Konten dari Pengguna

KEGAGALAN UBER DI JERMAN: SEBUAH SEJARAH SINGKAT

14 Oktober 2018 21:50 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roy Sidharta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di awal bulan Juni 2018, berbagai media di Eropa memberitakan bahwa Uber telah masuk dalam bisnis jasa penyediaan sepeda elektrik di Berlin. Melalui perluasan bidang bisnis ini, Uber berharap dapat mengubah citra dari sekadar memberikan pelayanan jasa transportasi online mobil. “Ini berpotensi menjadi pengganti perjalanan dengan Uber sehingga kita bisa menjadi lebih besar dari sekadar mobil, kita bisa menjadi mobilitas di dalam kota, dan kami dapat membantu menyelesaikan masalah lalu lintas yang dihadapi di setiap,“ ungkap CEO Uber Dara Khosrowshahi sebagaimana dikutip dari Bloomberg.
ADVERTISEMENT
Tentu kabar ini cukup mengejutkan mengingat Uber selama ini dikenal sebagai jasa penyedia moda transportasi online mobil atau ojek motor di beberapa negara termasuk di Indonesia. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah keunikan lokasi peluncuran pertama produk terbaru Uber di Eropa yang justru dilakukan di Jerman, sebuah negara dimana Uber tidak memiliki pangsa pasar yang besar. Sebuah negara yang selama ini memberikan perlawanan terhadap cara-cara Uber berbisnis di Eropa.
Yang Penting Buka, Urusan Lainnya Nanti Saja
Untuk memahami hubungan Uber dengan Jerman, maka kita perlu kembali ke tahun 2013, ketika perusahaan ini untuk pertama kalinya masuk ke pasar Jerman di 5 kota yakni Berlin, Hamburg, München, Düsseldorf dan Frankfurt melalui merek UberPOP. Kehadiran Uber pada waktu itu cukup mendapatkan perhatian dari masyarakat karena menawarkan harga yang lebih murah ketimbang taksi dan tidak terdapat grundpreis (tarif dasar) yang cukup menyebalkan bagi sebagian orang.
ADVERTISEMENT
Namun, munculnya Uber kemudian menciptakan permasalahan, banyak pihak yang menuding bahwa Uber beroperasi di Jerman tanpa menghiraukan ketentuan hukum yang berlaku baik secara federal maupun lokal dan mematikan usaha taksi umum. Sehingga muncullah julukan “perompak” dan “pembunuh taxi”.
Uber masuk ke pasar Jerman dengan menggunakan gaya Amerika Serikat, dengan cara membuldoser berbagai peraturan, budaya dan norma Jerman. Ini merupakan strategi yang disengaja, CEO Uber pertama Travis Kalanick menerapkan teknik ekspansi bisnis melalui “principled confrontation” dimana sederhananya Uber akan memulai untuk beroperasi di kota atau wilayah tertentu hingga kemudian dilarang untuk beroperasi. Uber kemudian akan memobilisir dukungan dari publik terhadap pelayanan mereka dengan menggunakan lobi dan kampanye lokal untuk mengubah peraturan setempat.
ADVERTISEMENT
Sepertinya strategi itu tidak berhasil karena begitu cepatnya Uber berdiri, maka secepat itu pula Uber digugat secara hukum, asosiasi pengusaha taksi seperti Taxi Deutschland tidak membuang waktu untuk melayangkan gugatan, menuntut penangguhan operasi Uber POP.
Salah satu masalah yang menjadi sasaran gugatan adalah pelanggaran Uber terhadap Personenbeförderungsgesetz (Peraturan mengenai Transportasi Penumpang) yang di antaranya mengatur kewajiban untuk memiliki izin khusus bagi mereka yang mentransportasikan penumpang secara komersil.
Proses untuk mendapatkan izin khusus tersebut tidaklah mudah, calon pengemudi perlu memiliki berbagai dokumen resmi, lulus pemeriksaan keamanan dan tes kesehatan di antaranya tes mata dan stres. Selain itu setiap kendaraan perlu memiliki izin khusus, para dan pengemudi dan perusahaan jasa transportasi penumpang perlu memiliki asuransi yang tepat.
