Luis Figo: Antara Kepala Babi dan Harga Diri

23 April 2017 16:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Figo saat berseragam Real Madrid (Foto: Reuters)
Dalam masa Perang Dunia II, sekelompok anak-anak sekolah militer asal Inggris harus menerima nasib pilu ketika terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni di wilayah Samudera Pasifik. Itu terjadi setelah pesawat yang mereka tumpangi mengalami tabrakan. Yang berhasil selamat hanyalah sekumpulan anak-anak berusia 10-13 tahun.
ADVERTISEMENT
Sekumpulan anak-anak itu kemudian sepakat untuk mengangkat Ralph dan Jack Merridew sebagai pemimpin(-pemimpin) mereka. Akan tetapi, ada dengki di dalam hati Jack yang angkuh itu. Ia menganggap bahwa dirinya-lah yang pantas dijadikan ketua.
Pada akhirnya, Ralph dan Jack pecah kongsi. Mereka memiliki pengikut masing-masing. Dalam perjalanannya, sifat anak-anak Jack dan Ralph beserta pengikutnya lambat laun terkikis, lalu berubah menjadi buas dan bengis.
Fokus mereka tak lagi bagaimana mencari pertolongan, melainkan berubah menjadi saling memburu satu sama lain. Latar belakang mereka yang berpendidikan lantas ditinggalkan untuk digantikan dengan budaya barbar nan primitif.
Suatu waktu, Jack memburu babi di tengah hutan. Kemudian, bersama anggotanya kepala babi tersebut dipenggal dan ditancapkan ke sebuah kayu. Tak lama, kepala babi itu dikerumuni lalat.
ADVERTISEMENT
Dari situ, tercetuslah istilah "Lord of the Flies" atau Tuhan (para) Lalat.
Sejak saat itu, Jack dan pengikutnya menjadikan kepala babi itu sebagai simbol jati diri mereka: kejam, bengis, biadab, dan perusuh.
Seluruh kejadian itu tergambar dalam novel berjudul “Lord of the Flies” karya William Golding yang diterbitkan pertama kali pada 17 September 1954. Novel itu kemudian sangat laris dipasaran hingga akhirnya membawa Golding —dengan novel-novel lainnya— meraih Nobel Prize in Literature pada 1983.
***
Hingga detik ini, simbol kepala babi masih ditemui dalam kondisi tertentu, tak terkecuali di atas lapangan hijau. Pada 15 tahun silam, sepak bola Eropa dihebohkan ketika diketahui ada kepala babi masuk ke dalam lapangan.
ADVERTISEMENT
Peristiwa kelam itu terjadi ketika Barcelona menghadapi Real Madrid dalam partai bertajuk El Clasico di Camp Nou pada 2002. Pertandingan berlangsung sangat panas sejak menit awal. Pemicunya adalah seorang Luis Figo.
Ya, bintang asal Protugal itu menjadi pelampiasan amarah dari suporter Barca. Segala sisi beringas dari seorang suporter seakan muncul dalam laga sengit itu. Pasalnya, mereka merasa dikhianati oleh Figo yang menyebrang dari Barca ke rival abadi mereka, Real Madrid.
Figo pertama kali mendarat di Camp Nou pada 1995 setelah enam musim membela Sporting CP. Akan tetapi, keputusan kontroversial diambilnya ketika menerima pinangan Madrid setelah lima musim membela Blaugrana.
Lawatan pertama Figo ke Camp Nou terjadi pada La Liga musim 2000-2001. Stadion berkapasitas 98.000 kursi itu lantas terasa seperti neraka. Puluhan spanduk intimidatif plus teriakan teror membahana sejak ia berjalan memasuki lapangan.
ADVERTISEMENT
Berselang dua musim kemudian, publik Camp Nou semakin ganas dalam menyambut Figo. El Clasico pada 22 November 2002 akan menjadi pertandingan tak terlupakan bagi Figo.
Serangan tak lagi hanya berupa spanduk dan teriakan, melainkan sudah kepada ancaman terhadap fisik. Puncaknya terjadi ketika Figo mengambil sepak pojok di pertengahan babak kedua.
Di situlah pendukung Barca melampiaskan seluruh amarahnya. Benda-benda asing dilemparkan ke pinggir lapangan tepat di mana Figo berdiri. Akan tetapi, di antara puluhan benda asing itu terdapat satu yang mencuri perhatian, yakni sepenggal kepala babi.
