Hubungan Gunung Api Agung dan Pura Besakih dari Waktu ke Waktu

Roni Marudut Situmorang (Geologi Gunung Api)
Mempercepat Edukasi Vulkanologi di Indonesia - Master Student of Geology Engineering (UGM) - Bachelor of Geography Education (UNY) - SMA N 1 Martapura - Indonesia
Konten dari Pengguna
29 Juni 2021 20:10 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roni Marudut Situmorang (Geologi Gunung Api) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Fakta Menarik Seputar Gunung Api Agung dan Pura Besakih

ADVERTISEMENT
Gunung Agung sebagai Puncak tertinggi di Pulau Bali menyimpan sejuta fakta menarik yang perlu sobat gunung tahu. Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa Gunung Agung adalah tempat bersemayamnya dewa-dewa. Masyarakat Bali menjadikan Gunung Agung sebagai tempat kramat yang disucikan. Selain itu, Gunung api Agung merupakan list pertama Gunung api aktif di Indonesia sesuai abjadnya.
Lokasi Gunung Agung dan Sekitarnya, Modifikasi Roni Marudut Situmorang, 2021
Sekitar 6.5 km ke arah barat daya (239 derajat) dari Puncak Gunung Agung terdapat Objek Wisata Pura Terbesar Umat Beragama Hindu di Bali. Gunung Agung dan Pura Besakih memiliki peran yang berkesinambungan dalam membangun kepercayaan masyarakat Hindu di Pulau Bali. Bagi sobat gunung yang ingin mengetahui lebih lanjut, yuk mari simak fakta berikut, sobat Gunung!
Penampakan Gunung Batur dari Arah Barat Laut Gunung Agung, tengah (Gunung Batur), kanan (Danau Batur), kiri (Gunung Abang), Wolfgang Piecha, Juni 2011)

Sejarah Pura Besakih

ADVERTISEMENT
Dalam catatan sejarah, Pura Besakih dan Gunung Agung menjadi pondasi awal terciptanya masyarakat Bali. Mengutip buku Custodian of the Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pulau Bali karya Thomas A Reuter, menuturkan bahwa Rsi Markandeya, orang pertama yang memimpin pelarian Majapahit ke Bali, baru berhasil menetap di Bali datang ke kaki Gunung Agung.
Rsi Markandeya pertama kali datang di bumi Nusantara sekitar abad ke 8-13 Masehi di Gunung Dieng yang termasuk juga kerajaan Mataram Kuno dengan raja Wangsa Sanjaya. Sebagai seorang pertapa, Rsi Markandeya melakukan tapa brata di kawasan Dieng, namun demikian banyak makhluk halus mengganggu pertapaan Rsi Markandeya. Sehingga, Rsi Markandeya pergi dan beranjak menuju ke arah Timur dan sampailah di lereng Gunung Raung.
Pemandangan Sunrise Gunung Rinjani, 85 km ke timur dilihat dari Gunung Agung, Bali (Wolfgang Piecha, Juni 2011)
Rsi Markandeya melakukan pertapaan di Gunung Raung. Ketika itu, Rsi Markandeya mendapatkan wahyu berupa suara gaib dan sinar terang yang tampak di arah Timur. Pemandangan deretan pegunungan berjejer memanjang dari Barat ke Timur dari Puncak Gunung Raung. Puncak-puncak gunung di timur Gunung Raung terlihat memanjang, sebagian pelaut mengira bahwa pulau tersebut panjangnya sampai dan menyatu ke Nusa Tenggara, begitu juga dalam Markendeya Purana, pulau tersebut dikenal sebagai Nusa Dawa (pulau panjang). Rsi Markandeya yang mendapatkan wahyu tersebut, untuk merambah hutan, yang nantinya akan dibagi kepada pengikutnya.
Lahan Pertanian dan Gunung Agung pada Tahun 1952, Oleh Paul Spies, Sumber Arsip TropenMuseum
Ekspedisi pertama Rsi Markandeya diikuti 400 orang pengikut dengan menyebrangi Segara Rupek (selat Bali), perjalanan tersebut langsung menuju ke arah gunung Toh Langkir (sekarang gunung Agung), sampai di lereng gunung yang masih hutan belantara, sang Rsi dan pengikutnya mulai membabat hutan untuk membuka lahan sebagai areal pertanian. Namun misi Rsi Markandeya gagal karena banyak pengikutnya yang meninggal karena sakit, kejadian misterius dan dimangsa binatang buas. Sebagai seorang yogi dan pertapa, beliau mengetahui bahwa ada kekuatan atau aura misterius yang menguasai pulau tersebut.
Komplek Pura Besakih dan Gunung Agung, Sumber Arsip Tropen Museum, 1935
Kemudian, Rsi Markandeya kembali lagi ke gunung Raung untuk melakukan tapa dan minta petunjuk kepada sang Pencipta, maka didapatkanlah wangsit untuk melakukan upakara yadnya sebelum merambah hutan di lereng gunung pulau Dawa tersebut. Kemudian Rsi Markandeya kembali lagi ke pulau Dawa untuk merambah hutan dengan membawa pengikut 400 orang berasal dari desa Aga yang merupakan penduduk kaki gunung Raung.
ADVERTISEMENT
Kali ini, sebelum memulai pekerjaan, Rsi Markandeya melakukan upacara ritual seperti Mecaru dan menanam 5 unsur logam atau panca Datu di antaranya emas, perak, tembaga, perunggu, besi, dan disertai dengan Mirah Adi (permata utama), agar mereka selamat dalam melakukan pekerjaan merambah hutan di lereng Gunung Agung. 400 pengikut yang melakukan pekerjaan merambah hutan tersebut tidak terkena wabah lagi.
Diduga upacara ini menjadi dasar umat Hindu Bali saat ini, selalu melakukan upacara yadnya sebelum membuka lahan baru baik itu untuk rumah, sawah ataupun tegalan, dan untuk pura menanam lima unsur logam Panca Datu.
Pura Besakih, pada Bulan Juni 2007, Diambil Oleh Rob Woodall
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya).
ADVERTISEMENT
Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar di Kompleks Pura Besakih. Pura Penataran Agung merupakan pura terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dari semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi
Umat Hindu Bali membawa persembahan ke puncak Gunung Agung, Foto diambil oleh Paul Spies, 1957. Sumber: Arsip TropenMuseum
Pura Besakih dan Gunung Agung telah menjadi tempat persembahyangan umat hindu Bali, sehingga ketika terjadi aktivitas Gunung Agung, maka menjadi penanda tentang hati para dewa. Pada tahun 1963, terjadi eruspsi besar Gunung Agung, Pura Besakih yang berada di kaki Gunung Agung tidak terkena aliran lahar letusan Gunung Agung. Masyarakat percaya bahwa letusan Gunung Agung pada tahun 1963 merupakan peringatan dari Dewata.
ADVERTISEMENT

