Mengapa Rodgers dan Klopp Jadi Sama Pandirnya?

8 Februari 2017 19:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Klopp kerap salah strategi. (Foto: Alex Livesey/Getty Images)
Baru tidak selamanya lebih baik. Pernyataan itu bisa ditimpakan pada Juergen Klopp dan Brendan Rodgers.
ADVERTISEMENT
Klopp, pada awalnya, adalah sebuah harapan. Namun, begitu juga dengan Brendan Rodgers dulu. Sebagai manajer muda yang mencuat usai menangani Swansea City, Rodgers diharapkan bisa memberi angin segar kepada Liverpool.
Rodgers baru berusia 39 tahun ketika datang ke Liverpool. Swansea-nya menggebrak Premier League dengan penuh gaya. Mereka memainkan possession football yang dianggap adiluhung, menyusul berjayanya Barcelona dan Spanyol di rentang 2009 hingga 2012.
Rodgers, dalam wawancaranya kepada The Guardian pada 2012, mengakui terang-terangan kesukaannya pada sepak bola Spanyol. Ia senang melihat timnya mengontrol penguasaan bola dan melakukan tekanan kepada lawan untuk merebut bola secepat mungkin.
Namun, Rodgers tidak bodoh. Ia paham bahwa penguasaan bola selama mungkin tidak akan ada artinya tanpa penempatan posisi pemain yang bagus. Oleh karenanya, ia juga menekankan pentingnya positioning pada sesi latihan.
ADVERTISEMENT
“Jadi, kami menekankan permainan kami pada positioning pemain, baik saat menguasai bola atau ketika sedang tidak menguasai bola,” kata Rodgers.
Pemikiran yang cerdas, dan tentu saja menggiurkan. Wajar kalau Liverpool kepincut. Pada Juni 2012, Rodgers akhirnya resmi menjadi manajer The Reds.
Yang tak diketahui Rodgers, dan Liverpool, zaman bergerak. Di luar dunia kecil mereka, ada yang sedang bergeser.
Di akhir musim itu, final Liga Champions dihelat di London, tapi mempertemukan dua tim asal Jerman: Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund.
Dortmund ditangani oleh manajer beringas, berkaca mata, dan gemar dengan sepak bola yang mengentak-entak. Tak lain dan tak bukan, orang itu adalah Klopp sendiri.
Dalam rentang dua musim berurutan, Klopp sukses membawa Dortmund menjuarai Bundesliga. Dominasi Bayern ia patahkan. Tapi, musim itu Klopp sedang kesulitan. Di sisi lain, Bayern sedang berusaha keras mengembalikan wibawa mereka.
ADVERTISEMENT
Klopp dibikin berang dua kali musim itu. Pertama, ia merasa gaya main timnya ditiru mentah-mentah oleh pelatih Bayern, Jupp Heynckes. Kedua, salah seorang jagoannya, Mario Goetze, digoda pindah —dan akhirnya memang sungguhan pindah.
“Ya, sama seperti Anda. Mungkin bekerja di Daily Mail lebih mudah, lebih sedikit tulisan dan lebih banyak gambar,” ucap Klopp kepada wartawan mengenai kepindahan Goetze ke Bayern.
Gaya main Klopp yang tidak banyak neko-neko itu menjalar tidak hanya ke Bayern. Pressing tinggi hingga ke daerah permainan lawan bermimikri menjadi banyak bentuk. Mulai dari Bayern Leverkusen-nya Roger Schmidt hingga Tottenham Hotspur-nya Mauricio Pochettino, menekankan permainan mereka pada pressing.
Sebenarnya, gaya main Spanyol atau Barcelona di era Pep Guardiola, juga tidak serta-merta melakukan pressing. Hanya saja, gaya main Klopp dan tim-tim yang disebutkan di atas tidak melulu menitikberatkan pada penguasaan bola. Di sisi lain, sepak bola luar biasa Rodgers di Liverpool hanya bertahan satu musim —ya, tidak lebih. Setelah masih mencoba meraba-raba di musim perdananya, Rodgers mendapatkan momentum pada 2013/2014 bersamaan dengan meletupnya performa seorang striker kontroversial bernama Luis Suarez.
ADVERTISEMENT
Namun, bahkan eksplosivitas Suarez juga tak mampu menyelamatkan Liverpool dari kepandirannya sendiri. Steven Gerrard terpeleset menjelang musim berakhir, lalu lini belakang Liverpool seolah bermain dengan setengah tertidur dalam lawatan ke Crystal Palace.
Dan begitulah… Selamat tinggal, gelar juara.
