Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Simsalabim atau Moral Hazard Penyelamatan Garuda
16 Desember 2021 8:02 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Ronny P Sasmita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Merujuk pada UU No 19 Tahun 2003, keberadaan BUMN diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Karena itu, BUMN memang seharusnya berada dalam kondisi profesional dan sehat walafiat agar dapat mengejar keuntungan, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, BUMN di satu sisi wajib menjalankan penugasan negara dan di sisi lain juga wajib mengelola bisnis dengan benar untuk meraih keuntungan. Ambil contoh misalnya BUMN penerbangan seperti Garuda. Dari kacamata pertama (penugasan khusus), sebenarnya Garuda adalah perusahaan penerbangan yang semestinya menjadi perintis rute penerbangan yang tidak menguntungkan secara komersial dan "affordable" bagi saku rakyat kebanyakan. Tapi faktanya tidak demikian. Penerbangan ke pelosok-pelosok kabupaten di Indonesia, misalnya, justru dilayani oleh perusahaan penerbangan swasta, sebut saja misalnya Wing Air (Lion Group).
Selanjutnya, masih dari kacamata pertama, Garuda pun sebenarnya dibebani untuk mengadakan rute perjalanan udara dengan harga yang affordable, bahkan populis, bukan premium, atau setidaknya dipersepsi oleh konsumen penerbangan nasional sebagai penerbangan premium. Lagi-lagi faktanya, Garuda bukanlah perusahaan penerbangan milik rakyat kebanyakan. Bahkan Citilink pun terbukti bukanlah perusahaan penerbangan yang dipersepsi demikian. Label penerbangan untuk rakyat kebanyakan sejak lama sudah disematkan kepada perusahaan swasta, dengan berbagai keluhan yang menyelimutinya.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Garuda belum kehilangan legitimasi karena masih ada kacamata kedua, yakni peluang memberikan konstribusi sebesar-besarnya pada pendapatan negara (professional dan profit oriented). Sayangnya, Garuda nampaknya juga sudah bertahun-tahun menorehkan rapor kurang baik. Tahun 2019, Garuda membukukan laba bersih perseroan sebesar US$ 5,01 juta atau sekitar Rp 11,3 miliar. Namun pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) tahun itu, dua komisaris GIAA menolak menandatangani laporan keuangan tersebut karena menurut mereka, seharusnya perseroan melaporkan rugi sebesar US$ 244,95 juta, bukan untung.
Kemudian, pada Juni 2019 Kementerian Keuangan mensinyalir ada pelanggaran dalam laporan keuangan Garuda. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa laporan keuangan Garuda direkayasa. Buntut dari temuan kedua lembaga tersebut, pada 26 Juli 2019 GIAA merevisi laporan keuangan periode 2018 menjadi rugi sebesar Rp 2,4 triliun.
ADVERTISEMENT
Dan dalam laporan keuangan tahun lalu, PT Garuda Indonesia Tbk, maskapai nasional kebanggaan kelas menengah dan atas Indonesia itu, terlilit utang Rp 70 triliun (kini menjadi Rp. 139-140 triliun) dan menelan kerugian sekitar Rp 16 triliun. Bahkan, per Mei 2021, flag carrier tersebut hanya meraih pendapatan sebesar US$ 56 juta, sementara kewajibannya mencapai US$ 116 juta untuk sewa pesawat, perawatan pesawat, bahan bakar avtur, dan gaji karyawan. Perusahaan juga memiliki arus kas negatif minus Rp 41 triliun dengan ratio utang yang tidak lagi bisa dianggap sehat. Di sisi lain, sangat sulit untuk memproyeksikan bahwa pendapatan operasional GIAA tahun ini bisa mencapai US$ 200 juta - US$ 250 juta, karena sudah diasumsikan bangkrut.
ADVERTISEMENT
Kondisi Garuda menjadi sangat tak karuan akibat beban utang perseroan yang terlalu berat. Lonjakan utang dari Rp 20 triliun menjadi Rp 70 triliun, lalu menjadi Rp. 139-140 trilun, dalam waktu kurang dari dua tahun, tentu saja sangat membebani arus kas (cashflow) perseroan. Apalagi jika sebagian besar utang tersebut bersifat jangka pendek, karena perseroan harus membayar pokok utang dan bunga yang sangat besar setiap periodik.
