakukan aksi sekejam itu dengan menggunakan dalil-dalil agama? Apa sebetulnya yang diajarkan oleh agama Islam? Bagaimana mungkin agama yang mengajarkan umatnya untuk berpuasa sebulan setiap tahunnya untuk menahan diri dari hawa nasfu agar memperbaiki iman dan akhlak manusia, mampu menciptakan teroris-teroris yang dengan bermodalkan pisau untuk mengancam sang pilot, memiliki hati dan keberanian untuk menabrakkan dua buah pesawat terbang ke Twin Tower?
Dan sudah berapa banyak anggota Al-Qaeda di Amerika Serikat? Bagaimana pula dengan pandangan umat Islam lainnya? Apakah janji-janji diberikannya bidadari kepada orang yang membunuh orang lain yang tidak berdosa hanya karena perbedaan agama, juga diyakini oleh miliaran umat Islam lainnya di seluruh penjuru dunia? Dan kalau agama Islam memang mengajarkan kekerasan, lantas bagaimana dengan pandangan umat Islam yang juga tersebar di seluruh Amerika Serikat? Apakah mereka akan melakukan serangan serupa atau "serangan susulan"?
ADVERTISEMENT
Islam pun menjadi agama yang menjadi sorotan dan dipersalahkan bagi sebagian masyarakat di Amerika Serikat. Bahkan tidak sedikit pula yang menjadi takut sekaligus benci terhadap agama Islam dan umatnya. Aksi “balasan” secara sporadis dari masyarakat menargetkan orang yang dianggap beragama Islam, dengan men-stereotype-kan umat Islam dikaitkan kepada warga keturunan Timur Tengah, meningkat tajam.
Tercatat dari 354 kejahatan terhadap warga keturunan Timur Tengah di tahun 2000 menjadi 1501 serangan di tahun 2001 (Oswald, Debra L. (September 2005). "Understanding Anti-Arab Reactions Post-9/11: The Role of Threats, Social Categories, and Personal Ideologies". Journal of Applied Social Psychology. 35 (9): 1775–1799) dan terus berlangsung hingga sekarang.
Umat Islam secara keseluruhan di Amerika Serikat pun turut mendapatkan serangan balasan ini. Mulai dari hinaan dan makian, pembakaran Alquran, pengrusakan toko milik warga keturunan Arab, penusukan, penembakan, pelemparan bom molotov di Islamic Centre di Tennessee, penabrakan toko milik orang Islam, penembakan, hingga percobaan bom mobil di Islamic Centre di Michigan.
ADVERTISEMENT
Sikap-sikap seperti ini belakangan dikenal sebagai istilah Islamophobia. Apa itu? Istilah ini menurut wikipedia berasal dari lembaga think tank asal Inggris yang bernama Runnymede Trust, yang mendeskripsikan Islamophobia sebagai rasa takut, benci, dan berujung pada diskriminasi kepada Islam dan umat muslim dari kehidupan ekonomi, sosial, dan bermasyarakat; dan menganggap Islam lebih seperti ide politik yang bengis daripada berupa suatu agama.
18 tahun telah berlalu. Bukannya meredup, justru Islamophobia pun semakin meluas. Tidak hanya di Amerika Serikat, beberapa negara Eropa turut memperketat aturan imigrasi mereka, terutama terhadap negara-negara dari timur tengah atau dari negara Asia yang mayoritas penduduk muslim. Serangan demi serangan yang serupa dengan yg dialami umat muslim di Amerika Serikat, juga dialami seluruh umat Islam di berbagai belahan dunia, mulai dari Inggris, Prancis, Jerman, China, Brasil, hingga Sri Lanka. Terakhir yang masih hangat tentunya serangan seorang bernama Brenton Tarrant yang masuk ke dalam satu mesjid di New Zealand, menembaki umat muslim yang sedang beribadah Salat Jumat, menewaskan 51 orang dan melukai sedikitnya 49 orang. Tarrant bahkan melengkapi kekejamannya dengan menayangkan aksi pembantaian yang dilakukannya secara live di facebook.
ADVERTISEMENT
Ujaran kebencian terhadap agama Islam, umat muslim, dan para imigran, datang dari mana-mana mulai dari rakyat biasa di media sosial, hingga dari tokoh politik dan pemimpin negara-negara di eropa. Belanda salah satu contohnya.