Sejarah Pengamatan Gunung Api Agung

ADVERTISEMENT
Sejarah Pengamatan Gunung Api Agung tercatat sebanyak lima kali sejak tahun 1808. Sebelumnya terdapat catatan tentang erupsi Gunung Agung pada bulan Oktober 1710 hingga februari 1711, namun belum dapat dipastikan apakah catatan tersebut untuk erupsi Gunung Agung atau Gunung Batur. Pos Pengamatan Gunung Agung terletak sekitar 12 km dari Puncak Gunung Agung ke sekitar arah barat daya (222 derajat).
Pemandangan Gunung Abang (kiri) dan Gunung Agung (kanan) Oleh P.J van Baarda, 1930-1934, Sumber Arsip Tropen Museum
Pola dan sebaran hasil erupsi lampau Gunung Agung sebelum tahun 1808, 1821, 1843, dan 1963 menunjukkan tipe letusan yang hampir sama, di antaranya adalah bersifat eksplosif (letusan, dengan melontarkan batuan pijar, pecahan lava, hujan piroklastik dan abu), dan efusif berupa aliran awan panas, dan aliran lava.
ADVERTISEMENT
Periode erupsi Gunung Agung tahun 1808 mengeluarkan kolom abu dan batu apung dengan jumlah yang banyak, namun tidak terdapat keterangan lebih lanjut. Periode erupsi Gunung Agung yang pertama memiliki Skala 2 VEI.
Tiga belas tahun berselang, tepatnya tahun 1821, terjadi erupsi normal dari kawah pusat Gunung Agung. Namun tidak ada keterangan lebih rinci tentang erupsi tersebut. Dugaan kekuatan erupsi tahun 1821 memiliki Skala 2 VEI.
Erupsi 12 Maret 1963 membunuh 1148 Korban Jiwa, erupsi membuat 10 ribu orang kehilangan rumah, Kusumadinata 1963. Direktorat Vulkanologi 1963
Periode erupsi selanjutnya terjadi pada tahun 1843. Ketika itu, gempa bumi terjadi sebelum erupsi. Erupsi Gunung Agung 1843 mengeluarkan material abu, pasir dan batu apung. Dugaan kekuatan erupsi tahun 1843 memiliki Skala 5 VEI. Pada abad ke-20, tepatnya pada tahun 1908, 1915, dan 1917 terlihat tembusan fumarola di berbagai tempat di dasar kawah dan pematangnya.
ADVERTISEMENT
Erupsi Gunung Agung pada abad ke-20, terjadi hanya sekali, yaitu pada tanggal 18 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Erupsi Gunung Agung saat itu cukup eksposif dan bersifat magmatis. Erupsi Gunung Agung 1963-1964 menelan korban 1.148 orang meninggal, 296 orang luka dan lebih dari 10.000 orang kehilangan tempat tinggalnya. Lava yang mengalir antara 19 Februari dan 17 Maret 1963 mengalir dari kawah utama di puncak ke utara, lewat tepi kawah yang paling rendah, berhenti pada garis ketinggian 505,64 m dan mencapai jarak ± 7.290 m.
Kolom Tinggi Asap Gunung Agung pada 17 Maret 1963, Foto Oleh Djazuli, 1963, Dok. Direktorat Vulkanologi
Periode erupsi Gunung Agung yang terakhir terjadi pada abad ke-21, erupsi ini dimulai sejak 21 November 2017 hingga 13 Juni 2019. Peningkatan aktivitas seismik telah dirasakan sejak September 2017. BNPB mendeklarasikan zona eksklusi 12 km di sekitar gunung Agung ada 24 September 2017.
ADVERTISEMENT
Erupsi Gunung Agung yang pertama berupa erupsi freatik pada tanggal 21 November 2017. Erupsi magmatis terjadi pada 25 November 2017. Abu gunung Agung dilaporkan naik sekitar 1,5–4 km di atas puncak kawah, dan hanyut ke arah selatan dan menyebabkan lokasi di sekitarnya ditutupi oleh abu vulkanik dengan lapisan tipis abu berwarna gelap. Erupsi Gunung Agung tercatat erupsi pada Pukul 01:38 WITA Tanggal 13 Juni 2019.
