Nuklir sebagai Alternatif Solusi Masalah 'Byar-Pet' Listrik Nasional

Roy Martin Hasudungan
A mid 30s man who is trying to share some stories.
Konten dari Pengguna
14 Agustus 2019 16:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roy Martin Hasudungan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peristiwa pemadaman listrik di sebagian wilayah Jawa, termasuk Ibu Kota DKI Jakarta, telah menimbulkan kembali diskusi terkait urgensi pemenuhan kebutuhan pasokan listrik yang merata dan dapat diandalkan di seluruh wilayah Indonesia, di antaranya melalui sumber energi yang rendah emisi karbon seperti nuklir.
Ilustrasi PLTN. Sumber: Johannes Plenio - Pixabay
Pada tanggal 4 Agustus 2019, sebagian penduduk di Pulau Jawa, khususnya di Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah, dikagetkan dengan pemadaman listrik. Pemadaman listrik di wilayah tersebut berlangsung cukup lama berkisar antara 8 hingga 12 jam lamanya. Bahkan hingga keesokan harinya, yakni tanggal 5 hingga 6 Agustus, pasokan listrik di beberapa lokasi masih belum dapat terselesaikan secara sempurna.
ADVERTISEMENT
Padamnya listrik dalam skala luas yang juga mengganggu layanan telekomunikasi dan internet, tidak menghalangi perbincangan dan ingar bingar diskusi terkait peristiwa dimaksud di dunia maya, utamanya melalui jalur sosial media.
Kejadian pemadaman listrik dalam skala luas tersebut juga secara langsung mendapatkan perhatian khusus dari Presiden RI, Joko Widodo, yang mendatangi kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) guna mendengarkan penjelasan secara langsung dari jajaran direksi perusahaan listrik pelat merah pada Senin, 5 Agustus 2019.
Ilustrasi converter listrik. Sumber: F. Muhammad - Pixabay
Penulis sendiri mengalami secara langsung peristiwa pemadaman listrik, di tengah tekanan deadline sebuah tugas di masa pendidikan kilat (diklat) di Kementerian Luar Negeri. Pada saat itu, penulis dan beberapa rekan lainnya juga dalam masa penyelesaian tugas policy paper yang jatuh tempo pada 7 Agustus 2019.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari adanya faktor teknis yang menimbulkan pemadaman listrik (tentunya di luar kapasitas penulis), peristiwa langka tersebut menimbulkan kembali pertanyaan mengenai perlunya Indonesia untuk mempertimbangkan secara matang dan konkret terkait pemanfaatan teknologi nuklir, sebagai salah satu alternatif sumber energi listrik nasional.
Tulisan berikut merupakan pandangan awam penulis yang sekiranya dapat menjadi wawasan kita bersama dalam melihat potensi nuklir sebagai sumber energi listrik.
Energi Nuklir Bersifat Dual Use
Dalam kodratnya, nuklir memang memiliki dua sisi yang sangat bertolak belakang. Di satu sisi, energi nuklir dapat menjadi senjata yang sangat mematikan, menyengsarakan secara luas, dan indiskriminatif sebagaimana kita lihat dalam peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, oleh senjata nuklir pada tahun 1945. Ini merupakan satu-satunya peristiwa di mana senjata tersebut diledakkan sebagai senjata dalam peperangan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pengembangan dan pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai dapat memberikan berbagai manfaat positif bagi kemanusiaan, di antaranya untuk kesehatan, ketahanan energi, budi daya pangan, hingga pengembangan infrastruktur.
Ilustrasi Sisa Ledakan Bom Nuklir di Hiroshima. Sumber: Alice Cheung - Pixabay
Untuk mencegah terjadinya perlombaan senjata nuklir, khususnya pada era perang dingin pasca-Perang Dunia II, terdapat kesepakatan multilateral yang melarang penyebaran senjata nuklir dan teknologinya melalui Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT).
