Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kenapa Vaksin Harus Gratis?
17 Desember 2020 6:35 WIB
Tulisan dari Ronny Josua Limbong tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sebelumnya pemerintah menyatakan bahwa vaksin yang akan dibiayai oleh pemerintah diperuntukkan bagi tenaga medis dan bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan yang tidak memiliki penyakit penyerta atau komorbid dengan rentang usia 19-59 tahun. Belakangan ini reaksi keras berbagai pihak dari kalangan akademisi dan organisasi masyarakat sipil soal vaksin berbayar semakin mengemuka di media sosial.
Wacana vaksin mandiri/berbayar ini ditentang oleh banyak pihak karena selain berpotensi menghambat tercapainya herd imunity, juga tidak adil dan bersifat diskriminatif. Pertentangan ini semakin menjadi ketika beberapa negara lain mengumumkan pengadaan vaksin gratis bagi seluruh warga negaranya seperti di India, Kanada, Bahrain, Arab Saudi, Mesir, Maroko, Jepang, Perancis, Portugal, dan Belgia. Hal ini membuat banyak pihak semakin mempertanyakan komitmen Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Menurut Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi vaksin belum dapat diberikan secara gratis karena masih adanya kebutuhan anggaran untuk sektor yang lain. Hal ini dapat diartikan adanya keterbatasan anggaran negara untuk dapat mengakomodasi vaksin gratis bagi seluruh warga Indonesia.
Lantas dalam konteks hak asasi manusia apakah vaksin harus gratis bagi seluruh warga negara?
Pengadaan Vaksin sebagai Pemenuhan Hak Atas Standar Kesehatan Tertinggi
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (KIHESB) melalui pengesahan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2005. Dalam Pasal 12 ayat (1) Kovenan tersebut dinyatakan bahwa Negara Pihak (termasuk Indonesia) mengakui hak setiap orang untuk menikmati hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental. Lebih lanjut pada ayat kedua poin ke-3, menjelaskan bahwa langkah-langkah yang diambil Negara Pihak untuk mencapai perwujudan sepenuhnya hak atas kesehatan salah satunya adalah pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular, dan endemik.
ADVERTISEMENT
Hak atas kesehatan dalam konteks pemberian vaksin juga diakui dalam konstitusi Indonesia serta kerangka regulasi lainnya. Pasal 28H UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan seperti Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan negara memiliki tanggung jawab dalam menyelenggarakan pemberian vaksin dan menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, dan terjangkau bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular.
Melalui instrumen HAM internasional dan nasional telah dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas hak kesehatan setiap orang apalagi bila berkaitan dengan pengendalian penyakit menular seperti COVID-19. Frasa standar kesehatan tertinggi dalam konteks hak asasi manusia mengindikasikan bahwa tanggung jawab pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat tidak terbatas pada standar/kewajiban minimum saja melainkan harus mencapai standar tertinggi dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara maksimal (maximum available resources).
ADVERTISEMENT
Adanya wacana vaksin berbayar/mandiri bagi 70 persen sasaran penerima vaksin adalah sebuah tindakan diskriminasi secara tidak langsung. Aksesibilitas sebagai salah satu elemen kunci yang terkandung dalam hak atas kesehatan memiliki empat dimensi yaitu non-diskriminasi, akses secara fisik, akses ekonomi (terjangkau secara ekonomi), dan akses informasi. Penyediaan vaksin berkaitan dengan pengendalian penyakit menular haruslah dapat diakses oleh setiap orang sebagai langkah pelindungan hak atas kesehatannya masing-masing sehingga pengadaan vaksin gratis dapat mengurangi hambatan aksesibilitas setiap penduduk, secara khusus penduduk miskin dan hampir miskin agar dapat bebas dari penyakit menular tersebut.