Erupsi Gunung Agung, pada Tanggal 27 November 2017, Sumber Wikimedia
Setelah erupsi 13 Juni 2019, aktivitas kegempaan Gunung Agung secara umum mengalami penurunan. Gempa vulkanik terus tercatat tetapi pada level yang rendah. Data deformasi menunjukkan pola penurunan yang stabil setelah erupsi tersebut. Anomali termal terakhir terlihat dalam data satelit pada Oktober 2019 dan tidak muncul kembali. Kolom asap putih terlihat naik 20-150 m di atas puncak selama 1 Januari-16 Juli 2020. PVMBG menurunkan status Siaga Gunung Agung menjadi status Waspada pada 16 Juli 2020 hingga sekarang. Status Waspada ini menyatakan bahwa masyarakat tidak boleh memasuki zona eksklusi yang ditetapkan pada radius 2 km.
Erupsi Gunung Agung pada 24 Mei 2019, Sumber Press Release Gunung Agung, Magma Indonesia, PVMBG, 2019
Gunung api Agung secara umum memiliki dua jenis awan panas, yakni awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi pada waktu ada letusan besar. Kecepatan dari awan letusan ini menurut pengamatan dari Pos Rendang adalah rata-rata 60 km per jam dan di sebelah selatan mencapai jarak paling jauh 13 km, yakni di T. Luah dan di sebelah utara 14 km di T. Daya.
ADVERTISEMENT
Daerah yang terserang awan panas letusan pada kegiatan 1963 terbatas pada lereng selatan dan utara saja, karena baik di barat maupun di sebelah timur kawah ada sebuah punggung. Kedua punggung ini memanjang dari barat ke timur. Awan panas letusan yang melampaui tepi kawah bagian timur dipecah oleh punggung menjadi dua jurusan ialah timur laut dan tenggara. Demikian awan panas di sebelah barat dipecah oleh punggung barat ke jurusan barat daya dan utara. Awan panas letusan yang terjadi selama kegiatan 1963 telah melanda tanah seluas ±70km2.

Geologi dan Arkeologi Gunung Api Agung

Gunung api Agung (3014 mdpal) merupakan Gunung api Strato dengan kerucut dan parasit gunung api. Gunung api Agung memiliki tatanan tektonik zona subduksi dengan tipe batuan mayor andesit hingga andeit basaltik.
Citra Satelit Kerucut Gunung Api Agung, Sumber: Magma Indonesia, PVMBG, 2021
Morfologi kerucut gunung api berbentuk hampir simetri dan lerengnya relatif terjal. Satuan morfologi ini dibentuk oleh bahan piroklastik dan lava, bagian puncak ditutupi oleh bahan lepas yang cukup tebal, terutama piroklastik jatuhan hasil letusan tahun 1963.
ADVERTISEMENT
Sedangkan morfologi parasit Gunung api daerah Gunung Agung terdapat pada lereng tenggara, membentuk kerucut-kerucut gunung api, di antaranya Gunung Pawon (800 m dpl). Beberapa kerucut pada bagian timur Gunung api Agung, diduga bukan merupakan parasit dari Gunung api Agung. Bahan pembentuk satuan morfologi ini terdiri dari lava dan bahan lepas berupa skoria.
Macaque Bali di Ketinggian 2500 mdpal Lereng Gunung Agung (Wolfgang Piecha, June 2011)
Ahli arkeologi menemukan banyak peninggalan zaman megalitik, seperti menhir, tahta batu, struktur teras piramida yang ditemukan di kompleks Pura Besakih, hal ini menunjukkan bahwa sebagai tempat yang disucikan nampaknya Besakih berasal dari zaman yang sangat tua, jauh sebelum adanya pengaruh Agama Hindu.