Boleh jadi restrukturisasi secara menyeluruh atau opsi "debt equity swap" (menyulap utang jadi kepemilikan saham) bisa dijadikan opsi sementara dan terbaik untuk menormalisasi struktur modal perseroan, yakni menurunkan utang menjadi sekira setengah dari yang ada atau konversi debt ke equity. Namun restrukturisasi utang dan debt equity swap membutuhkan waktu dan tenaga karena melibatkan seluruh lender, lessor (penyewa pesawat), pemegang saham, dan pemegang sukuk global, yang berpeluang besar akan membusungkan dada membela kepentinganya
ADVERTISEMENT
Langkah selanjutnya, jika memang ingin Garuda diselamatkan, pihak-pihak tertentu memola persepsi kita bahwa jalan satu-satunya adalah negara mau tidak mau harus ikut menyuntikan dana segar, walaupun pemerintah juga sedang dalam keadaan yang sama, pembesaran utang. Pemerintah memang sedang berjibaku memutar otak untuk mengakali bagaimana pendapatan negara bisa tetap menutup sebesar-besarnya belanja negara yang telah disepakati, tanpa ada tanda-tanda pemerintah dan DPR bersedia mengalah untuk mengurangi belanja-belanja yang tak tidak perlu di saat pandemik. Untuk itu, pemerintah perlu menetapkan model penyuntikan dana segar yang tepat, jelas, dan bisa dipertanggungjawabkan alias dana dari pemerintah tidak menjadi objek moral hazard oleh pihak-pihak tertentu di dalam maupun di luar Garuda
ADVERTISEMENT
Penanaman modal negara via perusahaan holding Aviasi Pariwisata Indonesia sebesar Rp.7,5 triliun (Rp. 1 triliun tahun lalu sudah disuntikan. Total Rp. 8,5 triliun dari anggaran PEN 2020), sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Keuangan, adalah salah satu opsi yang boleh jadi bisa diterima. Dengan kata lain, pemerintah tidak ujuk-ujuk mengisi saku Garuda secara langsung, tapi menggunakan proksi institusional sebagai instrumen kontrolnya.
Karena sejatinya, holding Aviasi Pariwisata Indonesia bisa menjadi dokter dan rumah sakit sekaligus bankir yang menentukan jenis penyakit Garuda di satu sisi dan mengurus berapa pembiayaan yang diperlukan untuk menyembuhkannya di sisi lain. Saya menyebut kedua fungsi tersebut sebagai fungsi "conservatorship agency, " sebuah lembaga yang didirikan pemerintahan Amerika untuk menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac di saat krisis finansial tahun 2008 lalu, walaupun secara teknis tidak terlalu sama.
ADVERTISEMENT
Memang terkesan tricky mengingat penyuntikan dana via institusi proksi melepaskan Garuda, misalnya, dari keharusan para pemegang saham untuk melepas sahamnya, atau keharusan right issue (dilusi saham para pemilik saham), atau keharusan untuk mencatatkan penambahan utang baru dengan penerbitan bond baru, tapi tetap mendapatkan suntikan dana. Karena kesepakatan terjadi bukan antara Garuda dan pemerintah, tapi antara institusi proksi (perusahaan induk) dengan pemerintah. Apalagi perusahaan induk Aviasi Pariwisata Indonesia baru berdiri dengan total sahamnya dimiliki oleh pemerintah.
Dengan cara ini, secara struktural pemerintah membuat terobosan dengan memisahkan diri secara tegas antara pemerintah sebagai regulator dan pemerintah sebagai eksekutor plus pemilik saham, di mana induk perusahaan Aviasi Pariwisata Indonesia menyandang fungsi kedua. Pemerintah cukup berurusan dengan perusahaan induk, menekan agar penggunaan dana secara hati-hati dan harus berorientasi profit sesegera mungkin, sementara eksekusinya berada di tangan perusahaan induk. Jika tidak menunjukan tanda-tanda positif dalam target dan rentang waktu yang disepakati, pemerintah bisa memperbaharui komitmen dengan perusahaan induk, bahkan bisa mengutak-atik jajaran direksi dan managemennya.
