Konten dari Pengguna

Biodiesel Sawit dan SDGs: Antara Peluang Besar dan Tantangan Nyata

Roisatul Masruroh
Mahasiswi PKN STAN
11 Februari 2025 20:22 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roisatul Masruroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Meski murah dan terbarukan, potensi biodiesel sawit Indonesia masih terabaikan. Sementara itu, janji SDGs masih belum optimal.

(Sumber: freepik)
zoom-in-whitePerbesar
(Sumber: freepik)
ADVERTISEMENT
Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia dengan luas perkebunan sawit mencapai lebih dari 16 juta hektar pada tahun 2023. (BPS, 2023). Indonesia memiliki cadangan dan potensi sawit yang sangat besar. Dengan ketersediaan yang melimpah tersebut serta kualitasnya yang baik dan harga yang kompetitif, minyak sawit menjadi bahan baku yang menarik. Selain menjadi komoditas ekspor, minyak sawit juga dapat diolah menjadi biodiesel, yang merupakan alternatif ramah lingkungan untuk bahan bakar fosil. (Devita, L., 2015).
ADVERTISEMENT
Potensi biodiesel sawit Indonesia masih terabaikan, meski murah dan terbarukan, sementara janji SDGs belum optimal.Dengan cadangan sawit yang melimpah, Indonesia juga memiliki peluang strategis untuk dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui program biodiesel berbasis sawit, Indonesia dapat berkontribusi pada beberapa tujuan SDGs, seperti energi bersih dan terjangkau (SDG 7), dan pekerjaan yang layak (SDG 8). Namun, pemanfaatan sawit sebagai bahan bakar juga masih perlu menghadapi tantangan terkait keberlanjutan, tata kelola, ekonomi, dan lingkungan yang perlu diatasi agar potensi-potensi tersebut dapat dimaksimalkan.

Potensi Kelapa Sawit sebagai Bahan Bakar Terbarukan

Kelapa sawit merupakan sumber bahan baku utama sekaligus efisien untuk produksi biodiesel. Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), satu hektar kebun sawit dapat menghasilkan sekitar 4-6 ton minyak sawit per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya seperti kedelai atau rapeseed. Hal ini membuat sawit menjadi salah satu sumber biodiesel yang paling ekonomis dan bersaing. Menurut Anwar (2024), produksi dan stok minyak CPO nasional di tahun 2024 diperkirakan mencapai lebih dari 57 juta ton, yang dialokasikan untuk ekspor, oleokimia, pangan, biodiesel, dan stok. Program pencampuran Biodiesel B35 menjadi satu-satunya program yang dapat menyerap produksi CPO Indonesia di pasar domestik.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pengembangan biodiesel kelapa sawit dan telah berhasil menjadi salah satu produsen biofuel terbesar di dunia. Sejak tahun 2008, pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan mandatori biodiesel, yaitu kebijakan yang mewajibkan pencampuran biodiesel dengan solar. Indonesia juga telah menjadi negara pertama di dunia yang mencampurkan energi terbarukan hingga 30% ke dalam minyak solar melalui program Biodiesel B30. (Rachmania, 2021). Pada tahun 2023, mandatori biodiesel mencapai tingkat pencampuran 35% (B35), yang berarti 35% kandungan biodiesel dalam solar. Program ini tidak hanya mengurangi impor solar, tetapi juga menciptakan pasar domestik yang stabil untuk minyak sawit.

Biodiesel Sawit dan SDG 7: Energi Bersih dan Terjangkau

Salah satu peran penting biodiesel kelapa sawit adalah mendukung tujuan SDG ke-7, yakni menyediakan akses terhadap energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern. Sebagai energi terbarukan, biodiesel sawit membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang selama ini menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca.
ADVERTISEMENT
Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), program mandatori biodiesel B35 (35% biodiesel, 65% solar) pada tahun 2023 telah berhasil mengurangi impor solar dan menghemat devisa negara sebesar USD 7.9 miliar atau sekitar 120,54 triliun. Selain itu, biodiesel sawit memiliki potensi untuk mengurangi emisi karbon hingga 50-60% dibandingkan dengan solar fosil (Jeswani dkk., 2020). Dari segi lingkungan, biodiesel bersifat mudah terurai dan menghasilkan emisi yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil. Dengan demikian, biodiesel sawit tidak hanya mendukung ketahanan energi nasional, tetapi juga berkontribusi pada transisi menuju energi bersih. Hal ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% secara mandiri pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT

Biodiesel Sawit dan SDG 8: Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan Layak

Industri kelapa sawit berkontribusi pada pencapaian tujuan SDG ke-8, yaitu pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta penyediaan lapangan kerja yang layak di berbagai tingkatan, baik lokal, nasional, maupun global. Industri ini tidak hanya berdampak pada negara produsen, tetapi juga negara pengimpor minyak sawit. Program mandatori biodiesel mendorong terciptanya lapangan kerja, khususnya di sektor hilir industri kelapa sawit, mulai dari produksi, pengolahan, hingga distribusi biodiesel.
Menurut laporan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), industri sawit menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 16 juta orang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengembangan industri biodiesel di Indonesia berpotensi menciptakan lebih banyak peluang kerja serta meningkatkan nilai ekonomi dari komoditas kelapa sawit. Selain itu, program biodiesel juga turut mendukung proses industrialisasi di wilayah pedesaan, yang dapat berkontribusi dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antara perkotaan dan perdesaan.
ADVERTISEMENT

Tantangan dalam Pemanfaatan Sawit sebagai Bahan Bakar Terbarukan

Meskipun memiliki potensi yang menjanjikan, pemanfaatan sawit sebagai bahan bakar masih harus menghadapi berbagai tantangan. Salah satu masalah utamanya yaitu terkait aspek keberlanjutan, mengingat ekspansi perkebunan sawit kerap kali dikaitkan dengan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik lahan. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti bahwa meningkatnya permintaan CPO akibat kebijakan mandatori biodiesel, seperti implementasi B40, berisiko mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya tutupan hutan, merusak ekosistem, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Jika tidak dikelola dengan baik, produksi biodiesel sawit justru berisiko menimbulkan dampak lingkungan yang lebih buruk daripada bahan bakar fosil.
(Sumber: freepik)
Kedua, tantangan terkait aspek teknis seperti kualitas biodiesel yang tidak konsisten dan keterbatasan infrastruktur pendukung. Sebagai contoh, biodiesel dengan kadar campuran tinggi (seperti B35 atau B100) memerlukan penyesuaian pada mesin kendaraan dan infrastruktur distribusi yang spesifik. Biodiesel tersedia dalam berbagai campuran, seperti B30 (30% biodiesel, 70% solar) atau bahkan B100 (100% biodiesel). Campuran yang lebih tinggi seperti B35 atau B100 memerlukan mesin kendaraan yang sudah dimodifikasi agar dapat bekerja dengan baik. Jika digunakan pada mesin yang belum disesuaikan, biodiesel tersebut dapat menimbulkan masalah seperti penyumbatan filter bahan bakar atau komponen mesin yang lebih cepat aus. Selain itu, dalam penggunaannya, biodiesel memerlukan infrastruktur khusus, seperti tangki penyimpanan dan pipa distribusi yang tahan terhadap karakteristik biodiesel. Namun, saat ini banyak fasilitas yang masih dirancang untuk bahan bakar fosil, sehingga perlu investasi besar untuk menyesuaikannya dengan biodiesel.
ADVERTISEMENT