Kepala babi untuk Luis Figo. (Foto: Marca)
Sontak, hal itu membuat penggawa Madrid lainnya terkejut. Mereka menilai perilaku Barcelonistas sudah kelewatan. Setelah berdiskusi dengan wasit Medina Cantalejo, kapten Madrid saat itu, Raul Gonzalez, akhirnya menginstruksikan rekan-rekan setimnya untuk meninggalkan lapangan sebagai bentuk protes.
ADVERTISEMENT
Kepala babi, selayaknya yang disimbolkan dalam novel “Lord of the Flies”, menjadi sebuah simbol akan kebiadaban dan barbarisme dari segelintir kelompok. Kepala babi itu pula menjadi sebuah representasi akan kemarahan mereka terhadap Figo.
Pertanyannya, apakah pantas sebuah "pengkhianatan" dihadiahi sebuah kepala babi?
"Saya berada di tribun penonton ketika Figo kembali ke Camp Nou bersama Real Madrid. Penonton marah besar, terlebih stadion juga penuh. Emosi kami sangat tinggi," kenang bek Barca, Gerard Pique, yang ketika itu masih menjadi penonton.
Pelatih Barca saat itu, Louis van Gaal, menilai kejadian itu tak lepas dari kesalahan Figo sendiri dengan mengambil tendangan sepak pojok terlalu lama.
"Figo memprovokasi fans. Dia berjalan ke arah sepak pojok sangat lambat. Mengambil botol (yang dilempar fans) sangat lama dan baru kembali ke sepak pojok. Dan, semua itu dilakukannya secara sadar dan sengaja. Tanpa upaya apapun dari wasit untuk menghentikannya," ucap Van Gaal.
ADVERTISEMENT
Mendengar pernyataan itu, Figo semakin naik pitam. Pemain yang juga sempat memperkuat Inter Milan ini menilai perkataan Van Gaal tak masuk akal.
"Dia (Van Gaal) tak pernah mengatakan apapun kepada saya ketika dia menjadi pelatih saya selama dua tahun. Dan, saya menyelamatkan mukanya lebih dari sekali," kata Figo.
Terlepas dari kontroversi itu, kebintangan Figo tetap tak bisa terbantahkan. Bersama Barca maupun Madrid, peraih Ballon d'Or 2000 itu mampu tampil gemilang.
Bersama Azulgrana, Figo tampil selama lima musim dari 1995-2000 dengan mencatatkan 172 penampilan dengan 30 gol. Sepanjang kariernya di Camp Nou, pemain yang berposisi winger ini sukses meraih sederet prestasi yaitu dua kali titel La Liga (1997/98 dan 1998/99), dua kali Copa del Rey (1997 dan 1998), Supercopa de España (1996), Piala Winner (1997), dan Piala Super Eropa (1997).
ADVERTISEMENT
Setelah hijara ke Madrid, bintang terang kembali menaungi Figo. Pada musim perdananya bersama El Real, Figo sukses mempersembahkan gelar La Liga pada musim 2000/01 dan digandakan pada musim 2002/03.
Dari 164 penampilan, Figo mampu melesakkan 36 gol dengan meraih gelar yang tak direngkuhnya bersama Barca yakni Liga Champions pada 2002. Selain itu, Figo juga berkontribusi atas gelar Madrid ketika meraih Supercopa de España (2001 dan 2003), Piala Super Eropa (2002), dan Intercontinental Cup (2002).
Pada akhirnya, sebuah kepindahan pemain dari satu klub ke klub lainnya hanyalah sesuatu yang biasa dalam sepak bola. Bahkan, ketika hijrah ke klub rival sekalipun. Tak manusiawi kiranya jika seorang pemain —apapun alasannya— menerima perlakuan di luar hak kemanusiaannya.
ADVERTISEMENT
Namun, sepak bola terkadang mampu membuat sesorang kehilangan akal sehat. Karena mereka lebih memaknai sepak bola sebagai sebuah kehidupan. Sebagai sebuah pertaruhan harga diri.
Ya, harga diri.
Itu juga yang akan diusung para pemain dan suporter setiap kali El Clasico dipentaskan. Tetapi, semoga, harga diri tak lantas membutakan mata hati.