Ranieri: Melupakan Masa Lalu, Melupakan Leicester

27 Juni 2017 2:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ranieri saat diperkenalkan sebagai pelatih Nantes. (Foto: Stephen Mahe/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ranieri saat diperkenalkan sebagai pelatih Nantes. (Foto: Stephen Mahe/Reuters)
ADVERTISEMENT
Yang sudah lewat, biarkan saja lewat. Sejarah mengantarkan Leicester City menjadi juara liga untuk pertama kalinya pun ditaruh Claudio Ranieri pada bagian belakang masa lalunya.
ADVERTISEMENT
Ranieri dan Leicester sesungguhnya adalah cerita yang teramat ideal. Sang manajer adalah pria tua gagal yang dicap sebagai spesialis runner-up. Sementara sang klub selalu berkutat di kesemenjanaan dan tidak pernah sekalipun bermimpi soal trofi liga.
Lalu, pada sebuah musim panas di tahun 2016, Ranieri memberikan mimpi itu. Tidak sekadar memberikannya, tetapi juga mewujudkannya. Leicester, tim dari kota para imigran di mana fish and chips disajikan dengan curry itu, dibawanya menjuarai Premier League dengan mengangkangi tim-tim konglomerat semisal Manchester United, Chelsea, dan Manchester City.
Ranieri menghidupkan Leicester lewat gaya yang amat sangat Inggris: mengandalkan fisik dan kecepatan. Tak jarang peluang The Foxes tercipta lantaran pemain-pemain depan mereka mengejar dan mengganggu bek-bek lawan.
ADVERTISEMENT
Namun, selayaknya film yang plotnya kendor menjelang akhir, masa-masa indah Ranieri dengan Leicester tidak bertahan lama. Semusim setelahnya, ketika Leicester kembali ke kemediokeran, Ranieri didepak.
Ada beberapa hal yang disebut menjadi penyebabnya. Pertama, Ranieri berpikir terlalu rumit dengan mencoba-coba pakem baru yang tidak dipahami pemain-pemainnya; kedua, para pemain dikabarkan kehilangan kepercayaan pada Ranieri dan meminta kepada para bos untuk memecat sang manajer.
Yang manapun, semuanya terdengar terlalu banal untuk sebuah cerita yang ideal. Kata Jose Mourinho, Ranieri telah menuliskan sebuah kisah terindah dalam sejarah Premier League. Mourinho jelas merujuk pada kesuksesan meraih gelar juara itu, sebab cerita setelahnya tidak ada indah-indahnya.
Ranieri di stadion milik Nantes. (Foto: Stephen Mahe/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ranieri di stadion milik Nantes. (Foto: Stephen Mahe/Reuters)
Ranieri pun menganggur, sampai kemudian Nantes datang untuk menggaetnya. Setelah sempat bermasalah dengan usia Ranieri, di mana pengelola Liga Prancis tidak mengizinkan seorang 65 tahun menukangi sebuah klub karena dianggap ketuaan, Nantes akhirnya resmi mengangkatnya sebagai juru taktik.
ADVERTISEMENT
Kini, bagi Ranieri, cerita ideal bersama Leicester itu sudah ditaruhnya jauh-jauh sekali di belakang. Yang ada di depannya kini adalah Nantes, salah satu klub tersukses di Prancis yang juga punya reputasi menelurkan bakat-bakat muda dari akademi mereka.
“Pengalaman saya di sana amat fantastis. Rasa cinta yang ditunjukkan orang-orang Leicester ketika saya pergi bahkan lebih besar ketimbang saat kami sukses menjadi juara,” ujar Ranieri seperti dilansir Soccerway.
“Sekarang, saya ingin melupakan Leicester. Pengalaman yang unik, memang, tapi kini saya menangani klub yang pernah menjuarai liga sebanyak delapan kali. Ini adalah klub yang punya sejarah besar dan fasilitas luar biasa. Jadi, saya merasa amat tersanjung bisa menanganinya.”
“Saya senang berada di sini. Saya pernah menukangi Monaco sebelumnya dan waktu itu mereka berada di Ligue 2, tetapi tetap saja fans-nya memberikan dukungan fantastis,” kata Ranieri.
ADVERTISEMENT
Ranieri membesut Monaco selama dua tahun, sebelum akhirnya ia hengkang untuk menangani Tim Nasional Yunani. Bersama Monaco, Ranieri menjuarai Ligue 2 dan membawa klub tersebut kembali ke level teratas Liga Prancis.
Di sisi lain, Nantes, kendati punya reputasi besar di Prancis, sudah lama tidak menjuarai liga. Terakhir kali mereka tampil sebagai kampiun adalah pada 2001. Setelahnya, mereka kerap berkutat di papan tengah.
Mengingat Ranieri belakangan bisa membangkitkan sejumlah klub dari keterpurukan, bisakah dia memperlihatkan sihirnya di Nantes?