Ketiga, persaingan dengan pasar ekspor minyak sawit mentah (CPO), yang dapat berdampak pada ketersediaan bahan baku untuk biodiesel. Minyak sawit mentah (CPO) merupakan komoditas yang sangat diminati di pasar internasional, terutama untuk industri pangan, kosmetik, dan produk olahan lainnya. Dengan meningkatnya permintaan ekspor, porsi CPO yang tersedia untuk produksi biodiesel bisa berkurang, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pasokan biodiesel di dalam negeri. Selain itu, fluktuasi harga CPO di pasar global juga berpotensi memengaruhi keberlanjutan ekonomi program biodiesel. Harga CPO di pasar global sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti permintaan global, kebijakan perdagangan, cuaca, dan produksi dari negara-negara produsen utama seperti Indonesia dan Malaysia. Jika harga CPO naik terlalu tinggi, biaya produksi biodiesel juga meningkat dan berpotensi mengurangi profitabilitas mereka. Hal ini dapat mengurangi daya saingnya dibandingkan bahan bakar fosil atau sumber energi terbarukan lainnya. Sebaliknya, jika harga CPO turun, industri biodiesel mungkin mendapatkan bahan baku dengan harga lebih murah, tetapi hal ini dapat merugikan petani sawit. Jika harga CPO lebih menguntungkan di pasar ekspor, produsen CPO juga mungkin akan lebih memilih untuk menjual CPO ke luar negeri dibanding memasoknya untuk kebutuhan biodiesel domestik. Ini dapat menghambat keberlanjutan program biodiesel yang bergantung pada pasokan bahan baku yang stabil.
ADVERTISEMENT
Keempat, yakni terkait kebijakan dan regulasi. Standar keberlanjutan untuk industri biodiesel di Indonesia yang belum optimal menimbulkan berbagai permasalahan terkait lingkungan dan sosial. Meskipun pemerintah telah memberlakukan mandatori biodiesel dan memiliki standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), implementasinya belum menjangkau seluruh rantai pasok dan belum sepenuhnya efektif. Hal ini berpotensi mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Kebijakan harga dan insentif yang belum memadai juga menjadi tantangan. Saat ini, pemerintah memang memberikan insentif bagi produsen biodiesel melalui Dana Sawit (BPDPKS) untuk menutupi selisih harga antara biodiesel dan solar. Namun, insentif ini masih bergantung pada kondisi keuangan negara dan belum selalu cukup untuk menjamin keuntungan bagi produsen. Jika insentif berkurang atau terlambat dicairkan, produksi biodiesel bisa terganggu. Kebijakan harga biodiesel juga sering kali berubah sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan energi nasional. Ketidakpastian ini membuat investor dan produsen ragu untuk melakukan ekspansi atau investasi jangka panjang dalam industri biodiesel. Hambatan juga datang dari luar negeri, seperti kebijakan RED II (Renewable Energy Directive) di Uni Eropa dan RFS 2 (Renewable Fuel Standard) di Amerika Serikat, serta hambatan dari sisi tarif, seperti bea masuk anti subsidi oleh Uni Eropa yang menjadi tantangan dalam ekspor biodiesel.
ADVERTISEMENT
Kelima, terkait edukasi dan sosialisasi, yaitu masih banyak masyarakat yang belum memahami manfaat dan pentingnya penggunaan biodiesel kelapa sawit. Kurangnya informasi yang akurat dan komprehensif menyebabkan rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai peran biodiesel dalam mendukung ketahanan energi dan pengurangan emisi. Hal ini juga diperparah dengan minimnya upaya sosialisasi yang efektif dari pihak terkait. Di beberapa daerah terpencil di Indonesia, akses terhadap informasi juga masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan masyarakat di daerah tersebut kurang mendapatkan edukasi mengenai biodiesel dan manfaatnya. Keterbatasan ini menjadi tantangan dalam upaya sosialisasi yang merata di seluruh wilayah Indonesia.