Lewat partai kedua terbesar di sana saat ini, yaitu Partai Kemerdekaan bentukan Geert Wilders pada 2006, kampanye anti-Islam marak disuarakan lewat berbagai tempat, media tradisional, bahkan media sosial. Wilders bahkan sempat membuat film berjudul “Fitna” yang mengutip beberapa ayat Alquran keluar dari konteksnya untuk dijadikan pembenaran tuduhan bahwa Islam adalah agama teroris.
Ya, label “teroris” dan “radikal” semakin sering disematkan terhadap umat Islam. Label “teroris” dan “radikal” sesungguhnya juga turut menambahkan rasa takut. Terbukti, rakyat Amerika Serikat yang terkenal dengan paham demokrasi liberal yang bebas dari intervensi pemerintah, tiba-tiba “meminta” pemerintah memberikan perlindungan lebih. Dengan memberikan label “perang terhadap teroris”, pemerintah Amerika Serikat sempat memberlakukan “Patriot Act”, yang memberikan kewenangan lebih pemerintah federal untuk mengawasi rakyatnya sendiri hingga ke ranah pribadi, dengan alasan demi mendeteksi secara dini apabila ada seseorang atau kelompok teroris yang kembali berniat melakukan serangan. Kewenangan yang akhirnya mereka anulir sendiri beberapa tahun kemudian.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah gerakan radikal jadi meredup karena hukum yang memberikan wewenang "lebih" kuat kepada aparat, dan kampanye anti-Islam? Justru sebaliknya. Setelah pemimpin Al-Qaeda dilumpuhkan pada 2011, justru organisasi yang lebih radikal lagi yang bernama ISIS, tumbuh berkembang pesat. Bila Al-Qaeda hanya terpusat di Afghanistan, ISIS menyebar dengan cepat di negara-negara timur tengah, bahkan melebarkan sayap hingga ke negara Afrika dan bahkan Asia.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski sudah berkali-kali terkena serangan berbagai kelompok teroris, ISIS belum berkembang segitu pesatnya di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Namun, bukan berarti tidak tumbuh organisasi-organisasi Islam yang dicap radikal. Salah satunya yang paling ramai belakangan ini yaitu Hizbut Tahrir Indonesia, atau disingkat HTI, yang juga merupakan gerakan Islam radikal "impor", dari yerusalem. Organisasi yang dibubarkan oleh pemerintah Indonesia pada 2017 ini, dianggap berbahaya karena ingin mengganti sistem Indonesia dari demokrasi pancasila menjadi negara Islam, meski tidak dijelaskan apakah menggantinya dengan cara revolusi atau pemberontakan dan kekerasan seperti ISIS, atau melalui jalur demokrasi.
ADVERTISEMENT
Yang pasti, gerakan radikal ini juga mendapatkan perlawanan dari organisasi Islam lainnya. Salah satunya yang terhangat adalah kejadian di Garut pada tanggal 22 Oktober 2018, bertepatan pada Hari Santri Nasional, ketika sekelompok pemuda dengan atribut Banser NU membakar bendera berlafazkan kalimat tauhid, yang dicap sebagai bendera HTI. Memang faktanya HTI sering memakai panji-panji rasulullah tersebut dalam berbagai kegiatan ormas mereka, seperti demo. Lantas apa yang salah ketika sekelompok orang membakar bendera dan panji-panji yang sering dipakai oleh HTI tersebut?
Mungkin kita semua harus mendengarkan juga perkembangan Islamophobia dari dunia barat. Pada 2013, di universitas Oxford, ada dua kelompok yang berdebat untuk mengeluarkan mosi apakah Islam adalah agama damai, atau agama kekerasan. Perwakilan dari kelompok yang pro terhadap pendapat Islam adalah agama damai, diwakili salah satunya oleh Mehdi Hasan, seorang jurnalis beragama Islam kelahiran Inggris.
ADVERTISEMENT
Mehdi dalam salah satu argumennya berkata kepada kelompok oposisinya: "anggaplah ada 16 ribu orang Islam yang sudah melakukan bom bunuh diri selama ini, meski saya tidak yakin angkanya sampai segitu. Itu artinya sama dengan 0,0001% dari total kurang lebih 1,6 miliar umat muslim satu dunia yang setuju bahwa agama Islam adalah agama yang penuh kekerasan. Kenapa anda semua tidak mendengarkan pendapat yang 99,9999 persen lainnya? Jika Osama Bin Laden masih hidup saat ini dan ada di sini, maka dia akan sangat setuju dan duduk bersama dengan anda".
