Mengapa Manchester United Jeblok Selepas Era Alex Ferguson?

16 Mei 2017 16:34 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengapa Manchester United jeblok? (Foto: Darren Staples/Reuters)
Alex Ferguson bukan orang bodoh. Kendati tumbuh besar di galangan kapal di Glasgow sana, Ferguson muda lebih dari sekadar apa yang terlihat di permukaan. Coreng dan debu di wajahnya seolah menutupi ide-ide besar yang tersimpan di sudut-sudut benaknya.
ADVERTISEMENT
Ferguson adalah striker yang lumayan tajam. Tapi ia tidak pernah benar-benar menjadi pemain besar atau melegenda ketika masih bermain dulu. Malah ada masa di mana Ferguson berpikir untuk pindah ke Kanada saja karena tak kunjung mendapatkan kesempatan main di klubnya.
Namun, seperti kata Arrigo Sacchi, Anda tidak perlu menjadi kuda lebih dulu untuk bisa menjadi joki yang hebat. Sacchi, yang tidak pernah menjadi pemain sepak bola profesional, menunjukkan bahwa di kemudian hari dia bisa menjadi pelatih yang cukup sukses.
Dan begitulah Ferguson. Jalan hidup mengantarkannya menjadi salah satu manajer sepak bola yang paling dihormati —atau dibenci— dengan koleksi puluhan medali juara di lemarinya. Masa lebih dari dua dekadenya bersama Manchester United dirasa sulit untuk diulangi manajer manapun di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Ferguson yang tumbuh besar di kalangan kelas pekerja Glasgow itu menanamkan etos dan disiplin keras pada setiap tim yang ditanganinya. Ketika ia tiba di United pada 1986 dan menemukan tim tersebut bobrok karena dipenuhi para pemabuk, ia berang bukan main.
Maka, jangan heran jika tim yang ditangani Ferguson bisa begitu determinan ketika bermain. Pada satu kesempatan, Ferguson pernah beranjak dari bangkunya hanya untuk membentak gelandang United, Anderson. Dengan mimik menggeram, Ferguson mengingatkan Anderson yang waktu itu mulai tampak ogah-ogahan. Semenit kemudian, Anderson sudah terlihat berlari mengejar bola lagi di lapangan.
Di lain kesempatan, ia memaki Jonny Evans yang baru saja melakukan blunder. Kekesalan Ferguson, berikut wajahnya yang memerah saking marahnya, terekam dengan jelas oleh kamera. Dan pada adegan yang sama, tampak asistennya, Mike Phelan, beranjak dari kursi dan berusaha menenangkan sang manajer.
ADVERTISEMENT
Barangkali Anda bertanya, jika sedemikian bengisnya Ferguson, mengapa para pemainnya masih mau mendengarkannya. Well, se-klise apapun kedengarannya, Ferguson adalah sosok kebapakan. Ia memerhatikan anak buahnya dengan seksama. Ia tidak ragu menjabat hangat tangan para pemain dan bertanya bagaimana kabar keluarga mereka. Jadi, jangan heran melihat Nani dan Cristiano Ronaldo, tak lama setelah menerima medali juara Piala Eropa 2016, masih merangkulnya dengan penuh sukacita.
Jangan heran juga melihat Javier “Chicharito” Hernandez masih memujinya dengan penuh kebanggaan, sekalipun striker asal Meksiko tersebut lebih sering dicadangkan oleh Ferguson —dan oleh karenanya punya julukan “Super Sub”, sama seperti Ole Gunnar Solskjaer dulu.
Perkara man management inilah yang membuat Ferguson langgeng di United. Skuat bergerak satu arah sesuai komandonya. Tidak menurut? Ya, siap-siap didepak. Dengan demikian stabilitas terjaga dan konsistensi bisa didapat dengan mudahnya setiap musim.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah Ferguson cuma perkara man management saja? Nanti dulu…
***
18 Mei 1960, sekitar 127 ribu orang memadati Hampden Park di kota Glasgow untuk menyaksikan Real Madrid vs Eintracht Frankfurt di final European Cup (sekarang Liga Champions). Ferguson muda ada di antara ratusan ribu orang itu. Madrid, yang dimotori Francisco Gento, Ferenc Puskas, dan Alfredo Di Stefano di lini depan, menang 7-3.
