Mie Ayam Jogja, Lokalitas Budaya yang Tersembunyi

Rony K Pratama
Peneliti Lepas di Yogyakarta
Konten dari Pengguna
29 April 2017 14:02 WIB
Tulisan dari Rony K Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
PETA kuliner Yogyakarta, khususnya mie ayam, menyebar rata pada tiap kelurahan. Eksistensi lamanya di denyut kota budaya dan pendidikan itu beragam. Ada yang berumur jagung. Bahkan, ada pula yang telah mencapai tiga dekade ke atas. Semuanya itu tergantung pada arus modal yang terus mengalir sehingga bisnis mie ayam tetap bertahan hingga kini.
ADVERTISEMENT
Cita rasa mie ayam pun tak perlu dipertanyakan kembali, sebab bagaimanapun bentuknya, harganya, maupun porsinya, ia tak terlepas dari subjektivitas lidah. Terkadang pula, bagi sebagian orang, rasa dikesampingkan karena sisi primer sesungguhnya itu terletak pada nominasi fulus. Kendati demikian, sejauh pengamatan terbatas penulis, mie ayam di Yogyakarta relatif terjangkau secara finansial. Itu pun diimbangi oleh kualitas rasa yang legit dan mengenyangkan.
Bila dilihat secara umum, pencinta mie ayam dapat digeneralisasikan menjadi dua kelompok. Pertama, pelajar dan/atau mahasiswa, baik di kelas maupun semester apa pun. Strata pendidikan formal tak begitu signifikan dalam kategorisasi ini. Mereka pada umumnya doyan Mie Ayam karena dua hal, yakni harganya yang terjangkau—cuma di bawah 10 ribu atau kalaupun naik paling hanya sebesar dua atau tiga ribu rupiah—dan rasa khasnya yang membuat mereka tak pindah ke lain kuliner.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya para remaja yang belajar di sekolah formal tersebut sekadar coba-coba. Dua sampai tiga kali mencoba baru merasa ketagihan. Namun, terdapat pula individu yang pada cecapan perdana langsung menjadi maniak. Pengalaman personal itu didasari atas kualitas lidah yang mampu merespons secara sensorik sehingga informasi darinya langsung dihantarkan ke neuron otak. Baru kemudian dari sana diolah menjadi perbendaharaan memori paten.
Yang tak kalah penting pula ialah energi tutur tinular para pelajar terhadap sebaya lain yang begitu masif. Jamak diketahui bahwa ajakan eksplorasi mie ayam datang dari kata “ayo makan” yang diujarkan oleh seseorang: pasangan, senior, junior, sahabat kelas, dan kelompok dominan lain di sekolah. Pengajak mempersuasi pribadi lain dengan dalih persahabatan. Tak nihil pula pemburuan terhadap mie ayam adalah salah satu cara jitu mendekati gebetan. Tipe seperti ini seperti sambil menyelam minum air—perut kenyang, hati pun tersampaikan.
ADVERTISEMENT
Melihat kenyataan itu tak heran jika dominasi pelajar berseragam atau necisnya mahasiswa baru sampai semester tua acap kali membanjiri ruang-ruang mie ayam di kawasan Jogja. Tentu waktu ideal bagi mereka disesuaikan dengan jadwal tematik. Akan tetapi, mereka lazim menyerbu mie ayam pada siang atau sore hari. Yang jelas bukan malam hari karena mayoritas pedagang mie ayam tutup sebelum magrib.
Kedua, penggemar mie ayam dari kejauhan. Setidaknya kelompok ini direpresentasikan oleh seseorang yang kini berdomisili di luar D.I.Y. dengan membawa memori tentang mie ayam di masa hidupnya. Mereka pernah hidup di Jogja sebagai pelajar dan pekerja di suatu instansi pemerintah atau swasta. Akan tetapi, karena regulasi tertentu, ia dinyatakan lulus atau dipindahkan ke tempat lain. Walaupun begitu, kegemarannya mengonsumsi mie ayam sebagai bagian dari internalisasi nutrisi dan wisata santapan tak lantas sirna begitu saja.
ADVERTISEMENT
Karakteristik di atas ditandai oleh plat kendaraan bermotor yang diparkirkan di depan warung. Meski ini terkesan “memaksa” atau “mengabaikan” variabel terikat lain yang membuat probabilitas dugaan berbeda dari yang diuraikan, setidaknya ia dapat diterka demikian. Lihatlah para konsumen mie ayam Tumini utara Terminal Giwangan. Apakah kendaraan di sana menunjukan plat yang bukan AB alias khas bumi Mataram? Bila iya, tanyalah untuk mengonfirmasi dan mendapatkan warta valid dari subjek di lapangan.
Dengan demikian, membincang mie ayam Jogja tak terlepas dari ceritera di belakangnya yang sarat nilai partikular yang unik. Hampir semua orang yang hendak atau bertandang (kembali) ke Jogja sering kali mampir sejenak di warung mie ayam. Di sana ia tak hanya menyruput kuah sekaligus menghisap mie kuning yang ciamik, namun juga berwisata kenangan dengan memori lampau yang terlalu indah dilupakan.[]
ADVERTISEMENT
*Penikmat Mie Ayam Nusantara