Meningkatkan Pemanfaatan Sawit sebagai Bahan Bakar Terbarukan

Pemanfaatan kelapa sawit sebagai bahan bakar terbarukan biodiesel Indonesia menghadapi berbagai macam tantangan, mulai dari aspek keberlanjutan, infrastruktur, persaingan pasar, serta kebijakan dan sosialisasi. Untuk meningkatkan sekaligus memaksimalkan pemanfaatan kelapa sawit sebagai bahan bakar biodiesel, diperlukan berbagai strategi yang dapat mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari segi keberlanjutan, pemerintah perlu memperkuat implementasi sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dengan memberikan insentif kepada petani kecil dan memastikan seluruh rantai pasok memenuhi standar keberlanjutan hingga ke pabrik biodiesel. Selain itu, pencegahan deforestasi juga harus menjadi prioritas dengan mengoptimalkan penggunaan lahan terdegradasi dan menerapkan regulasi yang tegas dalam ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk menjaga lingkungan hijau yang sudah ada dan memastikan minyak sawit berasal dari sumber yang berkelanjutan. Hal ini penting untuk mengurangi dampak lingkungan negatif seperti hilangnya keanekaragaman hayati dan peningkatan emisi gas rumah kaca.
Dari sisi teknis, pemerintah perlu meningkatkan investasi dalam infrastruktur dan teknologi. Pemerintah dan swasta harus berkolaborasi untuk membangun infrastruktur yang mendukung distribusi dan penyimpanan biodiesel, seperti tangki penyimpanan dan pipa distribusi yang tahan terhadap karakteristik biodiesel yang berbeda dari bahan bakar fosil. Selain itu, industri otomotif perlu didorong untuk mengembangkan mesin yang kompatibel dengan biodiesel campuran tinggi seperti B35 atau B100. Penelitian dan pengembangan juga harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi produksi biodiesel. Kerjasama dengan produsen kendaraan diperlukan untuk memastikan kompatibilitas mesin dengan biodiesel serta memberikan edukasi kepada mekanik dan teknisi mengenai perawatan kendaraan yang menggunakan biodiesel. Dengan demikian, tantangan teknis seperti kualitas biodiesel yang tidak konsisten dan keterbatasan infrastruktur dapat diatasi.
ADVERTISEMENT
Secara ekonomi, persaingan dengan pasar ekspor minyak sawit mentah (CPO) seringkali mengurangi ketersediaan bahan baku untuk biodiesel. Untuk itu, stabilitas pasokan dan harga bahan baku harus dijaga. Kebijakan kuota Crude Palm Oil (CPO) bagi biodiesel domestik perlu diterapkan agar produksi biodiesel tetap stabil. Pemerintah juga harus memberikan subsidi dan insentif bagi produsen biodiesel untuk menjaga daya saingnya di tengah fluktuasi harga CPO. Mekanisme stabilisasi harga CPO dapat diterapkan melalui skema subsidi yang lebih terarah dan efektif. Selain itu, kebijakan pengaturan ekspor CPO dapat diterapkan untuk memastikan pasokan yang cukup untuk produksi biodiesel domestik, misalnya dengan menerapkan kuota ekspor atau pajak ekspor yang lebih tinggi saat harga CPO internasional sedang tinggi. Pemerintah perlu menyeimbangkan antara kebutuhan ekspor dan pasokan di dalam negeri. Kontrak jangka panjang dengan petani sawit dapat memberikan kepastian pasokan bahan baku untuk industri biodiesel.
ADVERTISEMENT
Dari aspek regulasi, kebijakan dan regulasi yang mendukung sangatlah diperlukan. Pemerintah perlu memperkuat dan menyamakan standar keberlanjutan ISPO dan RSPO agar lebih banyak produsen dapat mengikuti kriteria ramah lingkungan dan keberlanjutan secara global. Pemerintah juga perlu memastikan konsistensi dalam kebijakan energi dan pertanian, termasuk kebijakan harga biodiesel dan insentif bagi produsen agar produsen dan investor merasa yakin untuk terus mengembangkan industri biodiesel. Koordinasi antar kementerian, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, harus ditingkatkan untuk memastikan kebijakan yang holistik dan terintegrasi. Selain itu, pemerintah harus lebih aktif melakukan diplomasi atau kerjasama perdagangan internasional dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, karena kedua wilayah ini memiliki aturan ketat yang dapat menghambat ekspor biodiesel sawit dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tantangan selanjutnya yaitu terkait dengan edukasi dan sosialisasi, mengingat masih banyak masyarakat yang belum memahami manfaat dan pentingnya biodiesel sawit. Untuk mengatasi hal ini, kampanye publik yang lebih masif perlu dilakukan melalui berbagai platform media agar masyarakat lebih teredukasi mengenai biodiesel. Selain itu, integrasi biodiesel dalam kurikulum pendidikan dapat membantu generasi muda memahami perannya dalam ketahanan energi. Pemberdayaan komunitas lokal juga penting, sehingga masyarakat dapat lebih terlibat dalam pengembangan biodiesel secara langsung

Kesimpulan

Kelapa sawit Indonesia memiliki potensi besar sebagai sumber bahan bakar terbarukan yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta mendukung pencapaian beberapa tujuan SDGs, termasuk energi bersih dan terjangkau (SDG 7) serta pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan layak (SDG 8). Namun, tantangan terkait keberlanjutan, infrastruktur, dan kebijakan perlu diatasi melalui langkah-langkah strategis. Dengan memperkuat tata kelola, mendorong inovasi, dan meningkatkan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat, Indonesia dapat memaksimalkan kontribusi biodiesel sawit sebagai sumber energi terbarukan. Hal ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meningkatkan kualitas lingkungan, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan yang berkelanjutan melalui pencapaian SDGs ke-7 dan 8, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT