Rivalitas Kota Manchester-Liverpool: Mesra, Renggang, Mesra Lagi

14 Januari 2017 11:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kabut menyelimuti Albert Dock, Liverpool. (Foto: Getty Images)
"What ship didn't make it to Liverpool?"
"The Premier Ship."
ADVERTISEMENT
Relasi Liverpool dan Manchester memang unik, layaknya kakak-adik yang selalu bertengkar, tetapi sebenarnya (diam-diam) saling menyayangi. Sebagai dua kota terbesar di wilayah barat laut Inggris, dua kota ini sudah sejak dahulu menjadi lokomotif bagi laju perkembangan wilayah ini.
Awalnya, kedua kota ini hanyalah bagian dari Lancashire. Akan tetapi, setelah melalui berbagai perubahan zaman, keduanya pun berubah menjadi dua kota besar. Liverpool yang terletak lebih ke barat adalah salah satu kota maritim terpenting di Inggris. Dibelah Sungai Mersey dan berbatasan langsung dengan Laut Irlandia, kota ini sudah menjadi kota pelabuhan yang sibuk sejak abad ke-17.
Dulu, Pelabuhan Liverpool adalah salah satu pelabuhan tempat berlabuhnya kapal-kapal pedagang budak. Profit dari perdagangan budak ini kemudian menjadikan Liverpool sebagai kota yang sangat makmur lagi heterogen. Di kota inilah orang-orang kulit hitam pertama kali bermukim di Inggris dan orang-orang China pertama kali bermukim di Eropa. Sangat, sangat kosmopolitan.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke-19, saking heterogennya, Liverpool pernah dijuluki sebagai "New York-nya Eropa". Manchester, sementara itu, adalah kota yang sangat menggantungkan diri pada industri. Progres mereka memang agak terlambat karena industri tekstil yang menjadi identitas utama kota ini baru benar-benar meledak pada abad ke-19.
Namun, meski terlambat, ledakan itu kemudian membuat Manchester menjadi kota industri yang sangat maju. Jika Anda familiar dengan istilah "Revolusi Industri", Anda harus tahu bahwa revolusi tersebut berawal di kota Manchester.
Saking majunya industri kota Manchester saat itu, kehidupan kota di sana pun bahkan bisa menyerupai apa yang biasa ditemui di kota-kota modern saat ini. Di antara kepungan asap pabrik yang pekat itu, para pemuda yang resah kemudian membentuk geng-geng perusuh yang dikenal dengan nama Scuttlers.
ADVERTISEMENT
Saking meresahkannya, pihak gereja setempat bahkan sampai harus turun tangan, dan konon, dari para scuttler yang ditertibkan pihak gereja ini, lahir cikal bakal klub Manchester City. Pada tahun 1830, kedua kota ini menjadi dua kota pertama di dunia yang memiliki jaringan kereta api antarkota.
Jaringan ini digunakan untuk mengangkut barang hasil produksi pabrik-pabrik Manchester ke kota Liverpool untuk kemudian didistribusikan ke seluruh dunia. Adapun, produk paling terkenal dari kota Manchester ini adalah kain gingham yang sebenarnya berawal dari daerah Melayu (genggang).
Kain tenun bermotif kotak-kotak ini umumnya difungsikan sebagai pakaian sehari-hari untuk wanita dan anak-anak, serta untuk pelapis payung. Jika Anda ingat seragam "taplak meja" Manchester United pada musim terakhir Sir Alex Ferguson, seperti itulah wujud kain gingham.
ADVERTISEMENT
Kanal Mariners, di Salford Quays, Manchester. (Foto: Getty Images)
Meski awalnya "romantis", hubungan Liverpool-Manchester kemudian merenggang setelah Liverpool mengenakan tarif yang sangat tinggi untuk barang-barang produksi Manchester di pelabuhan mereka. Kegusaran orang-orang Manchester ini kemudian diwujudkan lewat pembangunan Kanal Air Manchester yang dimulai pada 1885.
Dengan keberadaan kanal air ini, barang-barang dari Manchester bisa langsung diangkut keluar tanpa perlu singgah di pelabuhan Liverpool. Hal ini kemudian membuat orang-orang Liverpool gantian meradang karena setelah perdagangan budak dihapuskan tahun 1833, pelabuhan-pelabuhan Liverpool banyak bergantung dari produk-produk industri Manchester yang transit di tempat mereka.
Keberadaan kanal yang ketika itu merupakan yang terbesar di dunia tersebut membuat Manchester perlahan-lahan mampu menyamai kemakmuran Liverpool. Hal ini pula yang kemudian membuat kapal menjadi sumber kebanggaan baru kota ini.
ADVERTISEMENT
Kalau tak percaya, coba perhatikan lambang Manchester United, Manchester City, dan kota Manchester itu sendiri. Jika ada satu hal yang tak pernah absen dari ketiganya, itu adalah gambar kapal. Di zaman modern ini, rivalitas Liverpool dan Manchester sudah tidak sekeras pada abad ke-19, misalnya.
Rivalitas ini, menurut Finlo Rohler dalam kolomnya di BBC, sudah tak pernah terwujud dalam bentuk apapun selain adu banter (ledek-ledekan) di pub dan, tentunya, sepak bola. Pada tahun 2008, dalam proses bidding European Capital of Culture (Ibukota Budaya Eropa), Kota Manchester secara terang-terangan mau memberikan dukungan kepada Liverpool.
Dukungan terbuka itu secara simbolis diwujudkan lewat kartu Valentine raksasa bertuliskan "Manchester loves Liverpool". Kartu raksasa itu sendiri dikirim dari Balai Kota Manchester ke Liverpool dengan menggunakan truk melalui jalur M62 yang menghubungkan dua kota tersebut.
ADVERTISEMENT
Liverpool pun akhirnya mampu terpilih menjadi European Capital of Culture 2008. "Kemesraan" kedua kota itu sebenarnya sangat wajar terjadi. Pasalnya, sebagai dua kota dengan perekonomian terkuat di Inggris Barat Laut, mereka berdua merupakan kota yang mampu secara langsung menjadi penantang London sebagai pusat perekonomian Inggris.
Dengan semakin jenuhnya Kota London, Liverpool dan Manchester pun kemudian menjadi alternatif yang menjanjikan.
Hmm, jadi kalau tidak ada Manchester United dan Liverpool, apakah rivalitas Manchester-Liverpool bakal tinggal kenangan saja?