Menurut data Badan Pusat Statistik bulan Maret 2020 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 26,42 juta orang (9,78%) sedangkan persentase penduduk hampir miskin hingga bulan Maret 2019 mencapai 19,91 juta orang (7,45%). Jumlah penduduk hampir miskin ini kemungkinan besar bertambah seiring belum selesainya pandemi. Apabila secara sekilas kita bandingkan antara garis kemiskinan pada Maret 2020 yaitu sebesar Rp454.652,-, maka vaksin dengan kisaran harga –vaksin Sinovac sebagai contoh- sebesar Rp141.320-Rp282.640,- akan sulit untuk dijangkau.
ADVERTISEMENT
Data tersebut dapat menjadi suatu gambaran bahwa pemberian vaksin gratis harus diperluas agar aksesibilitas bagi setiap orang semakin terbuka. Apalagi kalau kita mengingat fakta bahwa belum semua orang miskin, rentan miskin, dan menengah yang membutuhkan perlindungan masuk ke dalam daftar PBI. Wacana pemerintah untuk mengadakan vaksin mandiri/berbayar dengan porsi yang besar secara tidak langsung mendiskriminasi masyarakat miskin dan rentan.
Selain bersifat diskriminatif, pengadaan vaksin COVID-19 mandiri/berbayar juga akan menghambat terciptanya kekebalan kelompok atau yang sering kita dengar dengan herd immunity. Paul Fine et al (2011) menyatakan bahwa herd immunity hanya akan tercapai apabila tingkat efikasi vaksin dan tingkat vaksinasi tinggi sehingga jaminan akses vaksinasi bagi setiap orang adalah salah satu syarat wajib untuk menyelesaikan pandemi.
ADVERTISEMENT
Wujud Kehadiran Negara
Keputusan tentang pemberian vaksin gratis bagi seluruh masyarakat oleh Presiden Joko Widodo tentu menjadi sebuah berita baik. Hal ini bisa diartikan sebagai langkah awal negara untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam memenuhi hak atas kesehatan masyarakatnya. Namun beberapa hal perlu tetap diperhatikan ketika penyaluran vaksin akan berjalan.
Pertama, sesuai dengan kaidah hak asasi manusia, penyaluran vaksin harus non-diskriminatif. Kelompok rentan, tenaga medis & kesehatan, serta setiap pihak yang menjadi garda terdepan penanggulangan pandemi harus menjadi prioritas pemberian vaksin. Setelah itu pemberian vaksin dapat dilanjutkan melalui sistem yang baik dengan distribusi yang adil dan transparan.
Kedua, hal yang paling sering menjadi tantangan dalam vaksinasi adalah adanya golongan anti-vaksin. Pemerintah harus aktif menggunakan cara-cara persuasif bagi kelompok masyarakat yang menolak vaksinasi. Pemberian insentif dan pelibatan tokoh masyarakat dapat dilakukan untuk meningkatkan tingkat vaksinasi bagi kelompok tersebut.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pengadaan vaksin COVID-19 tentu harus melalui serangkaian uji klinis yang valid untuk menjamin kualitasnya atau efektivitasnya. Konsep kualitas/mutu adalah satu elemen kunci selain aksesibilitas yang diperlukan dalam perwujudan hak atas kesehatan.
Keempat, untuk mendukung pemenuhan hak atas informasi, akses informasi mengenai harga, jenis, lokasi penyaluran, dan lain-lain yang diperlukan terkait dengan pengadaan vaksin harus dapat diakses dengan mudah secara khusus bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat dan penyandang disabilitas.
Dampak yang sangat besar mulai dari aspek perekonomian, gaya hidup, cara kerja, hingga hubungan sosial dan kebudayaan akibat pandemi COVID-19 telah memberikan susah dan duka bagi sebagian besar orang. Namun saat ini setitik harapan mulai muncul. Vaksin sebagai senjata bersama untuk lepas dari pandemi COVID-19 mulai hadir. Negara sebagai duty bearer memiliki mandat untuk menjaga dan mewujudkan harapan tersebut melalui vaksin yang terjangkau, aman, dan efektif bagi setiap orang demi meraih pemulihan yang kita cita-citakan.
ADVERTISEMENT