Era Rodgers berakhir pada Oktober 2015. Lalu, datanglah Klopp yang kala itu sedang menganggur. Fakta bahwa Klopp meninggalkan Dortmund dalam keadaan yang kurang bagus —kala itu performa Dortmund sedang menurun— tidak memengaruhi keputusan petinggi-petinggi Liverpool.
Gaya sepak bola tanpa basa-basi Klopp sesungguhnya amat cocok dengan Liverpool. Masa bulan madu berlangsung, kendati di musim perdananya, Klopp gagal di dua final, Piala Liga Inggris dan Liga Europa.
Di musim kedua Klopp, Liverpool mengganas. Mereka menjadi tim paling subur di Premier League. Tapi, riak-riak kecil masih kerap muncul. Inkonsistensi, penyakit lama “Si Merah” entah dari zaman kapan, menyembul dua-tiga kali.
ADVERTISEMENT
Puncaknya, setelah pergantian tahun ke 2017, Liverpool ambruk. Tak sekalipun mereka meraih kemenangan di liga. Dari lima pertandingan, Liverpool hanya mampu meraih tiga hasil imbang, sementara sisanya mereka kalah.
Statistik mengejutkan pun muncul. Opta mencatat, dalam 54 pertandingan pertama di liga antara Rodgers dan Klopp, keduanya memiliki pencapaian sama: menang 26 kali, imbang 16 kali, dan kalah 12 kali. Secara hasil, Liverpool tidak ke mana-mana.
Rodgers bahkan unggul dalam beberapa aspek. Liverpool-nya mampu 110 gol, sementara Klopp hanya 106. Lalu, Liverpool-nya hanya kebobolan 61 gol, sedangkan Klopp 70 gol.
Lebih tajamnya Liverpool bisa dimaklumi, mengingat kala itu duet Suarez dan Daniel Sturridge sedang subur-suburnya. Pada musim 2013/2014, Liverpool sukses mencetak 101 gol.
ADVERTISEMENT
Klopp di sisi lain, terbilang amat bergantung pada Sadio Mane. Ketika Mane absen, lini depannya buntu. Tidak ada yang bisa mencetak gol, mengkreasikan peluang, ataupun membuka ruang untuk pemain lainnya. Tumpulnya lini depan diperparah dengan keroposnya lini belakang.
Mengapa Klopp menjadi sama pandirnya dengan Rodgers?
Ada beberapa analisis tersebar. Eks-bek Liverpool, Jamie Carragher, memberikan pendapat yang cukup umum: skuat Liverpool tidak cukup bagus. Mereka sudah terekspos habis-habisan, padahal tidak berlaga di kompetisi Eropa sama sekali.
Liverpool tidak punya cukup core atau fondasi yang kokoh di dalam tim mereka. Squawka, misalnya, menyebut bahwa trio lini tengah mereka, Emre Can, Jordan Henderson, dan Georginio Wijnaldum masih terlalu lunak.
Dalam analisis tersebut, Squawka menyebut, trio Can-Henderson-Wijnaldum “bermain hanya untuk terlihat bagus di catatan statistik”. Ketiganya lebih sering mengalirkan operan ke satu sama lain tanpa pernah berusaha untuk membuat operan langsung ke depan.
ADVERTISEMENT
Itu saja? Tidak. Baik Rodgers maupun Klopp terbilang punya manajemen transfer yang sama buruknya.
Rodgers, yang dengan kikuknya pernah menyebut Joe Allen sebagai “The Welsh Xavi”, entah sudah berapa kali membeli pemain yang akhirnya mubazir. Sementara itu, Klopp tidak pernah benar-benar membenahi permasalahan di dalam skuatnya sendiri.
Ia mendatangkan Loris Karius untuk menggantikan Simon Mignolet, yang kenyataannya sama saja. Ia menggaet Ragnar Klavan, yang pada akhirnya tidak terlalu kokoh juga.
Bagaimana dengan pos bek kiri? Alih-alih mendatangkan pemain yang merupakan upgrade dari Alberto Moreno, Klopp menambalnya dengan menjadikan James Milner —si serbabisa itu— sebagai bek kiri. Pendeknya, ketika klub-klub besar lain punya 50 juta poundsterling dan berani berusaha dengan mendatangkan dua pemain kelas satu, Liverpool lebih memilih mendatangkan lima pemain kelas B.
ADVERTISEMENT
Tentu, Klopp bukanlah pelatih buruk. Tapi, tanpa pembenahan memadai dari sektor lainnya (seperti halnya manajemen transfer), memugar rumah bernama Liverpool yang sudah lama reyot itu akan sangat melelahkan.