Konten dari Pengguna

Banyak Perempuan Mendukung Seks Transaksional Rumah Tangga

Rosyidah Kholil
Ibu empat anak yang hobi menulis, membaca, dan mengamati kehidupan.
27 Juni 2023 21:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
Tulisan dari Rosyidah Kholil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pexel
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pexel
ADVERTISEMENT
Kemarin, ketika tengah santai sehabis nginem pagi, saya iseng scrolling facebook. Tiba-tiba saja, saya dikejutkan oleh postingan teman yang membahas perihal hubungan badan antara suami-istri dan korelasinya dengan uang belanja. Pada gambar tertulis, "Banyak rumah bordil yang kini berganti nama menjadi rumah tangga. Isinya tetap sama, sama-sama bisnis jual beli lendir."
ADVERTISEMENT
Sementara pada caption pengiring tertulis, "Seorang istri memberikan tubuhnya terhadap suami demi uang belanja apakah ada bedanya dengan perilaku seorang pelacur terhadap hidung belang? Apa definisi menikah menurut anda?"
Karena merasa terusik, membuat saya seketika bereaksi dan berkomentar yang jelas sangat kontra terhadap postingan tersebut. Bagaimana mungkin si pengunggah status bisa berpikir bahwa uang belanja merupakan "upah" bagi pelayanan ranjang? Padahal sejatinya, hubungan badan hanyalah satu dari sekian banyak kegiatan pemenuhan kebutuhan dan saling mendukung dalam kehidupan berumah tangga.
Bukankah sudah sangat jelas bahwa hubungan badan merupakan salah satu kebutuhan biologis mendasar bagi setiap manusia pada usia produktif? Selain tentunya sebagai sarana lain. Kebutuhan pemenuhan akan hal ini adalah keniscayaan bagi semua manusia, bukan hanya lelaki saja. Tapi, dengan adanya postingan tersebut, seolah-olah hanya lelaki yang membutuhkan hubungan intim, sementara wanita hanyalah "penyedia layanan".
ADVERTISEMENT
Saya akhirnya iseng memeriksa setiap komentar yang muncul di unggahan tersebut. Komentar-komentar yang ternyata sebagian besar atau bisa jadi semua berasal dari akun perempuan. Saya tak bisa memastikan karena ada nama-nama akun ambigu yang membuat saya tak bisa memastikan jenis kelamin pemiliknya.
"Menikah itu ibarat simbiosis mutualisme. Istri menjual, suami membeli. Uang belanja itu hasil kebermanfaatan bersama. Sama-sama mengenyangkan keduanya," tulis salah satu akun.
"Perilakunya memang tidak jauh berbeda antara melayani dan dilayani. Hanya saja, pelacur yang melayani lelaki hidung belang tidak memiliki komitmen apa-apa, begitupun dengan lelaki tersebut. Membeli sate akan berbeda dengan memelihara kambing," akun lain yang sepertinya juga perempuan, ikut menimpal dengan komentar senada.
Dan masih banyak komentar sejenis. Hanya segelintir komentar yang berseberangan, termasuk komentar saya.
ADVERTISEMENT
Saya benar-benar terheran-heran. Tak cukup sekali saya membaca masing-masing komentar. Berulang kali saya membacanya untuk benar-benar memahami.
Komentar-komentar itu menimbulkan kesan yang sama yaitu pemahaman komentator terhadap hubungan pernikahan. Sebagian besar menganggap bahwa istri wajib 'melayani' suami, sementara uang belanja diibaratkan sebagai bayaran atas pelayanan itu. Sungguh pemahaman yang halahembuh, menurut saya.
Saya kembali mengunggah komentar berisi keheranan saya terhadap pemikiran-pemikiran para komentator yang kebanyakan adalah perempuan. Tak lama kemudian, ada seorang kawan membalas komentar saya. Ia menuturkan bahwa mindset semacam ini memang lumrah adanya. Ia juga menyertakan pendapat tambahan yang mengungkap bahwa sejatinya patriarki terus saja terjadi karena mendapat dukungan dari para perempuan itu sendiri. Mereka menuntut nafkah dari suami, merasa seolah-olah memperjuangkan hak, tapi masih dengan membawa mindset patriarkis yang cenderung mirip dengan pemikiran pekerja seks komersial. Karenanya, tuntutan-tuntutan itu alih-alih membuat perempuan dihargai, malah semakin menghinakan kaum hawa.
ADVERTISEMENT
Sejenak, saya kembali teringat beberapa kejadian di sekitar. Kira-kira setengah tahun lalu, seorang kawan menghubungi saya. Ia menangis dan mencurahkan kesedihannya karena menemukan bahwa sang suami telah menikah lagi. Kami mengobrol panjang lebar yang akhirnya mengungkap sebuah fakta mengejutkan. Teman saya itu menuturkan bahwa selama hampir tiga bulan, ia tak mau berhubungan badan sama sekali dengan sang suami. Itu terjadi sebelum sang suami menikah lagi.