Namun, bukan kemenangan itu yang membekas di benak Ferguson muda, melainkan bagaimana cara Puskas bermain. Puskas adalah bagian dari The Magical Magyars, sebutan untuk Tim Nasional Hongaria yang begitu masyhur, di era 1950-an. Di bawah arahan Gusztav Sebes, The Magical Magyars tampil dengan gaya non-konvensional untuk zaman itu.
ADVERTISEMENT
Penyerang tengah dalam taktik Sebes bukanlah penyerang tengah biasa. Dia tidak terpatok pada posisinya di lini depan dan hanya bergerak di kotak penalti saja. Penyerang tengah dalam tim Sebes bergerak mundur dan kerap turun hingga lini kedua. Tujuannya jelas: menarik bek tengah lawan sehingga menimbulkan lubang di lini belakang lawan.
Peran penyerang tengah semodel itu kini kita kenal dengan label “false nine” dan sudah banyak diterapkan di mana-mana. Zaman itu, pada The Magical Magyars-nya Sebes, peran tersebut dilakoni oleh Puskas.
Jadi, jauh sebelum “false nine” ngetren bersamaan dengan revolusi taktik di ujung dekade 2000-an, Ferguson muda sudah merekam dalam-dalam di benaknya bahwa gaya main ala Ferenc Puskas kelak akan bergema dan bakal diaplikasikan ke dalam timnya.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi pada hari Rabu di pertengahan bulan Mei itu menunjukkan bahwa Ferguson bukan cuma sekadar tahu memompa mental para pemainnya, tetapi ia juga punya pemahaman taktik yang cukup mumpuni.
Sir Alex Ferguson pada laga Man Utd vs Rostov. (Foto: Andrew Yates/Reuters)
Ini terlihat dari bagaimana dia menyusun pemainnya untuk final Liga Champions 1999. Ketiadaan dua generator lini tengah timnya, Paul Scholes dan Roy Keane —yang harus absen karena akumulasi kartu kuning—, membuatnya harus memutar otak. Di tim United saat itu, cuma Nicky Butt gelandang tengah murni yang tersisa.
Ferguson sempat menimbang untuk memainkan Ryan Giggs sebagai gelandang serang untuk mendampingi Butt. Namun, dari beberapa sesi latihan terakhir, ia melihat bahwa David Beckham lebih cocok untuk menempati posisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Alasannya? Selain karena Beckham pernah bermain sebagai gelandang serang, Ferguson juga melihat Beckham lebih bisa mempertahankan possession di lini tengah ketimbang Giggs. Kendati di ujung laga United akhirnya bermain dengan 4-3-3 dan posisi Beckham dikembalikan ke sayap, setidaknya hal tersebut menunjukkan bahwa Ferguson cukup sensible dalam menimbang-nimbang taktik dan ia bukan sosok one dimensional.
Namun, baru pada 2007/2008 apa yang ia saksikan di Hampden Park puluhan tahun lalu benar-benar jadi kenyataan. Meskipun tidak mirip-mirip amat dengan gaya The Magical Magyars dengan Puskas di dalamnya, tim United kala itu bermain dengan amat cair di lini depan. Trio Cristiano Ronaldo-Wayne Rooney-Carlos Tevez dibebaskan untuk berkreasi.
Jika Anda mengira bahwa Rooney adalah ujung tombak utama di formasi tersebut —dengan Tevez sebagai duetnya di lini depan—, well, Anda tidak sepenuhnya keliru, sih. Namun, formasi Ferguson kerap menipu. Dia bisa menurunkan tim yang tampak seperti 4-4-2, tetapi kenyataannya bermain dengan 4-4-1-1. Demikian juga dengan formasi United waktu itu.
