Jurnal: Nagekeo yang Membuat Saya (dan The Ataris) Malu Sendiri

16 Juli 2017 19:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Etape ketiga Tour de Flores 2017. (Foto: Tour de Flores/Joanito De Saojoao)
zoom-in-whitePerbesar
Etape ketiga Tour de Flores 2017. (Foto: Tour de Flores/Joanito De Saojoao)
ADVERTISEMENT
Ada gelembung waktu yang senantiasa melindungi album ‘So Long, Astoria’ milik The Ataris yang dirilis tahun 2003. Bagi Kris Roe, pentolan The Ataris, album penuh terakhir band-nya itu memang dibuat serapuh mungkin, sehingga tanpa gelembung waktu itu, ia akan lebur oleh zaman.
ADVERTISEMENT
Album itu bukan favorit para kritikus dan para penggemar berat The Ataris. Bagi mereka, ‘So Long, Astoria’ adalah album yang dipaksakan. Selain karena lagu-lagunya yang tak lagi nge-punk seperti album-album sebelumnya, album ini juga terlalu kentara aroma label mayornya.
Namun, bagi segelintir manusia yang mengidentifikasi diri sebagai “The Generation that Refuses to Grow Up”, album ini tak ubahnya firman Tuhan dan sabda nabi. Di sini, Kris Roe paham bahwa menjadi dewasa adalah sesuatu yang tidak bisa dia hindari dan maka dari itu, segala cara dia kerahkan untuk membuat proses ini tidak semenyakitkan yang dia perkirakan. Caranya? Dengan terus bernostalgia.
Di Kabupaten Nagekeo yang beribu kota di Mbay, tidak ada nostalgia. Usia kabupaten ini masih sangat muda, yakni 10 tahun. Jika diibaratkan manusia, daerah tingkat dua yang satu ini masih kanak-kanak. Masih SD. Masih piyik. Jangankan untuk kawin, sunat saja mungkin belum.
ADVERTISEMENT
Kabupaten ini terletak di sebuah lembah, tetapi saya lebih suka menyebutnya sebagai cekungan saking rendahnya wilayah ini. Hasilnya, panasnya pun luar biasa. Di Ende dan Maumere, setidaknya di tengah kungkungan mentari yang menyengat, angin sejuk masih bisa dirasakan. Di Mbay? Boro-boro sejuk. Yang ada hanya debu.
Ketika bermalam di Ende, saya berbincang dengan seorang jurnalis lokal bernama Pak Yusuf. Usia kami terpaut jauh sekali. Beliau sudah mulai bekerja tahun 1998, sedangkan saya baru mulai kuliah sekitar sepuluh tahun setelahnya. Jauh sekali. Tetapi, malam itu kami dipersatukan oleh kopi, rokok, dan kenangan akan Yogyakarta.
Dalam obrolan itu, Pak Yusuf bercerita bahwa tanah Flores ini sebenarnya sangat subur. "Ibaratnya," tutur beliau, "mas lempar biji tomat atau cabai ke tanah saja, nggak lama kemudian pasti tumbuh. Tidak perlu itu pupuk segala macam." Lagu ‘Kolam Susu’ milik Koes Plus pun berngiang-ngiang di otak saya.
ADVERTISEMENT
Namun, saya belum melihat itu di Mbay. Entahlah. Mungkin karena hujan belum mulai turun di sini. Sejauh mata memandang, memang masih tampak banyak sekali lahan kosong. Banyak sekali. Saya yakin tidak ada lahan kosong sebanyak ini di Jawa. Buktinya adalah, di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nagekeo, pekarangannya lebih luas dibanding bangunannya.
Entahlah. Saya ingin sekali salah di sini. Saya ingin agar kata-kata Pak Yusuf itu menjadi kenyataan di bumi Mbay dan di seluruh Flores, dan harapan saya ini sudah bisa terlihat dari cara masyarakat Mbay menyambut rombongan Tour de Flores.
Pagi di Mbay, Flores. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pagi di Mbay, Flores. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
Tidak banyak memang yang bisa mereka sajikan, tetapi saya tahu bahwa mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bukti paling kentara, menurut saya, adalah dari makanan yang mereka hidangkan untuk para tamu: nasi, spaghetti (meski hanya pasta-nya saja), kentang goreng, ayam goreng, ikan goreng, plus buah-buahan segar.
ADVERTISEMENT
Dari situ, saya bisa menerka logika berpikir mereka dan semoga saya benar kali ini. Mereka tahu bahwa ada tamu dari luar negeri di sini dan mereka ingin sekali bisa menjadi bagian dari masyarakat internasional. Di situ, saya melihat sebuah upaya untuk benar-benar merangkul dunia. Dengan tangan mereka yang masih mungil itu, mereka coba menggamit tangan dan pundak para raksasa.
Inilah yang kemudian saya artikan sebagai tidak ada nostalgia di Mbay. Persetan dengan masa lalu, mereka sudah telanjur berdiri sendiri —lapangan pusat kota mereka dinamai Lapangan Berdikari— dan ya, sudah. Tidak perlu tengok-tengok ke masa lalu. Kris Roe yang kelewat sentimental itu pasti akan malu dibuat rakyat Nagekeo.
Nah, dalam sesi makan siang usai lomba itu, setelah melihat apa-apa saja yang mereka hidangkan, saya pun mencomot kentang goreng dan ikan goreng sebanyak-banyaknya. Dalam hati, saya bergumam, "Hmm, fish and chips ala Flores. Not bad. Not bad at all.
ADVERTISEMENT