Afghanistan Bertahan dengan status 'The Graveyard of Empires'

Ronny P Sasmita
Warga Negara Biasa Penikmat Kopi Warkop yang Nyambi Jadi Pengamat Ekonomi, Penikmat Sejarah dan Kajian-Kajian Strategis
Konten dari Pengguna
12 Desember 2021 15:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ronny P Sasmita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Graveyard of Empires
zoom-in-whitePerbesar
Graveyard of Empires
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Alexander the Great dan Jenghis Khan pernah berusaha keras menaklukkan wilayah yang sekarang dikenal sebagai Afghanistan. Negara ini, dalam perjalanan sejarahnya, memang telah lama dikenal sebagai "The Graveyard of Empires", kuburan imperium-imperium. Status ini kemudian dianggap sebagai reputasi tersendiri oleh orang-orang Afghan dalam menggagalkan ambisi ekspansionis penjajah, mulai dari Inggris Raya, Uni Soviet, dan baru-baru ini Amerika.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2010, antropolog Thomas Barfield menulis dalam bukunya “Afghanistan. A Cultural and Political History” bahwa cara "Afghanistan menyingkirkan penjajah asing adalah dengan membuat negaranya tidak dapat dikendalikan (ungovernable), tidak stabil, and sulit dikontrol, sehingga penjajah pada akhirnya pergi sendiri". Namun, kata Thomas, strategi tersebut akhirnya justru menghantui rakyat Afghanistan sendiri karena setiap konflik yang terjadi justru membuat institusi negara dan pemerintahan di sana menjadi semakin lemah, sehingga setiap penguasa yang muncul cenderung memilih jalan berkuasa secara otoriter dan brutal.
Menurut Jonathan L Lee dalam “Afghanistan: A History from 1260 to the Present,” sejarah modern Afghanistan dimulai tahun 1747 dengan didirikannya Durrani Empire oleh Ahmad Shah Durrani, komandan militer Pashtun yang sebelumnya mengabdi pada Imperium Persia, yang dipimpin Nadir Shah. Setelah peristiwa pembunuhan Nadir, Durrani membidani kelahiran kerajaan Afghanistan (Durani Empire) yang didominasi oleh suku Pashtun, posisinya secara geografis berada antara Imperium Persia dan Imperium Mughal (imperium muslim yang menguasai sebagian wilayah India). Durrani Empire bertahan sampai 1823, lalu digantikan oleh Dost Muhammad Khan, yang muncul di Kabul pada tahun 1826. Dost adalah emir (atau penguasa) Afghanistan yang kemudian mendirikan dinasti Barakzai.
ADVERTISEMENT
Memasuki abad kesembilan belas, wilayah Afghanistan terperangkap dalam great game antara Inggris Raya dan Imperium Rusia. Karena khawatir Rusia akan menggunakan Afghanistan untuk loncatan awal menyerang Asia Selatan, Inggris memutuskan bergerak lebih dulu. Inggris menyerang Afghanistan pada tahun 1839 dan mendudukan penguasa lokal sebagai boneka kekuasaannya. Aksi Inggris berakhir buruk. Sejarawan William Dalrymple dalam bukunya “Return of a King: The Battle for Afghanistan, 1839-42” menyebutnya dengan istilah "bencana terbesar" Imperial Inggris
Pada Perang Dunia Pertama, pemerintah Afghanistan memilih netral, dengan menolak seruan Kekaisaran Ottoman untuk menggelorakan pan-Islamisme, solidaritas Islam melawan Rusia dan Inggris Raya. Tapi segera setelah perang usai, Raja Amanullah Khan (1919-1929) kemudian tetiba melancarkan serangan terhadap pasukan Inggris di Afghanistan (dikenal dengan Perang Anglo-Afghanistan Ketiga), dan menang, lalu mendapat kemerdekaan dari Inggris yang disepakati via Perjanjian Rawalpindi (8 Agustus 1919).
Pemuda berfoto di sebelah bendera Afghanistan di puncak bukit yang menghadap ke Kabul, Afghanistan. Foto: Mohammad Ismail/REUTERS
Amanullah beraliran modernis sekuler yang berusaha merepresentasikan semua etnis minoritas di Afganistan. Namun Amanullah disikat oleh oleh etnis Tajik, yang dipimpin Raja Habibullah Kalakani, berlanjut ke Raja Mohammad Nadir Shah yang mangangkat kembali Rezim Barakzai, lalu digantikan oleh putranya Mohammad Zahir Shah pada tahun 1933. Dialah Raja terakhir Afghanistan, Zahir Shah (1933-1973) yang masih dikenang dengan baik oleh beberapa kelompok di Afghanistan karena keberhasilannya melahirkan konstitusi Afganistan pada tahun 1964, membentuk lembaga legislatif dan mempromosikan kebebasan bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Zahir Shah berjuang mendapatkan dukungan Amerika untuk mengimbangi Uni Soviet dan juga berjuang mendapatkan dukungan Soviet untuk mengimbangi Amerika. Sudah menjadi nasibnya, Afghanistan kembali terjebak ke dalam great game antara Amerika dan Soviet di masa perang dingin. Pada awalnya, Aghanistan terbilang berhasil memainkan perannya di Perang Dingin. Afghanistan mendapat cuan dari kedua kubu. Soviet membangun proyek infrastruktur di Afghanistan pada masa Zahir Shah, seperti Terowongan Salang utara-selatan dan lapangan terbang Bagram. Amerika Serikat juga memberikan bantuan pembangunan pertanian dan lainnya, seperti proyek irigasi yang dipimpin USAID dan pembangkit listrik tenaga air di Provinsi Helmand, Bendungan Kajaki.
Afghanistan mulai kurang stabil pada tahun 1970-an, selama Pemerintahan Nixon, yang sangat anti komunis dan agak alergi pada gerakan Islam. Saat perawatan medis ke Italia tahun 1973, Zahir Shah digulingkan oleh sepupunya, Mohammad Daoud. Daoud menghapus tatanan monarki Afganistan, lalu menyatakan dirinya sebagai Presiden pertama Afghanistan dengan gaya diktatorial. Umur pemerintahannya hanya 5 tahunan, Daoud kemudian digulingkan dan dibunuh pada April 1978 oleh perwira militer di bawah arahan dua orang petinggi People's Democrat Party of Afghanistan (PDPA), Hafizullah Amin dan Nur Mohammad Taraki, via Revolusi Saur (bulan April 1978).
ADVERTISEMENT
Taraki menjadi presiden, tetapi setahun kemudian, September 1979 dikudeta oleh kawannya sendiri, Amin. Padahal keduanya berasal dari faksi yang sama, faksi Khalq PDPA dari etnis Pashtun pedesaan. Amin mencoba memaksakan gaya sosialis radikal untuk merubah sistem masyarakat tradisional dengan mendistribusikan kembali tanah dan membawa lebih banyak perempuan ke dalam pemerintah. Namun penolakan muncul yang memicu pemberontakan dari partai-partai Islam.
Pemberontakan tersebut semakin masif, membahayakan posisi pemerintahan Amin, ditambah dengan kecurigaan Soviet bahwa Amin mulai bermain mata dengan Amerika setelah kunjungannya ke Washington, yang memicu invasi Soviet ke Afganistan di akhir tahun yang sama, Desember 1979. Soviet kemudian mengganti Amin dengan Kamal Barbrak untuk menjalankan pemerintahan Afhanistan dengan gaya Moscow (Komunis), yang memicu lahirnya Mujahideen.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya sebagaimana telah diketahui, perjuangan Mujahideen yang di-back up oleh dana dan senjata dari Amerika dan Saudi via Pakistan membuat Soviet bersimbah darah selama 10 tahun di Afghanistan, dengan memulangkan sekitar 13000 peti mati ke Moscow, yang memicu meningkatnya antipati masyarakat Soviet kepada partai komunis soviet. Soviet menandatangani kesepekatan Geneva di tahun 1988 untuk keluar dari Afghanistan setahun berikutnya, 1989. Dua tahun kemudian, 1991, Uni Soviet kolap
Amerika dan Saudi memiliki peran besar dalam membantu Mujahideen, yang Sebagian anggotanya kemudian menjadi Taliban dan Al Qaeda. Setelah Soviet keluar dari Afghanistan, pemerintahan Mujahideen yang tidak stabil terbentuk. Lima tahun setelah kelahirannya, Taliban, berkat dukungan intelejen Pakistan (ISI), berhasil menyingkirkan pemerintahan Mujahideen dan mendudukan Mullah Omar sebagai pemimpin negara emirate Afghanistan di tahun 1996.
ADVERTISEMENT
Kemudian peristiwa 9/11 2001 membuat Amerika harus mengikuti langkah Uni Soviet dengan menginvasi Afghanistan, menyingkirkan pemerintahan Taliban karena menolak menyerahkan Osama bin Laden. Amerika terjebak di sana jauh lebih lama ketimbang Soviet, dari pemerintahan Bush Yunior, Obama, Trump, dan berakhir di tangan Biden. Sama seperti nasib Uni Soviet, Amerika pulang dengan kekalahan.
Jika targetnya adalah “hanya membunuh Osama bin Laden,” maka target itu telah terpenuhi. Tapi jika targetnya “nation building,’ maka Amerika telah gagal saat pemerintahan Ashraf Ghani kabur begitu saja jelang Kabul diambil alih Taliban. Nyatanya Amerika memang tak pernah benar-benar keluar dari Afghanistan setelah pemerintahan baru terbentuk di 2004, meski sempat mengalami “hilang focus” sejak Amerika menginvasi Irak di 2003 dan pembunuhan Osama di tahun 2011. Sampai akhirnya di tahun 2021, Joe Biden dengan tegas dan konsisten memutuskan untuk keluar secara total dari Afghanistan dengan status “bukan sebagai pemenang” serupa dengan saat Amerika keluar dari Vietnam di tahun 1975. Konsistensi Joe Biden, bagaimanapun, telah ikut mengokohkan status “The Graveyard of Empires” untuk Afghanistan.
ADVERTISEMENT