ADVERTISEMENT
Kendati tampak seperti 4-4-2 dengan Rooney dan Tevez sebagai ujung tombaknya, sesungguhnya United bermain dengan 4-3-3. Rooney dan Tevez, kedua penyerang tengah mereka, justru kerap bergerak melebar. Sementara itu, Ronaldo diberikan kebebasan bergerak. Ia bisa menusuk dari sayap, tapi bisa juga mengeksploitasi bagian tengah pertahanan lawan yang ruangnya sudah dibukakan oleh Rooney dan Tevez.
Ferguson tidak secara eksak bermain dengan satu orang “false nine” ala Puskas yang dulu dilihatnya. Namun, dengan keberadaan trio Ronaldo-Rooney-Tevez yang bergerak cair, ia mengaburkan siapa sesungguhnya penyerang tengah utama United. Sosok Puskas dibaginya sama rata kepada tiga pemain tersebut.
Hasilnya? United menjadi juara Premier League dan Liga Champions di ujung 2007/2008.
***
Patung Sir Alex Ferguson di utara Old Trafford. (Foto: Christopher Furlong/Getty Images)
8 April 2013, United, yang sudah sejak November 2012 duduk di posisi pertama Premier League, harus berhadapan dengan tetangga sendiri, Manchester City.
ADVERTISEMENT
City sedang inkonsisten musim itu. Tidak seperti semusim sebelumnya, di mana mereka tampil sebagai juara liga. United sendiri, sesungguhnya, tidak tampil luar biasa. Namun, konsistensi mereka ketika menghadapi tim-tim papan tengah, plus jebloknya performa para pesaing, membuat mereka duduk dengan nyaman di posisi pertama selama berbulan-bulan.
Sialnya buat United, City pada era guyuran uang Timur Tengah adalah City dengan taktik yang jauh lebih modern daripada United. Sudah tidak ada lagi nama Ronaldo di dalam skuat United. Bintang utama mereka ketika itu adalah Robin van Persie, yang musim itu seolah-olah sendirian mengangkat performa tim yang sedang menuju penurunan.
Jika bicara peringkat dan hasil di lapangan, United memang tidak buruk. Tapi ini mengelabui apa yang sesungguhnya terjadi di papan taktik.
ADVERTISEMENT
Menghadapi City yang punya striker cepat macam Sergio Aguero dan gelandang semodel David Silva yang jarang kelewat satu detik pun untuk melepas operan —dan oleh karenanya, ia jarang kelewat momentum untuk melepas operan—, United bermain dengan garis pertahanan rendah.
Aguero adalah penyerang yang komplet. Dia tidak melulu butuh diempani umpan untuk mencetak gol. Dengan kemampuannya menggiring bola, dia bisa mengkreasikan peluang sendiri.
Dengan bek-bek United yang berdiri tidak jauh dari kotak penalti sendiri, dan lini tengah yang tidak melakukan pressing dengan ketat, para pemain City pun dengan leluasa mengalirkan bola di depan kotak penalti United.
City menang 2-1 pada laga tersebut dengan Aguero menjadi pencetak gol kemenangan. Aguero dengan leluasa bergerak dari sisi sayap, menerima operan, merangsek ke kotak penalti, lalu melepaskan sepakan dari sudut sempit.
ADVERTISEMENT
United akhirnya memang menjadi juara di akhir musim, tetapi kekalahan dari City —yang bermain lebih apik dari segi taktikal— menunjukkan bahwa United harus berbenah. Ferguson pensiun di akhir musim 2012/2013 itu, dan memang sudah semestinya begitu.
Tim di musim 2007/2008 adalah mahakarya terakhirnya dan tidak ada lagi timnya sesudah itu yang mampu menyamainya.
***
Lebih dari dua dekade ditangani Ferguson membuat United betul-betul bergantung pada sosok kelahiran 31 Desember 1941 tersebut. Ferguson adalah pasak sekaligus peletak identitas United yang besar pada era 1990-an hingga ujung 2000-an. Begitu pasak itu dicabut, habislah sudah United.