"Suamiku lagi sepi job. Akhirnya, aku harus menggantikan dia menyokong keluarga. Jadi, kalau aku nggak mau kumpul, wajar saja, kan?" tuturnya kala itu.
Tidak hanya itu, ada lagi kejadian lain yang semakin menegaskan bahwa mayoritas perempuan menganggap pernikahan itu tak ubahnya sebuah transaksi jual beli halal nan terhormat.
ADVERTISEMENT
Seorang tetangga yang telah menjanda beberapa tahun, hendak dilamar oleh seorang duda. Lamaran yang akhirnya berujung pada kegagalan. Usut punya usut, ternyata permintaan si janda dianggap sangat keterlaluan. Ia meminta dibelikan satu unit mobil baru sebagai syarat pernikahan. Sontak saja, menimbulkan pro dan kontra setelahnya. Maklum saja, kami hidup di kampung, di mana mobil baru masih termasuk barang wah—meski sudah tak mewah-mewah amat.
"Wajar, dong, aku meminta kejelasan di awal. Paling tidak, pelayananku jelas terbayar di muka," ujar si janda yang ternyata diamini oleh janda-janda lain—bahkan yang bukan janda juga banyak setuju.
"Yang benar saja. Dia pikir, dia itu gadis remaja yang masih kenceng semua onderdilnya? Dia janda yang sudah STW. Kok, jual mahal," ujar si duda tak mau kalah.
ADVERTISEMENT
Dari sebagian kecil kejadian—karena sebenarnya masih banyak kejadian-kejadian lain yang tidak saya sebutkan—bisa kita simpulkan bahwa hubungan pernikahan saat ini memang terkesan seperti jual beli. Ternyata, ini merupakan buah dari doktrin patriarki yang telah mengakar selama ribuan tahun.
Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan lelaki sebagai pemegang otoritas utama. Sementara mindset jual beli di mana istri menjual dan suami membeli, merupakan salah satu refleksi dari patriarkis. Pembeli memiliki otoritas lebih tinggi daripada penjual. Karenanya, pembeli wajib dilayani. Padahal sejatinya, hubungan pernikahan itu merupakan sebuah hubungan setara. Suami dan istri memiliki peran masing-masing yang saling mendukung.
Nah, dari berbagai contoh kasus di atas, bisa kita lihat, sepertinya sistem patriarki akan sangat sulit dihapus, bahkan bisa bertransformasi menjadi sebuah bentuk patriarkis modern tingkat lanjut. Yaitu, patriarkis berkedok feminis gagal paham.
ADVERTISEMENT
Karena, jelas tergambar bahwa para perempuan tetap mendukung hal ini. Alih-alih memperjuangkan diri dan menyetarakan kedudukan secara sistem sosial dengan lelaki, mindset jual beli dalam rumah tangga ini malah membuat citra dan kesan istri menjadi sangat murahan. Bahkan, bisa-bisa semakin menghinakan perempuan itu sendiri.
Ternyata, penganut paham jenis ini tak sedikit dengan gerakan yang semakin masif. Minggu lalu, saya menemukan konten video pendek yang menggambarkan bagaimana cara agar istri yang tengah merajuk, bisa sabar dan kembali lengket pada suami. Tak perlu dijelaskan panjang lebar lagi, tentunya dengan diberi uang yang banyak. Parahnya lagi, konten semacam ini tak hanya satu atau dua, tapi sangat banyak dan diunggah serta dibuat oleh orang yang berbeda-beda, yang sebagian besar adalah perempuan.
ADVERTISEMENT
Saya menyuarakan hal ini bukan dengan maksud agar perempuan diam saja jika menyangkut urusan uang. Tidak, sama sekali tidak. Tapi, maksud saya di sini adalah ingin menegaskan kembali hakikat uang belanja. Uang belanja adalah hak seluruh anggota keluarga, di mana memang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Apabila uang belanja dianggap sebagai bayaran bagi pelayanan istri, itu artinya istrilah yang menanggung hajat hidup seluruh anggota keluarga seorang diri. Lalu, di mana itu makna rumah tangga sejati?
Tak hanya masalah uang belanja saja, pun perihal sabarnya istri ada pada banyaknya uang yang diberikan suami. Jika kita mau lebih dalam menelaah hal ini, kita akan mendapat kesan seolah-olah istri adalah manusia yang bisa dibeli dan mudah dikendalikan hanya dengan uang. Bukankah hal itu sangat menghina? Menjadikan istri layaknya objek dagangan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, yang mau berpikir jernih hanya segelintir orang saja. Karena, mayoritas perempuan memang masih menganut paham jenis ini.
Dan karenanya, saya memberanikan diri menuliskan ini. Berharap satu suara saya akan diperhatikan beberapa orang yang mungkin saja nanti akan menimbulkan efek lebih lanjut, efek domino yang akhirnya menyebar luas.