Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Implementasi Sertifikasi HAM Perikanan Belum Optimal
30 November 2020 13:28 WIB
Tulisan dari Roy Salinding tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada akhir tahun 2014 hingga pertengahan tahun 2015 masyarakat Indonesia bahkan dunia internasional dibuat tercengang dengan pemberitaan di media massa nasional tentang adanya praktek perbudakan awak kapal perikanan (anak buah kapal) di beberapa lokasi di wilayah Republik Indonesia. Dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pekerja di kapal perikanan tersebut umumnya bekerja di kapal asing atau eks asing yang berbendera Indonesia, namun operasionalnya masih dikendalikan oleh negara asal dan hasil tangkapannya dikirim ke negara asal kapal.
ADVERTISEMENT
Apa yang membuat publik dibuat tercengang dari kejadian tersebut? Ternyata dalam kegiatan penangkapan ikan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun tersebut, juga dibarengi dengan kegiatan penangkapan secara illegal, unreported and regulated (IUU) fishing dan juga praktek perbudakan, perdagangan orang, pekerja anak dibawah umur kepada ABK, baik yang berkewarganegaraan Indonesia, maupun asing (Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, China) yang umumnya bekerja di kapal asal Thailand.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa bisa terjadi praktek perbudakan di kapal perikanan? Saya sebagai pengawas perikanan berdasarkan informasi yang diperoleh dari ABK Kapal perikanan menjabarkan dalam 4 (empat) alasan terjadinya praktik perbudakan di kapal perikanan (kapal asing dan eks asing) yaitu :
Status Hukum ABK
Berdasarkan informaasi yang kami peroleh dari beberapa sumber (pengurus kapal, ABK Indonesia, dan juga tekong (nakhoda kapal Thailand), bahwa rata-rata ABK di kapal Thailand adalah orang-orang yang bermasalah secara hukum di negaranya. Mereka umumnya adalah imigran illegal dari negara-negara di sekitar Thailand seperti Laos, Myanmar dan Kamboja yang akhirnya dipekerjakan di kapal. Adapula warga negara Thailand yang status residivis, demi mengamankan diri sehingga bekera di kapal perikanan yang pengawasannya tidak seketat bekerja di darat. Dengan status hukum demikian, maka tidak ada pilihan bagi ABK selain tetap bertahan bekerja di kapal, meskipun bekerja dengan tidak mengindahkan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Lokasi dan Cara kerja
Bekerja di kapal perikanan berarti bekerja jauh dari pantauan petugas yang berwenang. Boleh dikata bahwa bekerja di kapal hanya Tuhan dan Nakhoda/fishing master yang tahu apa yang terjadi dengan awak kapal. Dengan karakteristik pekerja di laut yang keras sehingga ABK yang tidak bekerja sesuai dengan keinginan nakhoda/fishing master akan sangat berisiko mendapat perlakuan tindak kekerasan di laut.
Adat dan kebiasaan di negara asal
Thailand dikenal sebagai negara yang masih memegang teguh sistem kasta di negaranya. Pekerja di kapal umumnya adalah kasta terendah dalam tatanan masyarakat di Thailand. Oleh karena itu, istilah perbudakan (slavery) hanyalah pemberian dari masyarakat Internasional. Mereka sudah terbiasa bekerja dalam sistem kasta, dimana kasta nakhoda (tekong) lebih tinggi dari pekerja, sehingga perbudakan adalah hal yang biasa bagi ABK dari negara Thailand.
ADVERTISEMENT
Kekosongan peraturan
Istilah regulated fishing (kegiatan perikanan yang belum diatur) juga turut mempengaruhi terjadinya praktek perbudakan di kapal ikan. Belum diaturnya persyaratan dalam pemenuhan hal-hal ABK menjadi turut menjadi penyebab terjadinya praktek perbudakan di kapal perikanan.
Dengan maraknya praktek perbudakan di kapal perikanan, maka pada tanggal 8 Desember 2015 Menteri Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/PERMEN-KP/2015 Tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan. Peraturan ini dibuat dalam rangka mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkeadilan, memberikan kepastian hukum, memberikan manfaat dan sesuai dengan asas pembangunan berkelanjutan serta bebas dari pelanggaran Hak asai manusia.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/2015 ini, memuat hal-hal sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
a. menghormati HAM para pihak yang terkena dampak pelanggaran HAM terkait usaha perikanan;
b. menghormati hak untuk kondisi kerja yang adil dan layak;
c. menerapkan perjanjian kerja laut bagi pekerja dan perjanjian kerja laut bagi awak kapal
d. Menghindari terjadinya kerja paksa
e. melakukan uji tuntas HAM
f. Melakukan pemulihan HAM;
g. Memberikan pelatihan tentang Sistem HAM perikanan
Sanksi terhadap pengusaha perikanan yang tidak memiliki sertifikat HAM berupa:
a. Pembekuan izin usaha perikanan;
b. pencabutan izin usaha
c. rekomendasi pencabutan izin
Implementasi Sertifikasi HAM Perikanan
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 35/PERMEN-KP/2015 belum banyak diimplementasikan. Hal ini disebabkan oleh tidak dimasukkannya sertifikasi HAM Perikanan sebagai salah satu kelengkapan persyaratan dalam memperoleh Surat Laik Operasi (SLO) dari Pengawas Perikanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2017 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan dan Surat Perstujuan Berlayar (SPB) dari Syahbandar sebagaimana diatur dalam . Sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (1) bahwa pengawasan terhadap perlindungan dan penghormatan HAM pada usaha perikanan dilakukan oleh Pengawas Perikanan, Syahbandar di pelabuhan perikanan, dan/atau pejabat berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana pada bagian ketentuan penutup (pasal 14), bahwa seharusnya perizinan usaha perikanan, penerbitan surat laik operasi, penerbitan surat persetujuan berlayar, penerbitan Sertifikat kelayakan pengolahan, pelaksanaan tugas pengawasan dan pelaksanaan tugas kesyahbandaran di pelabuhan perikanan wajib menyesuaikan pengaturannya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak peraturan Menteri KP Nomor 35/2015 diundangkan.
ADVERTISEMENT
Kewenangan pengawas perikanan untuk kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian sertifikat dan kriteria hak asasi manusia pada usaha perikanan telah tercantum pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/PERMEN-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. Tentunya ini adalah tantangan baru bagi pengawas perikanan untuk memastikan bahwa usaha perikanan benar-benar bebas dari praktik perbudakan, perdagangan manusia, serta hak-hak masyarakat yang terdampak.