Saya jadi merenungkan kalimat Mehdi Hasan tersebut. Apabila HTI merasa bahwa panji rasulullah adalah bendera mereka, apakah umat islam yang lain juga harus ikut-ikutan menyetujui pendapat HTI dan mencap bahwa bendera berlafazkan kalimat tauhid tersebut sebagai bendera HTI? Seberapa besarkah ormas bernama HTI tersebut?
ADVERTISEMENT
Terus terang saya tidak tahu. Tapi saya yakin bahwa HTI masih tergolong minoritas dibandingkan total umat muslim seluruh Indonesia. Bagaimana dengan pendapat umat muslim lainnya? Apakah kita tidak mau "mendengar"? Padahal di dalam Islam sudah diingatkan berkali-kali oleh Allah bahayanya sifat tidak mau mendengar.
"Sesungguhnya mahluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran), yaitu orang-orang yang tidak mengerti" - QS Al-Anfaal ayat 22.
Dan yang unik, selain kelompok radikal yang menurut Mehdi Hassan hanya 0,0001% dari total populasi muslim dunia yang semakin mengembangkan agresinya, 99,9999% umat muslim dunia juga mulai “bersuara”. Mereka menyuarakan dan membuktikan ke seluruh dunia lewat dakwah-dakwah dan diskusi-diskusi lintas agama, bahwa Islam sesungguhnya agama yang sangat mengajarkan kedamaian.
ADVERTISEMENT
Tindakan-tindakan kekerasan terhadap umat muslim di berbagai negara, juga dibalas dengan tindakan-tindakan kedamaian dan penuh persaudaraan terhadap umat agama lain. Dan tindakan “balasan” dari 99,9999% umat muslim ini justru menimbulkan efek baru yang tidak diduga, Islam tumbuh menjadi agama yang paling cepat berkembang di seluruh dunia, termasuk di Eropa dan Amerika Serikat, baik itu karena angka kelahiran, maupun karena perpindahan agama.
Mungkin ada benarnya ucapan seorang fisikawan asal Polandia “Tidak ada yang perlu ditakuti di dunia ini, yang ada hanya perlu dipahami. Sekarang adalah waktunya kita memahami lebih, sehingga ketakutan berkurang”. Ketakutan yang melanda berubah menjadi rasa ingin tahu.
Lantas apakah Indonesia juga sudah ikut-ikutan terkena wabah Islamophobia? Semoga saja tidak. Namun yang pasti, sebagian besar televisi nasional tidak menyiarkan demo yang dilakukan umat Islam yang berjudul "Aksi Bela Tauhid" yang terjadi pada 26 Oktober 2018.
ADVERTISEMENT
Kenapa? Kabarnya takut dianggap provokasi dan memanaskan situasi sehingga umat Islam dan bisa berujung demo yang lebih besar lagi, atau bahkan kisruh. Benarkah dugaan-dugaan tersebut? Yang pasti soliditas Islam semakin kuat. Tanggal 2 Desember 2018, Presidium Alumni (PA) 212 kembali menggelar acara reuni akbar mengingat Aksi Bela Islam yang dilakukan umat Islam pada 2016 saat mengawal kasus Gubernur Jakarta, Ahok, yang pada saat itu yang dianggap menista agama.
Banyak tudingan bahwa ini merupakan gerakan politik, banyak pula yang menuduh ini massa yang dibayar demi mendukung salah satu capres dan menunggangi umat islam, ada pula yang berwacana akan menurunkan bendera tauhid kalau sampai terlihat di acara reuni karena alasan demi mempertahankan NKRI. Apakah umat Islam di Indonesia sudah se-menakutkan dan se-bengis itu? Reuni sudah berakhir.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana Aksi aslinya di 2016, reuni di 2018 juga “gagal” menghasilkan satupun korban jiwa akibat kerusuhan. Semua berjalan tertib dan damai seperti diakui banyak pihak. Namun, lagi-lagi media kembali bungkam dan membisu. Kenapa? Apakah Islamophobia sudah melanda industri media? Wallahu a’lam bisshawab.
Apakah hanya media yang diduga “terpapar” Islamophobia? Perkembangan di Indonesia belakangan ini justru semakin mengkhawatirkan. Di negeri yang lebih dari 85%-nya beragama Islam, gejala Islamophobia justru semakin terasa.
