Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Penegakan Hukum TP Perikanan Anti TPPU Pasca Putusan MK
29 Juli 2021 21:34 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 4 Januari 2022 18:48 WIB
Tulisan dari Roy Salinding tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca dikabulkannya permohonan judicial review dari PPNS Perikanan dan PPNS KLHK terhadap muatan penjelasan Pasal 74 UU no 8 tahun 2010 oleh Mahkama Konstitusi (MK) menjadi tonggak sejarah baru dalam penegakan hukum di Indonesia karena baru pertama kalinya permohonan peninjauan dan atau pengujian kembali dilakukan oleh penyidik PNS dari instansi yang pernah menangani kasus tindak pidana yang diduga kuat mengarah pada tindak pidana lanjutan (predicat crime) yaitu tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan bisa diterima oleh MK. Sebelumnya, penjelasan pasal ini sudah beberapa kali dilakukan permohonan judicial review terhadap penjelasan pasal 74 oleh LSM maupun dari praktisi hukum, namun ditolak oleh hakim. Putusan ini pada intinya menyatakan bahwa PPNS yang menangani kejahatan tindak pidana asal dapat menangani tindak pidana pencucian uang yang ditimbulkan dari kejahatan asal.(https://news.detik.com/berita/d-5625246/mk-putuskan-seluruh-penyidik-pns-berwenang-usut-kasus-pencucian-uang)
ADVERTISEMENT
Secara umum Pencucian Uang (money laundry) didefenisikan sebagai tindakan pemindahan uang hasil kejahatan kedalam suatu bentuk lain sehingga kelihatan uang tersebut diperoleh dari hasil yang sah. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur dalam UU TPPU. Unsur-unsur pada TPPU sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3, 4 dan 5. Pasal 3 menyatakan bahwa "setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1)". Selanjutnya unsur dalam pasal 4 yaitu "setiap orang yang menyembunyikan atas asal usul, lokasi, peruntukan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1)". Unsur pidana Pasal 5 ayat (1) yaitu "setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dalam pasal 2 ayat (1).
ADVERTISEMENT
Putusan MK ini membawa angin segar dalam pengembangan suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana perikanan yang disidik oleh PPNS Perikanan karena sering kali pada suatu tindak pidana perikanan yang disidik oleh PPNS Perikanan yang diduga kuat bahwa juga terdapat praktik pencucian uang. Sebagaimana Pasal 74 UU Nomor 8 tahun 2010 menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Sekilas bahwa pasal tersebut juga memberikan kewenangan kepada PPNS Perikanan yang menangani tindak pidana yang bermuara adanya praktik pencucian uang. Namun, berdasarkan terdapat kendala sebagaimana penjelasan pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010, yang sudah menetapkan hanya ada 6 lembaga/instansi yang berwenang menyidik tindak pidana pencucian uang yaitu Kepolisian, Kejaksaan, KPK, BNN, Bea Cukai dan Penyidik Ditjen Pajak. Penjelasan pasal 74 ini menjadi batu sandungan bagi PPNS Perikanan dalam proses pengembangan kasus untuk menjerat para pelaku yang melakukan pencucian uang atau yang turut menikmati hasil pencucian uang dari tindak pidana perikanan. Dengan adanya putusan MK nomor 15/PUU-XIX/2021 tanggal 29 Juni 2021, memberi wewenang kepada seluruh PPNS kementerian/lembaga untuk melakukan pengembangan dan penyidikan TPPU. Salah satu amar putusan MK nomor 15/PUU-XIX/2021 adalah bahwa penjelasan pasal 74 UU Nomor 8 tahun 2010 bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Salah satu asas yang mendukung pemberian kewenangan penyidikan TPPU oleh PPNS Perikanan adalah asas peradilan cepat, sederhana dan murah. Anggaplah apabila PPNS Perikanan melakukan penyidikan terhadap suatu perkara misalnya penangkapan ikan tanpa izin yang dilakukan oleh kapal buatan luar negeri dan dalam proses penyidikan tersebut PPNS Perikanan menemukan bukti permulaan bahwa aktifitas penangkapan ikan oleh kapal buatan luar negeri tersebut terdapat kejahatan lanjutan yakni adanya praktik pencucian uang, baik dalam bentuk usaha yang lain maupun usaha perikanan. Karena sesuai dengan penjelasan pasal 74 UU No 8 tahun 2010, maka PPNS Perikanan tidak berwenang, sehingga perlu dilimpahkan kepada instansi yang memiliki kewenangan, misalnya penyidik Polri. Dan penyidik Polri yang menerima limpahan kasus akan memulai serangkaian tindakan penyelidikan dan juga serangkaian tindakan penyidikan untuk membuat terang suatu perkara, sehingga proses ini membutuhkan waktu yang lama dan juga biaya yang lebih mahal. Hal ini tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana tertuang dalam pasal 2 ayat (4) UU No 48/2009 tentang Kehakiman. Asas ini menghendaki agar pelaksanaan peradilan di Indonesia berpedoman pada asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan untuk memberi perlidungan dan kepastian hukum bagi pencari keadilan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana asas hukum Ne Bis In Idem (suatu perkara tidak dapat diadili untuk kedua kalinya), maka dapat disimpulkan bahwa putusan MK Nomor 15/PUU-XIX/2021 ini sudah putusan final dan mengikat serta dapat diaplikasikan tanpa menunggu perubahan UU Nomor 8 tahun 2010. Sehingga dalam proses pemberkasan dapat digabung dalam satu berkas ataupun berkas dipisah dengan sangkaan tindak pidana kejahatan asal dan dikumulatifkan dengan Pasal pidana dalam TPPU.
