Konten dari Pengguna

Masalah Kesehatan Mental Generasi Z dan Peran Keluarga

Rosyid Nurrohman
Saya adalah dosen administrasi bisnis di Universitas Mulawarman dengan minat dalam UMKM, Tekonologi digital, Ruang Publik dan Sumberdaya Manusia
29 Oktober 2024 8:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rosyid Nurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kesehatan mental kini menjadi salah satu isu yang paling mendesak di kalangan Generasi Z, kelompok yang mencakup individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Menurut data yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), sekitar 1 dari 5 anak dan remaja di Amerika Serikat mengalami masalah kesehatan mental, dan kondisi ini dapat berlanjut hingga dewasa jika tidak ditangani dengan baik. Di Indonesia, survei dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2021 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada remaja mencapai 9,8%. Salah satu penyebab utama yang sering diabaikan dalam dinamika keluarga. Keluarga sebagai unit sosial pertama dan terpenting yang berinteraksi dengan anak, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kesehatan mental mereka.
Gambar 1. Kesehatan Mental, Sumber : Diolah Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1. Kesehatan Mental, Sumber : Diolah Penulis
1. Lingkungan Keluarga yang Tidak Mendukung
ADVERTISEMENT
Banyak anak dari Generasi Z tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak mendukung. Tekanan untuk mencapai prestasi tinggi dalam akademik, olahraga, atau kegiatan ekstrakurikuler sering kali menciptakan beban mental yang berat bagi mereka. Pew Research Center melaporkan bahwa sekitar 60% remaja merasa tertekan akibat ekspektasi orang tua. Di Indonesia, hasil penelitian dari Suhardjo (2020) menunjukkan bahwa 55% responden merasa terbebani oleh tuntutan orang tua untuk berprestasi. Tekanan ini dapat menyebabkan kecemasan yang berkepanjangan dan perasaan tidak cukup baik, yang berkontribusi pada masalah kesehatan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan.
2. Komunikasi yang Buruk
Komunikasi yang tidak efektif dalam keluarga dapat memperburuk masalah kesehatan mental di kalangan Generasi Z. Ketika anggota keluarga tidak merasa nyaman untuk berbagi perasaan atau masalah yang dihadapi, hal ini dapat mengakibatkan perasaan kesepian dan isolasi. The Child Mind Institute menyatakan bahwa anak-anak yang merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang tua cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi. Selain itu, sebuah studi oleh National Institute of Mental Health (NIMH) menemukan bahwa 70% remaja yang memiliki hubungan komunikasi yang buruk dengan orang tua mengalami gejala kesehatan mental yang lebih parah. Tanpa adanya dialog terbuka dan dukungan emosional, remaja mungkin merasa terabaikan dan kesulitan dalam mencari solusi terhadap masalah yang mereka hadapi.
ADVERTISEMENT
3. Stigma Terhadap Kesehatan Mental
Di banyak budaya, stigma seputar kesehatan mental masih sangat kuat, menghalangi diskusi terbuka mengenai masalah ini. Beberapa orang tua menganggap masalah kesehatan mental sebagai kelemahan atau aib, sehingga mereka enggan untuk membahasnya. Menurut laporan dari Mental Health Foundation, 40% anak muda merasa tidak nyaman membicarakan masalah kesehatan mental dengan orang tua mereka. Di Indonesia, penelitian oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 35% masyarakat masih memandang kesehatan mental sebagai hal yang tabu, yang berdampak negatif pada anak-anak yang berjuang dengan masalah mental. Hal ini menciptakan lingkungan di mana anak-anak merasa tidak nyaman untuk mengungkapkan perasaan mereka atau mencari bantuan profesional ketika mereka membutuhkannya.
4. Pengaruh Perilaku Orang Tua
ADVERTISEMENT
Perilaku orang tua juga berkontribusi pada kesehatan mental anak-anak mereka. Orang tua yang menunjukkan pola perilaku negatif, seperti kecanduan, konflik konstan, atau ketidakmampuan untuk mengelola emosi mereka sendiri, dapat menciptakan atmosfer yang berbahaya bagi kesehatan mental anak. Journal of Child Psychology and Psychiatry mencatat bahwa anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh dengan stres dan konflik keluarga cenderung lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan. Penelitian dari Universitas Padjadjaran di Indonesia menunjukkan bahwa 45% anak-anak dari keluarga yang mengalami konflik emosional menunjukkan gejala depresi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga yang harmonis.