Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Kemandirian Fiskal: Antara Cita-Cita dan Realita Bergantung pada Transfer Pusat
7 Februari 2025 14:38 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rona Susan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Adanya otonomi daerah sudah diamanatkan di Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menyebutkan bahwa daerah Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi yang terbagi atas daerah-daerah kabupaten atau kota. Atas pembagian daerah tersebut, tiap-tiap daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan masing-masing daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)). Berdasarkan amanat pasal 18 UUD 1945, pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi yang selanjutnya disebut dengan desentralisasi (Pasal 1 (8) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Salah satu urusan yang dilakukan desentralisasi kepada pemerintah daerah adalah desentralisasi fiskal.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya, setiap daerah memiliki pendekatan dan cara yang berbeda sesuai dengan kebutuhan setiap masyarakat di daerahnya. Untuk mencapai kesejahteraan tersebut, setiap daerah diberikan otonomi yang seluas-luasnya, termasuk dalam mengelola pembangunan dan pemanfaatan sumber daya keuangan daerahnya sendiri melalui pengumpulan pajak dan retribusi daerah yang merupakan wujud dari desentralisasi fiskal. Adanya desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan kebutuhan lokal yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sehingga taraf hidup masyarakat di daerah tersebut meningkat.
Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola sumber pendapatan sendiri, seperti pajak dan retribusi daerah, yang memungkinkan untuk mencapai kemandirian fiskal daerah. Dengan fiskal yang mandiri, daerah mampu membiayai pengeluarannya dengan sumber pendapatan sendiri, yaitu dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tanpa bergantung secara signifikan pada dana transfer dari pemerintah pusat. Kemandirian fiskal mencerminkan seberapa besar daerah dapat mengelola keuangannya secara mandiri dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan kondisi saat ini di Indonesia?
Kemandirian fiskal menjadi tujuan utama bagi setiap pemerintah daerah dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan berdaya saing. Namun, di balik cita-cita tersebut, realita menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia masih bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat. Berdasarkan kajian BPK, pada tahun 2019, hanya 1 dari 542 daerah yang sudah berkategori sangat mandiri secara fiskal, 8 provinsi dan 2 kota yang tergolong mandiri, dan sisanya masuk kategori menuju mandiri dan belum mandiri.
Berdasarkan postur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) tahun 2024 yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), PAD hanya berkontribusi sekitar 28,7% sedangkan transfer dari pemerintah pusat sekitar 65,7% terhadap pendapatan daerah. Sama seperti tahun 2024, tahun 2023 pendapatan daerah juga didominasi dari transfer dana dari pusat sebesar 64,9% dari total pendapatan daerah. Ini menunjukkan bahwa sumber pendapatan daerah masih bergantung pada transfer dana dari pusat dan kemandirian fiskal daerah masih lemah.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana hal tersebut terjadi?
Dengan pendapatan daerah yang masih bergantung pada transfer dana pusat, hal tersebut menunjukkan bahwa daerah belum mampu menghasilkan sumber pendapatan sendiri melalui pajak dan retribusi daerah. Lemahnya kemandirian fiskal disebabkan oleh rendahnya potensi ekonomi di daerah-daerah sebagai sumber PAD yang menjadi basis pemajakan sehingga belum mampu menjadi tulang punggung penerimaan daerah. Ini dikonfirmasi oleh Direktur Pajak dan Retribusi Daerah (DJPK), Lydia Kurnawati Christyana, yang menyatakan bahwa local taxing power masih rendah dan berfluktuasi dari tahun ke tahun di kisaran angka 1,3% dengan target di tahun 2029 mencapai 2,9% sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2024-2029. Dengan local taxing power yang masih rendah, ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum bisa mandiri dalam memungut pajak daerah untuk membiayai pembangunan di daerah.
