Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Matinya Oposisi dan Pragmatisme Dalam Pemilihan Serentak 2024
1 September 2024 10:46 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rooby Pangestu Hari Mulyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah atau yang sering kita dengar dengan sebutan Pilkada di Indonesia memiliki sejarah panjang. Di mana Jauh sebelum Indonesia Merdeka, Kepala Daerah di masa penjajahan Belanda langsung ditunjuk oleh Kolonial untuk wilayah Kabupaten dan Kecamatan. Beda halnya dengan jabatan Kepala Daerah Provinsi yang pada waktu itu diisi posisinya oleh Pemerintah Kolonial Belanda itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pasca Indonesia Merdeka lahirlah suatu Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintah Daerah, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 di mana di dalamnya mengamanatkan Kepala Daerah di tingkat Provinsi diangkat oleh Presiden yang mana calon-calonnya tersebut diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi di mana setidaknya DPRD mengajukan minimal dua (2) nama dan paling banyak empat (4) nama calon (Pasal 18 ayat 1). Sedangkan untuk kepala Daerah tingkat Kabupaten diangkat oleh Menteri Dalam Negeri di mana calon yang dipilih merupakan nama-nama yang adalah nama yang diajukan oleh DPRD tingkat Kabupaten yang berhak mengajukan nama setidaknya minimal dua (2) dan paling banyak empat (4) nama calon (Pasal 18 ayat 2).
Sepanjang sejarah Pilkada, aturan mengenai Pilkada ini telah berulang kali mengalami perubahan. Setidaknya perubahan-perubahan tersebut dapat terangkum sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. UU Nomor 22 Tahun 1948
2. UU Nomor 1 Tahun 1957
3. UU Nomor 5 Tahun 1974
4. UU Nomor 22 Tahun 1999
5. UU Nomor 32 Tahun 2004
Dari perjalanan perubahan tersebut, boleh dikatakan bahwa pada saat terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan UU yang memberikan angin segar untuk masyarakat Indonesia, di mana dengan adanya UU ini pengisian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya dilakukan oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden, kali ini dipilih langsung oleh masyarakat.
Hanya berselang sepuluh (10) tahun UU Nomor 32 Tahun 2004 ini dijalankan, kemudian terbit UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Pada pokoknya, UU Nomor 22 Tahun 2014 ini mengembalikan pola awal di mana pengisian posisi Kepala Daerah tidak lagi dipilih rakyat secara langsung, namun ditentukan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
ADVERTISEMENT
Diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 2014 ini kemudian memunculkan reaksi keras dari khalayak umum, di mana penolakan atas UU ini terus disuarakan hingga kemudian UU ini pada akhirnya dicabut dan kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang ini mengembalikan pola pemilihan seperti sebelum adanya UU Nomor 22 Tahun 2014, yakni pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan beriringnya waktu, UU Nomor 1 Tahun 2015 ini mengalami beberapakali perubahan, yakni:
ADVERTISEMENT
1. UU Nomor 1 Tahun 2015
2. UU Nomor 8 Tahun 2015
3. UU Nomor 10 Tahun 2016
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
5. UU Nomor 6 Tahun 2020.
Penyelenggaraan Pemilihan Serentak tahun 2024 saat ini sudah memasuki tahapan Penelitian Persyaratan Calon yang dijadwalkan pada tanggal (27 Agustus 2024-29 Agustus 2024). Mengutip laporan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), bahwa sampai pada batas terakhir masa pendaftaran calon Kepala Daerah terdapat 43 Daerah yang hanya memiliki satu pasangan bakal calon (Paslon) Kepala Daerah. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan jumlah calon tunggal pada pilkada terakhir yakni tahun 2020 di mana terdapat 25 calon tunggal yang tersebar di 270 Daerah .