ADVERTISEMENT
Pembiayaan via rekayasa institusional ini memang membuka peluang untuk menghapus proyeksi suram Garuda di masa mendatang, walaupun belum ada jaminan bahwa Garuda tidak akan terjebak di lubang yang sama. Karena itu, keseriusan, profesionalisme, keterbukaan, dan akuntabiltas dari perusahaan induk mutlak diperlukan. Perusahaan induk harus menjadikan kacamata BUMN jenis kedua tadi (memberikan kontribusi pada pendapatan negara) sebagai kacamata kuda, membuat Garuda segera sehat, profesional, akuntabel, dan menguntungkan, karena sudah tak mungkin menggunakan kacamata pertama via fungsi penugasan, mengingat industri penerbangan nasional sudah cukup kompetitif.
Namun demikian, solusi semacam ini bukan tanpa cela. Berbeda dangan "Conservatorship Agency" di Amerika, penyuntikan dana via lembaga proksi seperti Aviasi Pariwisata Indonesia membuat para pemegang saham terlepas dari tanggung jawab. Garuda mendapat suntikan dana tanpa mengalami perubahan struktur kepemilikan modal, tanpa implementasi tanggung jawab pengadaan modal dari pemilik modal lainya, tanpa ada pelepasan modal atau dilusi kepemilikan saham, dan tanpa ada pembagian tanggung jawab dari pemilik modal lainya atas utang baru, misalnya.
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata Austrian Economics, penyelamatan secaman ini tentu bermakna "moral hazard" di mana para pemilik modal lainya justru belindung di balik uang pajak di saat krisis, tapi makan enak di saat profit (meskipun belum profit). Tapi dalam kacamata "Keynesian economy," tindakan tersebut diperlukan, walaupun kategorinya "necessary evil"
Tapi masalahnya, "evil" semacam inilah yang mendorong Amerika menjadi "Bailout Nation, " meminjam istilah dari Barry Ritholtz di bukunya tahun 2009 lalu. Amerika menyelamatkan Lockheed Martin di tahun 1971, Chrystler di tahun 1980, para pelaku Long Term Capital Management(LTCM) di awal tahun 2000an akibat derivative bubble dan krisis dot com, yang berujung pada bailout sederet dedengkot Wall Street di tahun 2008, mulai dari Bear Stearn (Pemerintah bersama GP Morgan), Fannie Mae, Freddie Mac, AIG, General Motor, Citibank, General Electric, Ford, lalu berlanjut dengan dana pengaman ke Merryl Linch, GP Morgan, Morgan Stanley, Golman Sach, Well Fargo, Bank of America, minus Lehman Brother.
ADVERTISEMENT
Masalah utamanya adalah bahwa posisi dan status dana yang diberikan kepada Garuda via perusahaan induk Aviasi Pariwisata Nasional belum jelas "belang"nya, walaupun secara struktural cukup inovatif. Apa jenis dana talangan tersebut? Penambahan modal negara kah, yang berarti juga penambahan kepemilikan saham negara? Atau penambahan modal perusahaan induk atas Garuda yang juga berarti kepemilkan saham baru atas nama perusahaan induk? Atau pinajaman? Atau negara melalui perusahaan induk membeli surat utang baru dari Garuda? Atau diberikan kepada perusahaan induk begitu saja, lalu beres urusan?
Pemerintah melalui kementerian keuangan, perusahaan induk Aviasi Pariwisata Nasional, Garuda Indonesia, dan para pemilik saham Garuda lainya, tidak bisa seenaknya menggunakan uang pajak dari rakyat. Pertama, harus ada mekanisme penyuntikan atau penambahan dana yang jelas. Kedua, jangan sampai posisi intermediate perusahaan induk justru menjadi layer baru yang memproteksi keburukan Garuda selama ini alias menjadi structural barrier untuk mereformasi Garuda secara total
ADVERTISEMENT
Dan terakhir, model penyuntikan dana dari Kemenkeu ke perusahaan induk di atas memperjelas betapa mubazirnya kementerian BUMN secara struktural. Kementerian BUMN jelas terlihat tak lebih jadi "tukang lobby" penambahan modal negara atas BUMN di satu sisi (tak ada jamiman mereka tak minta komisi) dan "juru outsouching" kader-kader partai dan relawan untuk jadi komisaris di sisi lain. Saatnya Kementerian BUMN dirubah menjadi institusi seperti Temasek di Singapura, SASAC di China, Khazan di Malaysia, atau APE di Perancis. Semoga