Kawasan Rawan Bencana dan Kondisi Terkini Gunung Api Agung

KRB Gunung Agung, Dok. Magma Indonesia, PVMBG 2021
Kawasan Rawan Bencana Gunung Agung yang perlu diwaspadai masyarakat terbagi menjadi tiga kawasan, yaitu:
ADVERTISEMENT
Foto Gunung Api Agung terbaru, Dok. Magma Indonesia, PVMBG 27 Juni 2021
Gunung api Agung sekarang ini masih berstatus Waspada. Rekomendasi yang diberikan PVMBG kepada masyarakat di sekitar Gunung Agung dan wisatawan agar tidak berada, tidak melakukan pendakian dan tidak melakukan aktivitas apa pun di Zona Perkiraan Bahaya yaitu di dalam area kawah Gunung Agung dan di seluruh area di dalam radius 2 km dari Kawah Puncak Gunung Agung. PVMBG juga merekomendasikan Masyarakat yang bermukim serta beraktivitas di sekitar aliran-aliran sungai yang berhulu di Gunung Agung agar mewaspadai potensi ancaman bahaya sekunder berupa aliran lahar hujan yang dapat terjadi terutama pada musim hujan dan jika material erupsi masih terpapar di area puncak.
Puncak dan Kawah Gunung Agung, Wolfgang Piecha, Juni 2011
Semoga tingkat aktivitas Gunung Agung segera menurun, agar sobat gunung dapat melakukan pendakian ke Gunung Agung ini yaa!
ADVERTISEMENT

Tutur Bahasa

ADVERTISEMENT
Pelinggih adalah tempat pemujaan sebagai perwujudan yang dipuja atau diupacarai pada agama Hindu.
Upakara adalah bentuk sebuah pelayanan yang terwujud yang berupa materi dari hasil kegiatan kerja untuk dikorbankan atau dipersembahkan dalam upacara keagamaan.
Referensi
Chaussard E, Amelung F, 2012. Precursory inflation of shallow magma reservoirs at west Sunda volcanoes detected by InSAR. Geophysical Research Letters, 39, L21311. https://doi.org/10.1029/2012GL053817
Chaussard E, Amelung F, Aoki Y, 2013. Characterization of open and closed volcanic systems in Indonesia and Mexico using InSAR time series. J. Geophys. Res., 118(8), 3957-3969. https://doi.org/10.1002/jgrb.50288
Fontijn K, Costa F, Sutawidjaja I, Newhall C G, Herrin J S, 2015. A 5000-year record of multiple highly explosive mafic eruptions from Gunung Agung (Bali, Indonesia): implications for eruption frequency and volcanic hazards. Bull Volcanol, 77: 59. https://doi.org/10.1007/s00445-015-0943-x
ADVERTISEMENT
Global Volcanism Program, 2013. Agung (264020) in Volcanoes of the World, v. 4.10.0 (14 May 2021). Venzke, E (ed.). Smithsonian Institution. Downloaded 29 Jun 2021 (https://volcano.si.edu/volcano.cfm?vn=264020). https://doi.org/10.5479/si.GVP.VOTW4-2013
Marinelli G, Tazieff H, 1968. L'Ignimbrite et la caldera de Batur (Bali, Indonesia). Bull Volcanol, 32:1, 89-120. https://doi.org/10.1007/BF02596587
Neumann van Padang M, 1951. Indonesia. Catalog of Active Volcanoes of the World and Solfatara Fields, Rome: IAVCEI, 1: 1-271.
PVMBG, 2014. Gunung Api Agung. Sumber URL: https://vsi.esdm.go.id/index.php/Gunung api/data-dasar-Gunung api/468-g-agung?
PVMBG, 2021. Magma Indonesia: Laporan Aktivitas Gunung Api Agung. Sumber URL: https://magma.esdm.go.id/v1/gunung-api/laporan/165536?signature=b083715fb06e29d98c81ae1d947765c584e6ff8d18bf190fe74be16a3eb4c22c
Self S, King A J, 1996. Petrology and sulfur and chlorine emissions of the 1963 eruption of Gunung Agung, Bali, Indonesia. Bull Volcanol, 58: 263-285. https://doi.org/10.1007/s004450050139
ADVERTISEMENT
Zen M T, Hadikusumo D, 1964. Preliminary report on the 1963 eruption of Mt.Agung in Bali (Indonesia). Bull Volcanol. 27:1, p. 269-299. https://doi.org/10.1007/BF02597526