Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perang Ilegal di Irak dan Dokrin Seorang Pemabuk yang Insyaf
14 Desember 2021 16:13 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ronny P Sasmita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan perdebatan di ALEC Station , divisi Afganistan di CIA, yang memosisikan Al Qaeda dan Hezbollah di daftar teratas tersangka peristiwa Nine Eleven, di gedung putih justru ceritanya agak berbeda. Sehari setelah serangan Nine Eleven, Richard Clarke, Chief Adviser bidang kontra-terorisme Gedung Putih kaget bukan main setelah mengetahui bahwa Bush Yunior bertekad menjadikan Saddam Hussein, bukan Osama bin Laden, sebagai target utama peperangan pemerintah Amerika melawan terorisme.
ADVERTISEMENT
Di saat itu, Bush memiliki berbagai alasan untuk menempatkan Saddam Hussein di urutan teratas daftar tersangka Nine Eleven, tentunya juga dipengaruhi oleh pandangan kelompok Neo Conservative yang ia pasang di dalam pemerintahanya (Cheney, Wolfowitz, dan Rumsfeld). Padahal kubu Neocon dihindari oleh bapaknya, Bush Senior, bahkan dianggap sebagai musuh.
Faktor umum, pemimpin Irak kala itu dianggap selalu menentang resolusi PBB yang mengharuskan Irak untuk mengizinkan inspeksi Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Faktor ini terkait dengan tuduhan Amerika bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Namun ada faktor khusus. Bush juga memiliki alasan yang sangat pribadi untuk menyingkirkan Saddam Hussein. Misalnya, Bush ingin membalas dendam atas upaya Saddam Hussein yang ingin membunuh ayahnya ketika Bush senior mengunjungi Kuwait pada tahun 1993, yang berhasil digagalkan para agen CIA, dua tahun setelah Saddam berhasil dipukul mundur dari tanah Kuwait
ADVERTISEMENT
"The SOB (begitu Bush memanggail Saddam Hussein) tried to kill my dad,” kata Bush
Ketika itu, Bush juga sangat percaya pada informasi dari para pejabat intelijen bahwa Saddam Hussein tidak saja berencana membunuh ayahnya, tetapi juga ibunya, istrinya, dan dua saudara bungsunya, Neil dan Marvin. Menurut beberapa keluarga dekatnya, Bush bahkan merasa bahwa mereka tidak akan permah aman selama Saddam Hussein tetap berkuasa.
Sementara menurut ahli psikologi, Dan McAdam, faktor "Oedipal " (ingin melampaui prestasi orang tua) juga berperan besar dalam mendorong terbangunnya keinginan Bush untuk menggulingkan pemimpin Irak. Menjatuhkan Saddam akan memberi Bush kesempatan untuk melampaui ayahnya. Menurut salah satu penulis biografinya, pada tahun 1998, Bush memberi tahu seorang teman dekat dari keluarganya bahwa, “Dad made a mistake by not going into Iraq when he had an approval rating in the nineties. If I’m ever in that situation, I’ll use it. I’ll spend my capital.”
ADVERTISEMENT
Motif Bush untuk menggulingkan Saddam Hussein berbaur dengan agenda neokonservatif (neocon) yang dikemukakan oleh Wolfowitz. Penggulingan Rezim Saddam Hussein tidak saja akan meningkatkan keamanan Israel, tetapi juga akan memberi Amerika kesempatan untuk menanamkan bibit demokrasi, hak asasi manusia, dan nilai-nilai Barat lainnya di Timur Tengah, seperti yang telah dilakukan Amerika di Jepang dan Jerman setelah Perang Dunia II.
Namun, Collin Powell mempunyai pandangan lain kala itu. Amerika tidak akan mendapat dukungan dari pemerintah lain untuk aksi militer terhadap Irak. “Mari kita tetap fokus pada Afghanistan saat ini,” kata Powell , mencoba memberi pengertian pada presiden. Powell tidak sendirian, ada Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang sependapat dengannya ketika itu. Walhasil, pada pertemuan dewan perang di Camp David tanggal 15 September, Bush mengumumkan keputusannya untuk menghajar Afghanistan terlebih dahulu. Namun demikian, tambah Bush, soal Irak tetap "on the table" untuk misi selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Namun, perang di Afghanistan tidak mengalihkan perhatian Bush dari Irak. Pada pidato kenegaraan pertamanya, 29 Januari 2002, Bush mengumumkan bahwa aktualisasi strategi kontra-teroris Amerika akan bergeser dari Al Qaeda ke negara-negara yang mensponsori teroris, khususnya Irak, Korea Utara, dan Iran, yang menurut istilah Bush, adalah “poros kejahatan” alias "Axis of Evil."
