Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Barang Rampasan Negara dan Barang Sitaan sebagai Uang Pengganti
27 Januari 2020 12:14 WIB
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasal 1 angka 16 KUHAP menyebutkan definisi penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
ADVERTISEMENT
Dari sebuah pengertian penyitaan tersebut, dapat kita pahami secara sederhana yang boleh melakukan penyitaan hanyalah “penyidik”, objek yang disita adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, serta tujuan penyitaan adalah kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Dalam sebuah perkara tindak pidana korupsi, khusus mengenai objek penyitaan yang memiliki nilai ekonomis baik itu dalam bentuk benda bergerak seperti mobil, motor, atau benda tidak bergerak (tanah/rumah) biasanya dirampas untuk negara akan tetapi tidak hanya dirampas untuk negara namun juga dapat digunakan sebagai pengganti membayar uang pengganti bagi terpidana. Timbul pertanyaan, apa itu barang rampasan negara dan apa barang sitaan untuk membayar uang pengganti?
Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 16 tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara menyebutkan pengertian barang rampasan untuk negara adalah benda sitaan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara. Dari pengertian barang rampasan di atas, hakikatnya jika barang rampasan itu merupakan hasil dari proses penyitaan sebelum adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang memutuskan status benda sitaan itu dirampas untuk negara.
ADVERTISEMENT
Prinsipnya dasar proses penyitaan barang rampasan negara itu dalam KUHAP sebagaimana definisi penyitaan pada pasal 1 angka 16 di atas, benda yang dapat disita hanyalah yang ada hubungannya dengan tindak pidana. Jika suatu benda tidak ada kaitannya atau keterlibatan dengan tindak pidana, tentunya benda tersebut tidak dapat dilakukan penyitaan karena bertentangan dengan hukum. Konsekuensinya orang yang yang bersangkutan dapat melakukan gugatan ganti kerugian di (sidang) praperadilan jika itu di tingkat penyidikan.
Pasal 39 ayat (1) KUHAP telah memberikan batasan benda-benda apa saja yang dapat disita yang dianggap punya hubungan dengan tindak pidana yaitu:
ADVERTISEMENT
Sehingga barang rampasan negara merupakan bagian dari status barang bukti dari sebuah putusan pengadilan sebagaimana dalam pasal 194 ayat (1) KUHAP yaitu dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Selain barang rampasan negara melalui pasal 194 ayat (1) KUHAP merupakan putusan mengenai status barang bukti, menurut penulis itu ada juga melalui mekanisme pidana tambahan yang diatur dalam pasal 10 KUHP dan di UU TPK No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 terdapat dalam pasal 18 ayat (1) huruf a yang menyebutkan pada pokoknya dapat dilakukan pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak, yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
ADVERTISEMENT
Baik barang rampasan negara sebagai bentuk pidana tambahan yang diatur dalam pasal 10 KUHP maupun yang diatur dalam pasal 18 ayat (1) huruf a UU TPK sama dengan barang rampasan yang melalui status barang bukti diuraikan di atas artinya tetap harus ada kaitan dengan tindak pidana/kejahatan sebagaimana dalam pasal 39 ayat (1) KUHAP. Sebagaimana pasal 39 ayat (5) UU TPK menyebutkan dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.
Selanjutnya bagaimana dengan benda sitaan untuk membayar uang pengganti? Sebelum menguraikan hal tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu jika uang pengganti merupakan bagian dari pidana tambahan. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU TPK menyebutkan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya penyitaan terhadap benda untuk membayar uang pengganti terdapat dalam pasal 18 ayat (2) UU TPK yang menyebutkan jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Jika kita mendeskripsikan pengertian pasal 18 ayat (2) UU TPK maka tidak sama dengan proses penyitaan sebagaimana definisi penyitaan pada KUHAP yang dilakukan oleh penyidik. Proses penyitaan benda untuk membayar uang pengganti dilakukan oleh jaksa bukan penyidik karena kepentingan atau tujuan proses penyitaan bukan lagi untuk pembuktian perkara melainkan untuk mencari harta benda kekayaan terdakwa untuk nantinya dilelang sebagai membayar uang pengganti.
ADVERTISEMENT
Menjadi timbul pertanyaan, apakah harta bendanya terpidana yang akan disita oleh jaksa harus berkaitan dengan tindak pidana? Oleh karena Pasal 18 ayat (2) tidak menjelaskan hal itu maka menurut penulis penyitaan terhadap harta bendanya terpidana tidak harus ada kaitan dengan tindak pidana, selain itu proses penyitaan ini bukan dalam rangka pembuktian melainkan untuk membayar “utang” uang pengganti terpidana sebagai pidana tambahan.