City Remuk, Inggris Bergantung pada Leicester

16 Maret 2017 11:44 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pep Guardiola menyesali timnya gagal menang (Foto: Carl Recine/Reuters)
Sudah tidak ada lagi wakil Inggris di perempat final Liga Champions. Oh, maaf… Maksud kami masih ada Leicester City.
ADVERTISEMENT
Mari kita sebut saja bahwa keajaiban Leicester masih berlanjut. Setelah musim lalu mengejutkan Premier League dengan mengangkangi tim-tim yang lebih mapan dan punya status raksasa, musim ini mereka menjaga wajah Inggris di kancah kompetisi antarklub Eropa.
Empat tim, Leicester, Arsenal, Tottenham Hotspur, dan Manchester City, menjadi wakil Inggris di Liga Champions musim ini. Sementara Tottenham belum bisa keluar dari kemediokeran mereka —kalau bicara turnamen antarklub Eropa—, Arsenal masih berkutat dengan siklus aneh mereka —selalu tersingkir di 16 besar, siapapun lawannya—, City semestinya bisa berbuat lebih.
Dengan kehadiran Pep Guardiola di kursi manajer, ada banyak hal diharapkan dari The Citizens. Namun, pada kenyataannya, City bersama Guardiola masih tertatih-tatih. Memang, mereka sempat tampil luar biasa di Premier League, tapi itu hanya di awal saja.
ADVERTISEMENT
Perlahan-lahan, terlihat bahwa City masih belum sepenuhnya “timnya Guardiola”. Masih ada bolong di sana-sini. Kekalahan telak di kandang Everton (0-4) pada Januari 2017 sempat membuat Guardiola hancur. Wajahnya dengan sorot mata yang kosong menghiasi banyak media.
Dari situ, sebenarnya, City sempat menunjukkan perbaikan. Tiga kemenangan beruntun di Premier League, masing-masing atas West Ham United (4-0), Swansea City (2-1), dan AFC Bournemouth (2-0), membuat beberapa pengamat menilai bahwa City mulai bisa memahami filosofi Guardiola seutuhnya.
Namun, bisa jadi, mereka juga lupa bahwa filosofi Guardiola juga memuat kekakuan. Manajer berkepala plontos asal Catalunya itu hanya tahu satu gaya main: menyerang. Nyaris tidak ada pragmatisme dalam filosofi Guardiola.
Di Barcelona dulu, ia beruntung punya Carles Puyol dan Gerard Pique —plus Sergio Busquets, yang dengan senang hati kerap dijadikan pemain bertahan hybrid. Ini memungkinkan Barcelona-nya memiliki keseimbangan. Sementara gelandang-gelandang lainnya leluasa mengalirkan bola, dan pemain-pemain depan mereka membombardir lawan, pertahanan Barca tetap aman.
ADVERTISEMENT
City-nya belum bisa seperti itu.
City memang punya lini depan mewah dengan Leroy Sane dan Gabriel Jesus jadi harapan mereka di masa depan. Namun, lini belakang City bobrok. John Stones, yang diharapkan menjadi ball-playing defender ciamik, belum bisa tampil konsisten. Lalu, siapapun yang bermain sebagai full-back, masih kerap menyisakan ruang untuk dieksploitasi lawan (tidak percaya? Cek laga melawan Everton yang disebutkan di atas).
Kamis (16/3/2017) dini hari WIB, City tersingkir dari Liga Champions setelah dikalahkan AS Monaco 1-3. Padahal, mereka sudah mengantongi kemenangan 5-3 dari pertemuan di leg pertama.
Mengingat fase gugur Liga Champions adalah pertarungan dua leg dengan agregat sebagai penentu siapa yang lolos —dan perhitungan gol tandang yang juga bisa berpengaruh—, kegeniusan taktik seorang pelatih bukanlah segalanya. Terkadang, menurunkan ego untuk sekadar mengamankan agregat juga dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Guardiola, seperti katanya sendiri, paham bahwa Monaco adalah tim yang agresif. Bahkan ia mengakui, kalau ada tim yang bisa mencetak ratusan gol musim ini, itu adalah Monaco. Namun, datang ke kandang Monaco dengan keunggulan 5-3, Guardiola memberlakukan taktik bunuh diri. Alih-alih memasang taktik yang bisa mengamankan keunggulan itu, Guardiola bermain dengan formasi 4-1-4-1 dan hanya menyisakan Fernandinho sebagai satu-satunya gelandang bertahan.
Kita tahu seperti apa lini tengah Monaco. Bahkan gelandang mereka, Fabinho, saja cukup subur. Menyisakan Fernandinho dan bermain seolah-olah dengan lima striker nyatanya tidak banyak membantu City. Kurang dari setengah jam, gawang City bobol dua kali. Agregat menjadi 5-5, tapi dengan tiga gol tandang di pertemuan sebelumnya, Monaco jelas berada dalam kondisi yang lebih menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, Guardiola tidak menolong timnya sendiri —yang belum sepenuhnya paham dengan filosofinya itu.
Kini, City sirna dari Liga Champions 2016/2017. Inggris sekali lagi melihat kejutan: tim yang musim lalu menjadi juara di liga mereka kini menjadi satu-satunya harapan. Ya, tim itu adalah Leicester City. Tim ajaib yang bahkan kini sedang berjuang untuk bisa lolos dari jerat degradasi.
Lalu, untuk Guardiola? Berkaca pada perkataannya sendiri, mengakhiri musim tanpa trofi adalah sebuah kegagalan. Namun, beruntunglah… Masih ada Piala FA.