Mengapa Joe Biden "Kekeuh" Ingin Keluar dari Afghanistan

Ronny P Sasmita
Warga Negara Biasa Penikmat Kopi Warkop yang Nyambi Jadi Pengamat Ekonomi, Penikmat Sejarah dan Kajian-Kajian Strategis
Konten dari Pengguna
15 Desember 2021 14:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ronny P Sasmita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Joe Biden
zoom-in-whitePerbesar
Joe Biden
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejatinya, keluar dari Afghanistan adalah aspirasi politik Joe Biden sejak lama. Di tahun pertama pemerintahan Obama-Biden, 2009, telah muncul perdebatan panas apakah Amerika akan meningkatkan jumlah pasukan di Afghanistan setelah hampir delapan tahun berperang yang ternyata masih gagal memadamkan pemberontakan Taliban atau justru menguranginya.
ADVERTISEMENT
Di tahun itu, para petinggi militer di Pentagon meminta tambahan 17.000 tentara untuk Afghanistan. Setelah disepakati Gedung Putih, muncul lagi permintaan penambahan 40.000 pasukan baru untuk meningkatkan kekuatan melawan Taliban di satu sisi dan memperkuat posisi pemerintah Afghanistan di sisi lain
Wakil Presiden kala itu, Joe Biden secara konsisten mempertanyakan permintaan tambahan pasukan tersebut. Selama berbulan-bulan perdebatan, Joe Biden berulang kali mengungkit berbagai kemungkinan persoalan di balik penambahan pasukan yang membuat petinggi pentagon gerah. Praktis Joe Biden tak disukai oleh para petinggi militer. Biden meyakini bahwa penambahan pasukan tidak akan mengarahkan Amerika dan pemerintahan Afghanistan kepada kemenangan atas Taliban
Kisah keenganan Joe Biden menanggapi permintaan penambahan pasukan untuk Afghanistan tersebut ditulis dengan baik oleh Bob Woodward dalam bukunya di tahun 2010, Obama's Wars. Memang, tulis Bob, Biden tidak secara ekplisit mendukung penarikan total pada saat itu. Tapi Biden juga dengan jelas memperlihatkan keengganannya untuk mendukung penambahan pasukan secara masif ke Afghanistan.
ADVERTISEMENT
Walhasil, Biden mengambil posisi moderat dengan mendorong misi terbatas yang fokus pada operasi kontraterorisme dengan dukungan pasukan yang jauh lebih kecil dibanding yang diminta oleh para jenderal tersebut
Perdebatan berlangsung berbulan-bulan selama tahun pertama pemerintahan Obama. Masalah utama yang dipersoalkan Joe Biden, tulis Bob, adalah apa sebenarnya tujuan Amerika tetap berada di Afghanistan dan apakah memang diperlukan lebih banyak pasukan untuk mencapainya?
Persoalan terus dibahas oleh Joe Biden ketika berhadapan dengan keinginan para pemimpin militer yang mengajukan tambahan puluhan ribu tentara lagi untuk menjalankan misi kontra-pemberontakan (counterinsurgency) yang ekspansif seiring dengan upaya menstabilkan pemerintahan Afghanistan
Dan akhirnya, kata Bob, Biden didn't buy it. Dengan segala upaya, Biden memperjuangkan misi dengan jumlah pasukan yang lebih terbatas, jauh di bawah jumlah pasukan yang di-request oleh pemipin militer. Dalam buku Bob tersebut diceritakan, di sebuah acara santai Biden pernah mengatakan bahwa "Building a functioning nation-state in Afghanistan was impossible."
ADVERTISEMENT
Kemudian dalam satu pertemuan lainya di bulan Oktober, tulis Bob, Biden pernah bertanya kepada para petinggi militer tersebut, “If a year from now there is no demonstrable progress in governance, what do we do?" Sayangnya, Biden tidak mendapatkan jawaban yang meyakinkan. Karena itu, Biden kemudian menulis memo kepada Obama yang berisi “no full counterinsurgency" and "no nation building"
Menurut Bob, Biden meyakini bahwa Taliban tidak memiliki potensi untuk menyebarkan semangat Jihadis ke tataran global. Terkait keyakinannya itu, pada suatu kesempatan Biden pernah bertanya pada para pejabat intelejen, “Is there any evidence the Afghan Taliban advocates attacks outside of Afghanistan and on the U.S., or if it took over more of Afghanistan it would have more of an outward focus?” Dan dijawab "No"
ADVERTISEMENT
Setelah berbulan-bulan berdebat, akhirnya Biden mengusulkan bahwa penambahan pasukan sebaiknya di bawah 20.000 pasukan dengan misi "kontraterorisme," setengah dari jumlah penambahan pasukan yang diminta oleh petinggi militer.
Namun keputusan ada di tangan Obama sebagai presiden. Obama terjebak di tengah di antara keyakinan Joe Biden dan kepentingan petinggi militer. Untuk menyiasatinya, Obama berusaha untuk menengahi keduanya dengan menyetujui penambahan 30.000 pasukan, angka moderat antara 40.000 dan 20.000. Obama memenuhi sebagian besar tuntutan petinggi militer karena tak ingin bersitegang dengan Menteri Pertahanan saat itu, Robert Gates.
Biden memang tak menyatakan secara terbuka kebutuhan Amerika untuk menarik pasukan secara total dari Afghanistan, tapi Biden kala itu terlihat sangat keras menolak penambahan pasukan dengan jumlah yang besar.
ADVERTISEMENT
Pada perdebatan tahun 2009 lalu itu, Biden tak memiliki daya tawar yang cukup untuk memaksakan keinginannya mengingat posisinya hanya sebagai wakil presiden. Situasinya sangat berbeda dengan hari ini, di mana keputusan untuk keluar secara total dari Afghanistan berada sepenuhnya di tangannya.
Selain aspirasi yang sejak lama diperjuangkannya tersebut, Biden juga memiliki beberapa faktor pendukung yang bisa menjadi justifikasi penting atas keputusannya membawa Amerika keluar dari Afghanistan.
Pertama, Biden merasa bahwa rencananya untuk keluar dari Afghanistan mendapat dukungan luas dari publik Amerika. Jajak pendapat bulan Juli 2021 lalu yang dilakukan Chicago Council menunjukan bahwa 70% orang Amerika mendukung penarikan pasukan AS dari Afghanistan pada 11 September 2021, sementara 29% menentangnya.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, survey tersebut tidak secara detail menanyakan respon publik atas langkah-langkah teknis yang tepat untuk mewujudkannya. Sehingga setelah menyaksikan pengerakan cepat Taliban dalam menduduki ibu kota-ibu kota provinsi di Afghanistan, dukungan publik menyusut cukup drastis.
Survey dari Morning Consult/Polling Politico, yang dilakukan dari 13-16 Agustus dengan sampel 1.999 pemilih yang terdaftar di AS, menunjukkan bahwa hanya 25 persen pemilih Amerika berpendapat bahwa rencana penarikan diri AS dari Afghanistan berjalan dengan baik. Pendukung penarikan hanya tersisa 49 persen, turun dari 69-70 persen dibanding bulan April.
Kedua, faktor anggaran. Amerika menghabiskan $2,26 triliun untuk perang di Afghanistan, baik untuk membangun kembali pemerintahan Afghanistan maupun melatih militernya. Namun setelah 20 tahun berinvestasi, Afghanistan ternyata masih belum bisa mempertahankan diri.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya Biden yang mempertimbangkan beban anggaran tersebut, Donald Trump pun di saat menyampaikan keinginannya membawa Amerika keluar dari Afghanistan, pertimbangan utamanya adalah soal pemeborosan anggaran.
Sementara itu di sisi lain, Biden sedang berjuang untuk mewujudkan visi domestiknya, "build back better" yang membutuhkan triliunan dollar, baik untuk infrastruktur, energi terbarukan, pelebaran pengguna Obamacare, kemandirian supply chain dalam negeri, maupun untuk research and development terkait teknologi supercomputer dan 5/6G, dan lainya
Ketiga, di mata Biden, misi untuk tetap bertahan di Afganistan sangat tidak jelas. Berkali-kali ia menyampaikan bahwa Osama bin Laden telah dieksekusi, tak ada lagi alasan Amerika tetap bertahan di Afghanistan. Misi nation building bukanlah misi Amerika datang ke sana, tapi misi orang-orang Afghanistan sendiri.
ADVERTISEMENT
Dan keempat, dari perspektif foreign policy dan geopolitik, Afghanistan sudah tidak lagi menjadi fokus utama Amerika. Saat ini Amerika sedang fokus kepada strategic competitor-nya, China. Sebagaimana janjinya untuk berkompetisi dengan China, Joe Biden akan membangun landasan politik luar negerinya dari dalam, dengan menguatkan kelas menengah Amerika, membenahi infrasturktur, dan meningkatkan kembali daya saing Amerika di pentas dunia.
Dan itu semua bagi Joe Biden, di satu sisi dianggap jauh lebih penting ketimbang urusan Afghanistan dan di sisi lain juga memerlukan anggaran yang sangat besar.