Lalu pidato grand opening di West Point 1 Juni , Bush mengumumkan doktrin strategis baru, yakni Doktrin Bush. Intinya, Amerika harus bersiap menghadapi perang preventif. “Jika kita menunggu ancaman keamanan datang terlebih dahulu,” kata Bush kepada para taruna di West Point, “kita akan menunggu terlalu lama. Kita tidak bisa membiarkan musuh kita menyerang lebih dulu.”
ADVERTISEMENT
Tak pelak, Dokrin Bush tentang perang preventif menjadi berita kontroversial karena dianggap menyimpang dari garis besar kebijakan luar negeri tradisional Amerika (tidak menyerang negara lain kecuali diserang terlebih dahulu). Apalagi jika dilakukan tanpa persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, perang preventif justru akan menjadi perang ilegal menurut hukum internasional. Dan lebih dari itu, adopsi doktrin perang preventif berisiko mendorong negara-negara lain untuk meluncurkan perang preventif versi mereka sendiri, yang berpeluang mengganggu perdamaian dunia
Jadi jauh hari sebelum 2003, Bush sudah menyimpan rencana menginvasi Irak. Sebelum mengeksekusi rencananya, untuk memenuhi beberapa permintaan, terutama dari mantan menteri era bapaknya, Brent Scowcroft, Bush sepakat berkonsultasi dulu dengan PBB. Tapi masalahnya, Mohamed ElBaradei, direktur Badan Energi Atom Internasional (IAEA), melaporkan bahwa setelah dua bulan inspeksi di Irak, timnya yang terdiri dari sekitar 250 inspektur, justru tidak menemukan bukti aktivitas nuklir terlarang, pun hubungan antara Irak dan serangan teroris 11 September.
ADVERTISEMENT
Di mata banyak pihak, laporan dari inspektur senjata PBB tersebut akan membuat perang dengan Irak menjadi tidak relevan lagi, bahkan tercela secara moral. Tapi fakta hasil inspeksi PBB yang tidak menemukan bukti WMD (senjata pemusnah masal) di Irak, ternyata tidak menghalangi Bush untuk menginvasi negara itu. Sebaliknya, pada tanggal 13 Januari, Bush memberi tahu Collin Powell bahwa dia telah membuat keputusan final untuk berperang dengan Saddam Hussein. Powell, secretary of state kala itu, mencoba memperingatkan Bush bahwa ia akan membuka "pandora box.”
"Anda tahu konsekuensinya?" tanya Powell, sembari menjelaskan detail konsekuensinya, mulai dari ancaman perang sipil sampai runtuhnya pagar betis Suni atas Syiah yang berisiko meningkatnya ancaman dari Iran. Tapi Bush tak peduli.
ADVERTISEMENT
"Are you with me on this?, ” tanya Bush pada Powell
“I think I have to do this. Are you with me?,” tanya Bush lagi
“I’ll do the best I can,” jawab Powell.
“Yes, sir, I will help you. I’m with you, Mr. President," Powell menambahkan, sembari memberi penekanan.
Collin Powell, yang merumuskan Powell Docrine di era 1990-1991 untuk Perang mengusir Irak dari tanah Kuwait, dikalahkan oleh Bush Docrine. Dokrin Powell lahir atas pengalaman buruk Amerika di Vietnam, sebagai lanjutan dari Weinberger Dokrin di era Ronald Reagen, yang menyatakan bahwa keputusan Amerika untuk terlibat perang harus berdasarkan kajian yang presisi atas semua sisi, mulai dari irisannya dengan kepentingan nasional Amerika, sampai dengan exit strateginya.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, dokrin mantan jenderal bintang empat dikalahkan oleh dokrin seorang mantan mahasiswa bernilai C (begitu pengakuan Bush dengan bercanda saat bercerita soal masa kuliahnya di Yale University, "C Student"). Ya, di saat kuliah, Bush memang terkenal suka party dan suka mabuk-mabukan. Baru setelah menikah dengan Laura, Bush Yuniot insyaf. Ia dibaptis kembali di tahun 1984
"There is only one reason why I am in the Oval Office and not in a bar. I found faith. I found God. I am here because of the power of prayer,” kata Bush kala itu. Faktor ini nampaknya membuat Bush menyakini bahwa perang di Irak adalah bagian dari American Crussades. Dengan dokrin pemabuk yang insyaf itulah Irak didatangi sebuah invasi illegal di satu sisi dan dunia selama 20 tahun belakangan diramaikan
ADVERTISEMENT