Tapi, benarkah ini cuma perkara Ferguson pergi semata? Tidak juga. Menjelang akhir masanya di United, Ferguson amat minim melakukan pembaruan taktik dan pemugaran skuat. Jika di masa-masa jayanya ia bisa berpindah dari bermain 4-4-2, 4-4-1-1, hingga 4-3-3 dan rajin membeli pemain mahal semodel Juan Sebastian Veron hingga Rio Ferdinand, tidak demikian menjelang akhir kariernya.
ADVERTISEMENT
Ketika Ronaldo pergi, Ferguson sudah cukup puas menggantinya dengan Antonio Valencia. Formasi 4-4-2 konvensional pun setia menemani timnya pada 2012/2013 dengan Shinji Kagawa, pemain yang bisa mengatur permainan dari pos sebagai gelandang serang, dimainkan sebagai sayap kiri.
Ketiadaan pembaruan dari segi taktikal tersebut cuma ditutupi dengan determinasi permainan yang berpangkal pada man management apik Ferguson itu. Imbasnya, hasil di atas lapangan pun tidak buruk-buruk amat. Trofi juara liga pun masih bisa didapat.
Tapi, tak pelak, United harus berbenah dan berubah. Dunia di luar Old Trafford mulai terbiasa dengan pressing-pressing ketat dan pelbagai inovasi permainan lainnya. Determinasi saja tidak akan cukup.
Tidak ada lagi tempat untuk bernostalgia. Sialnya, yang terjadi tidak begitu.
ADVERTISEMENT
Ketika David Moyes datang dan mencoba mengaplikasikan garis pertahanan tinggi pada sebuah uji tanding di Thailand, United gagal total. Karena tidak pernah terbiasa dengan gaya main seperti itu, bek-bek United kewalahan. Berulang kali mereka ditembus oleh umpan-umpan terobosan.
Moyes kemudian gagal (total) dan datanglah Louis van Gaal. Niatnya untuk benar-benar memperbarui identitas United terlihat dengan betapa memaksanya dia untuk memainkan filosofinya kepada tim —tak peduli tim itu siap atau tidak.
Van Gaal memutuskan pensiun sebagai pelatih. (Foto: Getty Images)
Bersama Van Gaal, United memang terlihat jauh lebih rapi. Sayangnya, Van Gaal alpa mempertimbangkan betapa direct-nya sepak bola Inggris. Ketika ia tahu bahwa permainan membangun serangan pelan-pelan yang selama ini diterapkannya bisa dihajar dengan begitu mudahnya oleh permainan direct ala Inggris, Van Gaal langsung menciut.
ADVERTISEMENT
Van Gaal mendadak jadi pragmatis. Janjinya untuk menampilkan sepak bola ofensif yang menghibur tidak terlaksana; United berubah menjadi lebih membosankan dan membuat orang yang menyaksikannya lebih baik pergi tidur saja.
Membosankannya permainan United ini menjadi akhir dari karier Van Gaal di Old Trafford. Sekalipun bisa mempersembahkan trofi Piala FA, Van Gaal tetap didepak. Dan datanglah Jose Mourinho sebagai penggantinya.
Jika menghitung Ryan Giggs, yang sempat diangkat sebagai caretaker selepas Moyes didepak, United sudah ditangani empat orang berbeda selepas Ferguson pensiun.
Dua dekade lebih dengan orang yang sama, kini United ditangani empat orang berbeda hanya dalam rentang waktu empat tahun. Orang bilang, jika sekalinya hujan turun, biasanya ia mengguyur dengan deras.
ADVERTISEMENT
***
Tugas Mourinho tidak mudah. Membenahi sebuah rumah yang semestinya sudah dipugar sejak bertahun-tahun lalu memang membutuhkan waktu lama.
Meminta United untuk tetap bermain dengan gaya Ferguson dulu bisa jadi sama saja dengan bunuh diri. Membangunnya menjadi rumah yang seutuhnya baru memang terasa lebih masuk akal.