ADVERTISEMENT
Munculnya fenomena Bakal Calon Kepala Daerah Tunggal di 43 Daerah, menurut penulis sendiri merupakan berlanjutnya kembali Koalisi Indonesia Maju atau yang akrab kita dengar dengan singkatan KIM di setiap daerah, meskipun saat ini santer terdengar bahwa sekarang dikarenakan ada tambahan Parpol di luar KIM yang ikut bergabung dan kemudian disebut KIM Plus. Meski tidak bisa dipukul rata, namun dapat kita lihat bersama bahwa hari ini KIM Plus hampir menjadi koalisi yang memajukan kader koalisinya maupun perseorangan yang direkomendasikan oleh KIM Plus disetiap Daerah untuk bertarung memenangkan kursi Kepala Daerah. Ada beberapa daerah yang dapat kita lihat di mana Kim Plus mengirimkan Calonnya dalam Pilkada 2024, yakni:
1. Jawa Timur (Khofifah Indar Parawansa dengan Emil Elistianto Dardak)
ADVERTISEMENT
2. Banten (KIM Plus + PDIP mengusung Andra Soni-Dimyati Natakusumah)
3. Jawa Barat (Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan)
4. Sumatera Utara (Bobby Nasution)
5. Jakarta (Ridwan Kamil-Suswono)
6. Jawa Tengah (Ahmad Luthfi-Taj Yasin)
Meski tidak disetiap Daerah Kim Plus satu barisan, namun dengan adanya beberapa contoh calon yang berasal dari Kim Plus menandakan bahwa banyaknya partai yang berkoalisi untuk memenangkan calon Kepala Daerah jagoannya itu kemudian menimbulkan Koalisis yang gemuk dan akhirnya tidak seimbang dengan oposisi yang ada.
Parpol-Parpol yang memilih masuk ke dalam koalisi gemuk itu sejatinya hanya mencari kekuasaan, karena jikalau memang setiap Parpol memperjuangkan Visi-Misi yang didasarkan pada Ideologi Parpol masing-masing, penulis yakin bahwa koalisi gemuk ini tidak akan terjadi. Artinya bahwa adanya koalisi gemuk berbagai Parpol ini secara tidak langsung mematikan demokrasi, karena jalannya pemerintahan yang akan dating nantinya jikalau pemenangnya adalah mereka yang tergabung dalam koalisi gemuk ini maka parpol di luar pemerintah yang berstatus sebagai oposisi tidak akan kuat mengimbangi secara suara di parlemen dan mengontrol kebijakan-kebijakan eksekutive dan tentu saja hal ini sangat berbahaya.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem Demokrasi, tentu kita mengenal adanya cheks and balances, di mana Lembaga negara yang dalam hal ini Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif saling mengontrol satu sama lain. Dalam fenomena yang terjadi dalam Pilkada ini dapat dilihat bahwa Parpol yang tergabung dalam KIM Plus Ketika nantinya menang dalam pemilihan di suatu Daerah, maka proses cheks and balances tidak akan pernah terwujud. Hal ini tentu saja karena Kim plus sebagai pengusung kader-kadernya di Daerah memiliki kekuatan yang besar baik di eksekutif maupun legislative yang kemudian berdampak pada lemahnya oposisi. Padahal, adanya oposisi itu setidaknya untuk mencegak penyalahgunaan kekuasaan yang bisa mengarah kepada pemerintahan yang otoriter.
Oposisi dalam negara yang menganut sistem Demokrasi memiliki peranan penting, karena hakikatnya menjadi oposisi adalah suatu pilihan untuk mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah agar berjalan sesuai dengan Undang-Undang. Amat disayangkan adanya koalisi gemuk dalam Pemilihan serentak 2024 ini sehingga menimbulkan banyaknya calon tunggal. Komposisi yang sangat tidak seimbang tentu akan berdampak pada lemahnya oposisi sekaligus mempelemah pengawasan dalam skema sistem politik dalam negara Demokrasi. Minimnya controlling dari parlemen akan berdampak fatal di mana kualitas Demokrasi amat turun, tingkat kerawanan korupsi amat sangat tinggi serta munculnya gurita oligarki baik dari segi politik maupun ekonomi.
ADVERTISEMENT
Sangat disayangkan dengan adanya Koalisi gemuk ini karena oposisi yang memiliki pernanan sebagai penyeimbang kekuasaan, sebagai pemberi alternatif kebijakan dan menjadi stimulus persaingan dalam elite pemerintahan dalam sekejap hanya menjadi perkumpulan yang tidak dihiraukan.