ADVERTISEMENT
Tidak butuh waku lama memang, berbagai pengadilan di tingkat lokal kemudian memenangkan gugatan terhadap Uber termasuk memberikan ancaman pengenaan denda apabila tidak mematuhi keputusan yang telah ditetapkan. Proses hukum terus bergulir dan kemudian di bulan Maret 2015, pengadilan melarang operasional Uber POP.
Salah satu strategi yang digunakan Uber selama proses peradilan adalah argumentasi bahwa gugatan yang dilayangkan salah, karena posisi Uber adalah sebagai platform teknologi dan bukan penyedia jasa transportasi. Argumentasi itu dipatahkan oleh pengadilan di Jerman dan dengan berjalannya waktu, kemudian diperkuat oleh keputusan European Court of Justice yang menetapkan Uber sebagai perusahaan layanan transportasi karena memiliki kekuasaan besar untuk mengatur cara para pengemudi menggunakan teknologinya.
Seiring dengan larangan pengoperasion Uber POP, maka di tahun 2015, Uber pun kemudian menarik diri dari Hamburg, Frankfurt dan Düsseldorf. Operasional di Berlin dan München lebih difokuskan pada jasa penyediaan layanan jasa taksi umum dan kemudian di tahun 2016, Uber meluncurkan produk Uber X dan Uber Black versi Jerman, layanan premium yang menggunakan jasa para perusahaan profesional dan berlisensi.
ADVERTISEMENT
Sudah jatuh tertimpa tangga, di tahun 2017, Uber kemudian dipusingkan dengan terkuaknya kasus upaya perusahaan ini untuk menutup-nutupi insiden pencurian data yang terjadi di tahun 2016, dimana sekitar 57 juta data para pengguna dicuri termasuk dari Jerman. Sebuah kasus yang kemudian membuat Uber didenda US $ 148 juta oleh pengadilan di Amerika Serikat.
Meskipun mengalami berbagai kegagalan, Uber tidak bisa pergi dari Jerman dan melanjutkan operasional karena memandang Jerman sebagai pasar penting. "Jerman adalah ekonomi penting sekarang di Eropa. Itu jelas, Jerman memiliki 80 juta orang, jadi itu adalah negara terbesar di Eropa. Apa yang telah kami lihat adalah ada minat di Uber di Jerman, kami telah melihatnya dari sisi klien, kami telah melihatnya dari sisi pengemudi.", jelas General Manager Uber Berlin Fabien Nestmann dalam sebuah wawacara dengan redherring.com.
ADVERTISEMENT
Awal yang Baru
Uber menyadari bahwa kebijakan ekspansi secara agresif mereka di Jerman telah membawa kegagalan. Kini di bawah kepimpinan Dara Khosrowshahi, Uber tengah berupaya untuk meninggalkan budaya “perompak” dan mereset hubungan dengan Jerman. “Kami memiliki permulaan yang buruk di Jerman,” katanya. “Kami di sini sekarang untuk memulai kembali.”
Upaya Uber kini untuk memperbaiki citra dan hubungan dengan Jerman dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang lebih lunak melalui jargon-jargon seperti paradigma baru yakni “pertumbuhan yang bertanggung jawab” dan peluncuran produk-produk ramah lingkungan seperti Uber GREEN dan sepeda elektrik.
Waktulah yang akan membuktikan berhasil tidaknya upaya-upaya Uber untuk memperbaiki hubungan dengan Jerman dan sepertinya masih diperlukan upaya ekstra khususnya dengan para pengemudi taksi yang berdemonstrasi sambil membentangkan tulisan “Uber Go Home” pada saat Khosrowshahi menghadiri peluncuran produk sepeda elektrik itu.
ADVERTISEMENT
“Ada sikap pemberontak di dalam setiap start up,” ujar Dana Khosrowshahi. “Tetapi Uber melakukannya kelewatan.”
(Foto: Pixabay)