Utang Luar Negeri Menumpuk dan Bayang-bayang Bantuan IMF Menghantui Indonesia

Rosyih Hilmi Ahda
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
23 Juli 2021 10:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rosyih Hilmi Ahda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Dollar. Foto: Unsplash.com/Aidan Bartos
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dollar. Foto: Unsplash.com/Aidan Bartos
ADVERTISEMENT
Lebih dari satu tahun pandemi menginfeksi seluruh dunia banyak menyebabkan korban berjatuhan sehingga pembatasan sosial harus diterapkan demi memutus rantai penyebaran virus ini. Dampak tersebut mengakibatkan perekonomian banyak negara mengalami penurunan, tak terkecuali Indonesia sendiri. Beban perekonomian negara pun bertambah untuk mengatasi dampak dari pandemi ini seperti pada sektor kesehatan, sosial, pendidikan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Berbagai strategi dilakukan oleh negara demi menjaga perekonomiannya agar tidak terjerembab ke dalam jurang resesi akibat pandemi ini. Salah satunya yang dilakukan oleh Indonesia dengan melalui utang luar negeri. Mengutip dari CNNIndonesia utang pemerintah Indonesia akhir Mei 2021 kemarin mencapai sekitar Rp. 6.418,15 triliun. Utang tersebut dapat dikatakan naik sekitar Rp. 1.159,58 triliun yang di mana pada bulan Mei tahun lalu hanya sejumlah Rp. 5.258,57 triliun.
Melihat kondisi tersebut, Indonesia saat ini dikhawatirkan terancam tidak bisa membayar utang tersebut tepat waktu. Kemudian jika Indonesia tidak bisa melunasi, maka harus meminta bantuan dana pinjaman kepada IMF. Menurut Bisnis Tempo hal ini dikarenakan Indonesia telah melampaui rasio utang yakni sebesar 39,39%, padahal IMF telah menetapkan batas aman utang sebesar 25-30%.
ADVERTISEMENT
Benar memang meminta bantuan pinjaman kepada IMF adalah hak bagi setiap anggotanya. Namun perlu diketahui, bantuan dana tersebut bisa saja menjadi boomerang bagi Indonesia. Pasalnya ketika IMF memberi bantuan kepada negara anggotanya tersebut disertai dengan berbagai syarat yang menekan dan di dalamnya terdapat kepentingan dari IMF. Kepentingan tersebut biasanya seperti intervensi IMF kepada suatu kebijakan pada negara yang dibantunya. Banyak juga anggapan bahwa IMF merupakan bentuk imperialisme cara baru karena dalam tubuh IMF dikuasai negara besar yang akan mengeksploitasi negara berkembang dalam hal ekonomi maupun politik melalui intervensi kebijakan.
Jika berkaca pada era Orde Baru, seharusnya Indonesia tidak jatuh ke lubang yang sama yakni menyepakati bantuan IMF. Pada waktu itu Indonesia menetapkan bergabung kembali dengan IMF pada 1967, yang sebelumnya tahun 1965 Indonesia menyatakan keluar. Hal tersebut lantas membuat IMF pada 1968 langsung memberikan pinjaman sekitar 51,75 juta dolar AS dan selanjutnya pada gelombang berikutnya memberikan sekitar 35,75 dolar AS. Indonesia menerima bantuan pinjaman tersebut selama 6 tahun dari 1967-1974 dalam bentuk stand-by arrangement.
ADVERTISEMENT
Namun di balik kedermawanan dalam memberikan pinjaman tersebut, IMF memiliki segudang persyaratan yang mengikat. Alhasil syarat tersebut memiliki pengaruh terhadap kebijakan di Indonesia. Walaupun hal tersebut sudah sebagai salah satu tugas pokok IMF yakni memberikan bantuan teknis dalam membantu kebijakan fiskal maupun moneter.
Pertama, pengaruhnya dalam kebijakan ekonomi adalah IMF menekan Indonesia untuk melakukan privatisasi BUMN. BUMN juga berpengaruh pada kepentingan fiskal yakni bertujuan dalam meningkatkan sumber pada APBN. Jika BUMN mengalami privatisasi maka berpengaruh terhadap pengurangan dana APBN dalam sektor pendidikan, kesehatan, maupun pensiunan yang di mana hal tersebut menyangkut kesejahteraan masyarakat.