Masalahnya, untuk benar-benar menjadikan United sebuah tim yang benar-benar baru, dengan identitas permainan ala Ferguson yang sudah kadung mengental di dalamnya, tidak bisa berlangsung dalam satu musim saja.
Tak lama setelah mengantakan United lolos ke final Liga Europa, Mourinho dengan tegas mengatakan bahwa ini adalah musim yang teramat berat untuknya. Entah apa maksudnya. Yang jelas, memang skema yang ia jalankan tidak melulu memberikan hasil sepadan di atas lapangan.
ADVERTISEMENT
Pada akhir pekan kemarin, Minggu (14/5/2017), ketika United bertanding melawan Tottenham Hotspur di White Hart Lane, banyak yang menyangka bahwa Mourinho sudah benar-benar merelakan laga tersebut.
Benarkah? Hmm, tidak juga.
Mourinho meminta timnya bermain dengan formasi 4-2-4 di mana dua gelandang tengahnya, Axel Tuanzebe dan Michael Carrick ditugaskan untuk secara khusus melakukan man-marking kepada gelandang-gelandang Spurs seperti Christian Eriksen.
Hasilnya memang gagal total. Memasang Carrick, yang sudah tidak terlalu cepat, untuk menghadapi Spurs yang dikenal amat rajin melakukan pressing di lini tengah, bukanlah pilihan bijak. Namun, setidaknya ini sudah menunjukkan bahwa, meskipun di akhir pertandingan ia mengatakan bahwa fokus timnya saat ini adalah final Liga Europa, Mourinho sesungguhnya tidak benar-benar melepas laga tersebut.
ADVERTISEMENT
Mereka, termasuk beberapa kolomnis Inggris, yang mengkritik Mourinho karena menilainya melepas laga melawan Spurs sesungguhnya tidak benar-benar seksama memerhatikan detail kecil seperti perubahan taktik tersebut.
Mourinho pada laga melawan Celta Vigo. (Foto: Carl Recine/Reuters)
Yang ada, Mourinho kembali harus berurusan dengan sebuah tim yang memang belum siap untuk sepenuhnya menerima atau bersikap luwes pada perubahan taktik. Inilah masalah sebenarnya dari United dan jadi jawaban mengapa mereka terus jeblok selepas Ferguson pensiun.
Tentu, masih ada kritik lainnya yang mengatakan bahwa untuk klub sebesar United, tidak semestinya mereka bersikap setengah-setengah menghadapi laga seperti apapun. Namun, ingatlah, ketika Anda terpaksa memainkan beberapa pemain pelapis dan pemain muda ke tim utama, Anda memang tidak punya pilihan lain.
Lagipula Mourinho dihadapkan pada pilihan pelik: nekat tampil sepenuh hati tapi akhirnya kalah juga atau bersikap pragmatis dengan taruhan mendapatkan hasil yang lebih baik di akhir musim. Saya meyakini, kalau Mourinho bersikap nekat tapi ujung-ujungnya kalah juga, toh dia akan dikritik juga.
ADVERTISEMENT
Menganggap bahwa United era Ferguson selalu tampil sepenuh hati tanpa basa-basi di tiap pertandingan sebenarnya juga agak keliru. Ada banyak momen di mana Ferguson dengan suka hati merotasi skuatnya ketika ia merasa bahwa ada yang lebih perlu menanti di depan. Jika dibutuhkan, Ferguson sebenarnya juga bisa bersikap pragmatis seperti Mourinho.
Pada era di mana seorang Arsene Wenger, yang dikenal cuma tahu satu gaya saja, sudah mau berubah dengan menggunakan format baru seperti 3-4-2-1, meminta United untuk terus bersikap seperti di era Ferguson dulu adalah sesuatu yang absurd.
Jika masih berharap begitu, dan melulu membahas determinasi, mungkin Anda bisa pulang, duduk di kursi goyang sembari mendengar Edith Piaf bernyanyi “La Vie en Rose”.
ADVERTISEMENT