ADVERTISEMENT
Selain rendahnya basis pemajakan, local taxing power yang masih rendah disebabkan oleh dominasi Direktorat Jenderal Pajak dalam memungut pajak di masyarakat. Walaupun jenis pajak yang dipungut berbeda, (antara pajak pusat dan pajak daerah), pemajakan yang terlalu masif dapat menciptakan tax burden (beban pajak) yang tinggi dan apabila tax burden terlalu tinggi, justru dapat melemahkan kondisi ekonomi masyarakat.
Dampak jika daerah terus bergantung pada transfer dari pemerintah pusat adalah pertama, kurangnya kemandirian dan inovasi bagi daerah untuk menggali potensi pendapatan asli dari daerahnya sehingga hanya menunggu alokasi dari pemerintah pusat. Kedua, pembangunan daerah dapat terganggu apabila ada perubahan kebijakan fiskal nasional sehingga terdapat ketidakpastian bagi daerah dalam menjalankan pembangunan-pembangunan di daerahnya. Ketiga, ketidakseimbangan pembangunan antardaerah akibat perbedaan proporsi dana transfer. Keempat, ketergantungan dana transfer dapat melemahkan akuntabilitas pemerintah daerah karena pemerintah daerah lebih fokus pada penggunaan dana daripada optimalisasi sumber daya lokal. Kelima, terhambatnya pembangunan ekonomi lokal akibat rendahnya kesadaran untuk mengelola potensi daerah menjadi lebih produktif, seperti pada sektor pariwisata, UMKM, dan industri kreatif.
ADVERTISEMENT
Jadi bagaimana agar pemerintah daerah dapat lebih mandiri secara fiskal?
Dalam upaya meningkatkan kemandirian fiskal, pemerintah daerah bersama pemerintah pusat perlu mengambil langkah-langkah strategis agar pemerintah daerah lebih dapat bergerak aktif dalam mencari sumber pendapatannya sendiri. Pada tahun 2022, pemerintah mengeluarkan aturan baru terkait hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). UU ini dilatarbelakangi oleh empat pilar utama, yaitu mengurangi ketimpangan secara vertikal dan horizontal, penguatan local taxing power, peningkatan kualitas belanja daerah, dan harmonisasi belanja antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan diterbitkannya aturan terbaru ini, diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah sehingga kemandirian fiskal dapat tercapai.
ADVERTISEMENT
Dengan memperkuat desentralisasi fiskal, artinya pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik dan meratakan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah daerah memiliki kesempatan untuk lebih proaktif dalam melakukan perluasan basis pemajakan atau retribusi sebagai sumber penerimaan daerah. Selain itu, pemanfaatan digitalisasi juga dapat membantu mengurangi kebocoran penerimaan sekaligus dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Dari sisi sumber daya manusia, perlu dilakukan peningkatan kapasitas bagi pegawai pengelola keuangan daerah sehingga mereka mampu untuk berinovasi dalam menggali potensi daerah sebagai sumber pemajakan baru. Etos kerja dan motivasi pegawai juga perlu dipupuk agar memiliki semangat dalam meningkatkan local taxing power. Hal tersebut juga perlu diimbangi dengan pemberian keleluasaan lebih kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya dan menentukan kebijakan fiskal. Pemberian kewenangan lebih luas dalam pemungutan pajak daerah (local taxing power) akan memberikan kesempatan bagi daerah untuk lebih mandiri dalam mengatur keuangannya.
Pada akhirnya, cita-cita kemandirian fiskal bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Dengan strategi yang tepat, keinginan untuk terus berinovasi, serta dukungan regulasi yang adaptif, setiap daerah di Indonesia memiliki peluang untuk independen dalam mengelola keuangannya. Desentralisasi fiskal yang kuat dapat mendorong daerah untuk lebih bisa melakukan eksplorasi terhadap potensi-potensi yang ada di daerahnya hingga bisa mandiri secara fiskal. Sebuah kemandirian fiskal yang kokoh akan menjadi fondasi utama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan di tingkat daerah.
ADVERTISEMENT
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan dari instansi tempat penulis bekerja