Kedua, IMF juga mempengaruhi dalam kebijakan politik Indonesia. Secara tidak langsung pengaruh dari IMF mendorong Indonesia untuk menciptakan UU Penanaman Modal asing tahun 1967 yang bertujuan agar sepak terjang investasi asing tidak terganjal regulasi di Indonesia sebelumnya. Sehingga hal tersebut hanya menguntungkan investor untuk mengeruk sumber daya baik alam maupun manusia dengan harga yang murah.
ADVERTISEMENT
UU tersebut dianggap hanya menguntungkan investor dan merugikan negara. Hal ini dikarenakan terdapat sistem konsesi, pajak relatif ringan, dan sistem bagi hasil yang tidak adil. Kemudian masalah juga muncul pada sektor lingkungan, hadirnya Hak Pengusahaan Hutan menyebabkan kerusakan lingkungan maupun tatanan sosial.
Adanya bantuan pinjaman dari IMF tersebut mampu membuat Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang perekonomiannya meningkat, persentase kemiskinan menurun dan berhasil mengatasi masalah inflasi. Pada 1970 sampai pertengahan 1997 Indonesia memiliki pertumbuhan PDB riil dalam rata-rata 7% dan dalam hal tingkat inflasi dapat terkendali, serta persentase tingkat kemiskinan juga menurun dari 60% menjadi 11%. Kemudian banyak yang beranggapan bahwa Indonesia bisa menghadapi krisis moneter yang sedang mengancam kawasan Asia pada 1997. Namun anggapan tersebut sirna setelah beberapa mata uang negara Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia mulai turun.
ADVERTISEMENT
Sehingga mau tidak mau Soeharto tepatnya pada Oktober 1997 memutuskan menerima bantuan dari IMF lagi sebanyak 23 miliar dolar AS. Banyak yang berharap kepada bantuan pinjaman tersebut dapat mengatasi krisis yang terjadi. Pada faktanya, bantuan IMF tersebut malah menjadi masalah baru yang memperburuk krisis, kemudian juga dibarengi intervensi IMF yang mempengaruhi kebijakan Indonesia. Misalnya seperti menekankan kebijakan tentang penertiban perbankan maupun infrastruktur finansial dan perbaikan sektor riil.
Memang langkah baik ketika mampu melakukan likuidasi terhadap bank-bank bermasalah dan juga diharapkan dapat menertibkan sektor riil yakni seperti menghilangkan berbagai hak istimewa yang sebelumnya hanya dimiliki secuil pelaku ekonomi. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, menurut Ann Pettifor seorang ekonom Inggris menyatakan bahwa IMF telah mengaku salah menerapkan kebijakan likuiditas terhadap 16 bank bermasalah yang menyebabkan utang meningkat sekitar 80 miliar dolar. Hal tersebut dikarenakan lunturnya kepercayaan investor dan para nasabah sehingga banyak yang menarik dananya.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini dikatakan bahwa negara berkembang memang tak lepas dari rantai utang dan sudah menjadi ketergantungan. Ibaratnya memiliki dua sisi mata koin, utang luar negeri bermanfaat dalam pembangunan negeri untuk kesejahteraan rakyat, namun juga dapat merugikan karena dikhawatirkan negara hanya fokus pada pembayaran utang karena bunga semakin menumpuk dan kesejahteraan rakyat dikesampingkan. Kemudian juga diperburuk dengan jebakan utang luar negeri IMF yang terus mengucurkan pinjaman kepada negara berkembang. Sebagai contoh Indonesia zaman Orde Baru yang ketergantungan terhadap utang luar negeri demi pembangunan. Akibatnya utang tersebut terus bertambah, pada 1966-1997 yakni sebesar lebih dari 100 miliar dolar AS, sehingga menyebabkan defisit karena untuk bayar bunga utang tersebut.
Perekonomian Indonesia yang semakin terpuruk, utang luar negeri tambah menumpuk, ditambah lagi penanganan pandemi yang buruk dikhawatirkan akan terjerembab dalam jurang yang sama yakni menerima bantuan dari IMF. Mungkin banyak yang kecewa terhadap kebijakan Indonesia yang mendahulukan perekonomian daripada penanganan pandemi. Kemudian juga ketidakstabilan ekonomi tersebut dikhawatirkan akan merambah pada ketidakstabilan politik seperti pada zaman orde baru, sehingga menambah masalah dalam negeri di masa pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Kami hanya bisa berharap agar pemerintah meninjau ulang kebijakan agar memprioritaskan kesehatan dahulu daripada ekonomi. Jika pandemi ini mampu diatasi maka aktivitas ekonomi kembali berjalan lagi dan dapat dipastikan perekonomian akan pulih kembali.