Traktat yang legally binding diadopsi pada tahun 1968 dan berlaku pada tahun 1970. Indonesia sendiri telah meratifikasi NPT pada tahun 1978. Salah satu pilar NPT adalah adanya jaminan hak bagi negara pihak pada NPT untuk dapat mengembangkan dan memanfaatkan teknologi nuklir untuk tujuan damai.
Pengalaman Indonesia dalam Teknologi Energi Nuklir
ADVERTISEMENT
Indonesia telah memiliki sejarah panjang yang bersinggungan dengan pemanfaatan energi nuklir. Persinggunggan pertama Indonesia dengan energi nuklir berlangsung sejak masa Orde Lama, khususnya dengan pembentukan Lembaga Tenaga Atom (LTA) pada tahun 1958.
Beberapa artikel bahkan menyajikan tulisan adanya aspirasi Indonesia saat mengembangkan senjata nuklir di awal 1960-an. LTA kemudian bertransformasi sebagai Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada tahun 1964, sebagai satu-satunya sektor industri yang bergerak di bidang nuklir.
Dalam perkembangannya dan sesuai dengan standar yang ditetapkan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Pemerintah RI memisahkan tugas dan fungsi pemanfaatan energi nuklir (BATAN), dengan pengawasannya melalui pembentukan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
Sejak berdiri, Indonesia saat ini tercatat memiliki tiga reaktor nuklir untuk tujuan riset dengan kapasitas energi total mencapai lebih dari 32 Megawatt (MW) di tiga lokasi reaktor. Lokasi reaktor riset nuklir pertama Indonesia bernama Reaktor Triga Mark III, yang mulai beroperasi pada tahun 1965 dan berlokasi di Bandung, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dua reaktor riset nuklir lainnya kemudian mulai beroperasi di Yogyakarta pada tahun 1979, dan di Serpong, Banten, pada tahun 1987. Sebagai catatan, kapasitas energi total semua reaktor riset nuklir Indonesia merupakan yang terbesar di wilayah Asia Tenggara dengan reaktor riset Serpong mampu menghasilkan sekitar 30 MW.
Reaktor Riset Nuklir Indonesia. Sumber: BATAN
Dalam perkembangannya, banyak keberhasilan yang mampu dicatat Indonesia, melalui BATAN dan anak usahanya, khususnya dalam memanfaatkan teknologi nuklir bagi pembangunan di bidang kesehatan, pertanian, peternakan, lingkungan hidup, kepurbakalaan, bencana dan sumber daya alam lainnya.
Sebagai contoh, BATAN telah mampu mengembangkan bahan makanan, di antaranya rendang, yang mampu bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, berkat pemanfaatan teknologi radiasi dari nuklir. Bahan pangan semacam ini dapat dipergunakan untuk keperluan militer hingga bantuan pangan pascaterjadinya bencana alam.
ADVERTISEMENT
Kemampuan dalam memanfaatkan teknologi nuklir untuk tujuan damai dimaksud bahkan sudah diakui IAEA dengan menetapkan Indonesia sebagai collaboration center untuk dua bidang, yakni plant mutation breeding for climate smart agriculture (PMBCSA) dan research and development and capacity building in non-destructive diagnostics, testing and inspection technologies.
Indonesia juga menjadi salah satu mitra utama IAEA dalam memberikan pengembangan kapasitas dalam bidang teknologi nuklir untuk tujuan damai serta di bidang keamanan dan keselamatan nuklir untuk kawasan Asia, Pasifik, hingga Afrika.
Potensi Pengembangan Energi Nuklir untuk Pemenuhan Energi Nuklir
Upaya realisasi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia sebenarnya telah berlangsung secara intensif sejak tahun 1970-an hingga akhir tahun 1990-an. Saat itu, telah dilakukan berbagai kajian dan studi kelayakan dalam mendukung realisasi pembangunan PLTN di Indonesia. Bahkan hasil kajian tersebut telah menghasilkan usulan tiga lokasi penempatan PLTN yang nantinya akan dibangun. Namun kemudian, tindak lanjut dari kajian tersebut terhenti pascakrisis moneter pada tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Faktor utama yang berpotensi menjadi hambatan utama dalam realisasi pembangunan PLTN di Indonesia adalah adanya kekhawatiran terkait faktor keamanan dan keselamatan dari PLTN dimaksud, terlebih wilayah Indonesia yang rentan terhadap gempa. Masyarakat bahkan dapat dikatakan semakin pesimis pascainsiden bocornya reaktor PLTN di Fukushima, Jepang, pada tahun 2011 setelah terjadinya bencana tsunami di negara tersebut.