Kecurigaan bukan hanya terjadi antara umat non-muslim terhadap umat muslim. Bukan pula hanya terjadi antara aparat terhadap umat muslim. Bukan pula terhadap satu organisasi islam terhadap organisasi islam lainnya. Kecurigaan di Indonesia sudah meningkat hingga ke taraf antara sesama umat muslim yang bahkan tidak terkait organisasi manapun. Sebagian ulama yang terlanjur “dicap” radikal, apalagi tidak tersertifikasi oleh Kementerian Agama, mengalami berbagai “serangan”, meski belum sampai ke serangan fisik. Serangan berupa pencekalan dan penghadangan dakwah ataupun acara diskusi yang akan dilakukan ulama-ulama tertentu yang sudah masuk buku hitam label “radikal”.
ADVERTISEMENT
Contoh terakhir yang lagi ramai dibicarakan adalah pembatalan terhadap Ustad Abdul Somad (UAS) untuk mengadakan kuliah umum di Universitas Gajah Mada (UGM) dengan tajuk “Integrasi Islam Dengan Ilmu Pengetahuan”.
Alasan yang diungkapkan terkait pembatalan ini disebut oleh pihak pimpinan UGM adalah, "Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keselarasan kegiatan akademik dan kegiatan nonakademik dengan jati diri UGM."
Yang menarik lagi, Abdul Somad juga dilarang oleh Keraton Yogyakarta untuk melakukan kegiatan bernama 'Muslim United: Sedulur Saklawase' itu diadakan oleh Forum Ukhuwah Islamiyyah digelar pada 11-13 Oktober 2019.
Kebetulan pula acara tersebut juga dihadiri oleh beberapa nama ulama yang banyak disebut masuk “buku hitam” ulama terpapar radikal, seperti Adi Hidayat, Salim A Fillah, Bachtiar Nasir, dan Felix Siauw. Beberapa saat sebelum ini, UAS juga sempat ditegur Majelis Ulama Indonesia karena isi ceramahnya di depan umat islam yang dianggap menyinggung umat lain, ketika Ustad Abdul Somad tentang patung dan kedudukan Nabi Isa menurut Al-Quran. Dan mungkin itu menjadi salah satu alasan itu yang menyebabkan UAS dianggap tidak sesuai dengan jati diri UGM.
ADVERTISEMENT
Namun apabila kita telusuri lebih dalam, apakah merupakan perbuatan yang salah apabila seorang ulama menyampaikan isi kitabnya? Bukankah tugas ulama, pendeta, maupun bhiksu, adalah mengajarkan dan menyebarkan isi kitabnya masing-masing? Dan bukankah yang hadir di acara tersebut adalah umat seagamanya sendiri?
Andaikan pun ada umat lain yang hadir di acara pemuka agama tertentu, bukankah mereka hadir karena kerelaan dan keingintahuan terhadap isi kitab dari agama lain? Dan MUI sebagai Majelis Ulama Indonesia apa ikut tidak paham dengan fungsi ulama bagi umatnya? Kemudian UGM sebagai salah satu gudang ilmu bagi seluruh mahasiswa menimba, berbagi, berdiskusi ilmu, apakah menganggap seorang UAS bisa membahayakan jati diri UGM dengan kuliah umumnya yang hanya berlangsung satu hari? Bukankah temanya adalah keterkaitan antara agama Islam dengan Ilmu Pengetahuan? Dan bukankah Alquran memang berisikan segala macam ilmu mulai dari peredaran matahari, penciptaan alam semesta, perkembangan embrio, penciptaan hujan, dan sebagainya?
ADVERTISEMENT
Seberapa radikalnya-kah kuliah umum yang bisa disampaikan oleh UAS terkait topik tersebut? Dan bukankah UAS belum menyampaikan ceramahnya dan sudah terlanjur kecepatan dicurigai?
Ah, terlalu banyak pertanyaan saya. Lama-lama saya pun curiga sama diri saya sendiri. Jangan-jangan saya sudah turut terpapar radikal karena 'terlalu banyak bertanya;. Semoga kecurigaan ini tidak semakin berkembang jadi phobia, dan berkembang lagi menjadi paranoia, yang berakhir seperti di Amerika Serikat sekitar dekade lalu: “Kita harus memberikan kebebasan pikiran, ide, ucapan, dan segalanya untuk diatur pihak lain demi mendapatkan kebebasan. Wallahu a’lam bisshawab."
Sebagai penutup, mari kita renungkan ucapan salah satu bapak pendiri Amerika Serikat, Benjamin Franklin: “Mereka yang mengorbankan kemerdekaan dirinya demi mendapatkan keselamatan sementara, tidak layak mendapatkan kemerdekaan maupun keselamatan pribadi.”
ADVERTISEMENT
By: Romy Bareno B.A., M.A. 3 Desember 2018, direvisi tanggal 9 Oktober 2019. Di Jakarta