Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
ADVERTISEMENT

Olympique Lyonnais dan Bruno Genesio-nya begitu difavoritkan untuk menjadi juara Liga Europa musim ini. Klaim tersebut terjadi usai mereka menampilkan penampilan luar biasa dengan memulangkan AZ Alkmaar, AS Roma, Besiktas, dan beberapa calon juara lainnya.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang membuat Lyon difavoritkan adalah mereka hanya akan berhadapan dengan Ajax Amsterdam. Meski berhasil melangkah hingga semifinal, Ajax, yang dilatih oleh Peter Bosz, sama sekali bukan tim unggulan dan perjuangan mereka untuk lolos tak sekeren apa yang dilakukan oleh Lyon.
Laga perdana semifinal pun dimulai. Bermain di Amsterdam ArenA, skuat muda Ajax tampil begitu percaya diri. Baru 25 menit laga dimulai, Bertrand Traore, sudah membawa Ajax unggul. Beberapa menit kemudian, Kasper Dolberg menggandakan keunggulan Ajax. Babak kedua berjalan empat menit, Amin Younes membuat skor berubah menjadi 3-0.
Meski Lyon mampu memperkecil ketinggalan melalui Mathieu Valbuena pada menit ke-66, Ajax lagi-lagi berhasil mencetak skor sebelum pertandingan ditutup melalui Traore. Ajax tidak hanya berhasil memenangi laga itu, tetapi juga membuat wajah pemain Lyon terguncang. Ajax, yang sama sekali tidak difavoritkan, berhasil memukul telak lawan yang diprediksi masuk ke final itu.
ADVERTISEMENT
Malam itu, Ajax berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa mereka sama sekali tidak boleh dianggap remeh. Sepekan berikutnya, Ajax memastikan tiket ke final, setelah Lyon tak kuasa membalas total gol yang mereka lesakkan.
Di balik keberhasilan Ajax hingga melaju ke final Liga Europa, ada keringat Bosz di dalamnya. Bosz, yang dikenal sebagai penggila Johan Cruyff dan pemikirannya, seakan mampu kembali mengangkat Ajax setelah dua musim terakhir tak beruntung di kancah antarklub Eropa.
Di tangan Bosz, Ajax kembali menampilkan identitas yang pernah diperkenalkan oleh Cruyff: bergerak luwes dan bermain dengan kecerdasan. Di tangan Bosz, Ajax kembali menelurkan dan diperkuat oleh pemain-pemain cerdas seperti Davy Klaassen, Amin Younes, Lasse Schoene, dan Hakim Ziyech.
ADVERTISEMENT
Menggunakan formasi 4-3-3, Ajax menjadi salah satu penampil Liga Europa paling menarik musim ini. Hingga partai final, Ajax telah mencetak 24 gol dari 14 pertandingan yang telah mereka mainkan.

Jumlah gol yang terbilang cukup banyak tersebut didasari oleh agresivitas Ajax. Dengan garis pertahanan dan pressing yang cukup tinggi, Ajax berupaya memberikan tekanan bahkan saat bola masih berada di pertahanan lawan. Langkah di atas didukung oleh transisi permainan (baik dari bertahan ke menyerang atau sebaliknya) yang cukup bagus di setiap lininya.
Saat menyerang, Bosz mengedepankan intelejensi dan kebebasan para pemainnya untuk melakukan apapun di daerah pertahanan lawan. Bosz tidak membatasi langkah apa yang harus ditempuh oleh anak asuhnya saat mereka berada di sepertiga terakhir pertahanan lawan. Dengan ini, serangan mereka begitu mengalir dan tak mudah diprediksi.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan langkah di atas sendiri ditentukan oleh keberadaan Ziyech di belakang tiga pemain depan. Didatangkan dari FC Twente pada awal musim ini, Ziyech tahu apa keinginan tiga pemain depannya. Kemampuannya saat membagi bola menjadi satu nilai plus yang membuat pemain keturunan Maroko ini menjadi nama terdepan.
Selayaknya pilihan, ada risiko di balik gaya bermain yang diusung oleh Bosz. Dengan pilihan tersebut, Ajax memiliki jumlah kebobolan dan jumlah attempts dari lawan yang cukup besar. Minus tersebut belum ditambah dengan banyaknya kesalahan yang dilakukan lini belakang mereka, di mana sejauh ini, total 10 kesalahan telah dilakukan oleh pemain Ajax.
Di balik catatan apik yang dilakukan oleh Bosz, problem yang dimiliki oleh Ajax memang belum akan selesai. Rencana transfer dan kebijakan pemain muda yang mereka lakukan sejauh ini bisa jadi akan menghambat langkah mereka ke depannya —seperti halnya yang terjadi pada era Frank de Boer.
ADVERTISEMENT
Di tangan De Boer, Ajax memang begitu kesulitan dalam dua musim terakhir. Kebijakan transfer yang seringkali tak menguntungkan dan taktik, dan strategi yang tak berubah dalam dua musim tersebut, membuat lawan perlahan mampu mengejar segala ketertinggalan mereka dari Ajax.
Dan itulah alasan mengapa manajemen mengangkat Bosz: menjauhkan Ajax dari kesebelasan lain di Belanda. Dalam sebuah wawancara, salah satu petinggi Ajax, Hennie Henrichs, berkata bahwa sikap dan kerja keras Bosz membuatnya terpilih untuk mengisi posisi ini.
Henrichs tak salah. Apa yang dicapai oleh Ajax saat ini adalah buktinya.