Ilustrasi Antisipasi Insiden Kebocoran PLTN. Sumber: Lenzius - Pixabay
Namun demikian, pascainsiden Fukushima, terdapat trend peningkatan pembangunan PLTN di berbagai negara dan bahkan dapat dinilai sebagai masa renaissance baru PLTN secara global, termasuk di Jepang sendiri. Sebagai informasi, saat ini terdapat sekitar 447 PLTN yang telah beroperasi di 30 negara. Selain itu, terdapat 60 rencana pembangunan PLTN baru di berbagai negara.
China bahkan menjadi negara terdepan dengan rencana pembangunan PLTN sebanyak 15 unit guna melengkapi 45 PLTN mereka yang saat ini telah beroperasi. Bangladesh bahkan akan segera memiliki PLTN pertama dari rencana dua PLTN dalam waktu dekat, sebagai bagian dari grand policy pembangunan jangka panjang mereka menuju negara maju.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan utama negara-negara dimaksud dalam membangun PLTN adalah tingkat polusi yang dihasilkan dan rasio biaya pembangunan selama masa pakai PLTN terhadap output listrik yang dihasilkan relatif sangat rendah,
Kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari belasan ribu kepulauan, tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam meningkatkan rasio elektrifikasi nasional yang merata dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia.
Terlebih ketersediaan listrik yang merata, konstan, dan reliable menjadi elemen dasar dalam pembangunan, utamanya dalam mendorong peningkatan kapasitas industri nasional. Pilihan bauran energi menjadi sangat krusial dalam menjawab tantangan tersebut.
Pemanfaatan energi nuklir sebagai sumber energi listrik menjadi salah satu alternatif yang perlu dijajaki dengan sangat serius. Hal ini juga secara jelas diatur dalam UU nomor 30 tahun 2007 tentang Energi dan dalam Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
ADVERTISEMENT
Kapasitas tenaga ahli yang berkecimpung dalam pengembangan teknologi nuklir nasional juga dapat dikatakan sudah sangat memadai dan dapat ditingkatkan seiring dengan rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di masa depan.
Dari segi sumber bahan baku, PLTN yang memanfaatkan uranium dan thorium juga sangat banyak ditemukan di wilayah Indonesia. BATAN telah memetakan deposit uranium dan thorium nasional kita masing-masing mencapai sekitar 74 ribu ton dan 130 ribu ton yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan lainnya.
Pemanfaatan bahan baku dimaksud untuk menjadikan energi listrik menjadi sangat efisien. Sebagai perbandingan hanya diperlukan 13 ton thorium untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1 GW dibandingkan 3,5 juta ton batu bara untuk menghasilkan kapasitas energi listrik yang sama.
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat bahwa energi listrik hasil dari batu bara tidak menghasilkan CO2, sehingga jauh lebih ramah lingkungan dibanding sumber energi fosil lainnya yang saat ini banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.
Jika kembali melihat momentum pemadaman listrik dalam skala luas beberapa waktu lalu, serta semakin tingginya concern warga kita terhadap pencemaran udara, tentunya semakin masuk akal jika realisasi pembangunan PLTN di Indonesia dapat segera diwujudkan.
Kemampuan para tenaga ahli Indonesia di bidang pemanfaatan energi nuklir juga telah cukup mumpuni untuk dapat mulai mewujudkan harapan dimaksud. Jika dapat direalisasikan, keberadaan PLTN sendiri dapat menjadi bagian implementasi regulasi terkait di Indonesia dan menopang agenda pembangunan nasional di masa depan.
ADVERTISEMENT