Dalam penyidikan tindak pidana perikanan yang disertai dengan praktik pencucian uang, ada beberapa hal yang masih menimbulkan tanda tanya yaitu :
sebagaimana dalam Pasal 71 dan 71A UU No 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan bahwa untuk mengadili perkara tindak pidana perikanan, dibentuk pengadilan perikanan yang berada dalam lingkungan pengadilan umum. Dalam mulai proses penyidikan, penuntutan dan peradilan tindak pidana perikanan menggunakan hukum acara khusus, dengan demikian bila menggunakan UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan TPPU yang menggunakan hukum acara umum dalam peradilan perikanan, maka dikuatirkan akan terjadi kebingungan pada penegak hukum dalam menerapkan hukum acaranya.
ADVERTISEMENT
2. Keterbatasan Pengadilan Perikanan
Pengadilan perikanan saat ini hanya ada di 10 lokasi yaitu Jakarta, Belawan, Bitung, Tual, Pontianak, Tanjung Pinang, Ranai, Merauke, Sorong dan Ambon. Dengan demikian lokasi yang berwenang mengadili tindak pidana perikanan masih sangat minim. Namun bukan berarti pengadilan umum tidak bisa mengadili tindak pidana perikanan. Sebagaimana ketentuan peralihan pada pasal 106 bahwa " Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang".
3. Waktu Penyidikan yang singkat
waktu penyidikan tindak pidana perikanan sebagaimana diatur dalam pasal 73B UUNo 45 tahun 2009 bahwa lama waktu penyidikan tindak pidana perikanan adalah 20 hari dan dapat meminta izin kepada penuntut umum untuk diperpanjang 10 hari, sehingga total waktu hanya 30 hari. Dalam membuka suatu dugaan TPPU, diperlukan waktu yang lebih lama karena terkait dengan dukungan data dari instansi lainnya.
ADVERTISEMENT
4. Keterbatasan Pengetahuan dan Teknologi
pengungkapan kasus TPPU bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan waktu, pengetahuan, teknologi dan informasi yang lebih canggih. oleh karena itu, dengan diberikannya kewenangan kepada PPNS Perikanan untuk melakukan penyidikan dugaan TPPU yang perkara asalnya adalah tindak perikanan, maka penyidik-penyidik perikanan perlu dibekali dengan pengetahuan yang mumpuni dan disertai dengan teknologi yang canggih. Berdasarkan informasi yang dipaparkan oleh penyidik KPK pada suatu pelatihan bahwa penggunaan UU 8/2010 di KPK masih sangat terbatas yakni hanya sebesar 4,52%, dengan total pengembalian sebesar Rp 1.982.388.854.454. Dengan persentase penerapan TPPU tersebut masih sangat minim, hal ini diakui oleh penyidik KPK bahwa minimnya penerapan TPPU adalah karena pengungkapan TPPU membutuhkan waktu, tenaga, pengetahuan dan teknologi yang lebih, sehingga tidak semua tindakan korupsi dikenai TPPU, meskipun unsur-unsur pidana pada UU TPPU dapat diterapkan pada hampir semua tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
5. Adanya kendala dalam memperoleh Lembar Hasil Analisa (LHA) dari PPTAK.
Selain kendala-kendala tersebut di atas, terdapat suatu permasalan lagi yakni sebagaimana pesan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada dasarnya mengedepankan restoratif justice bagi pelaku tindak pidana.Pemidanaan merupakan pilihan terakhir.