Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memaknai Kedudukan Leasing dalam UU Pemberantasan Korupsi
17 Maret 2020 12:14 WIB
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mekanisme Pasal 19 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini sederhananya merupakan sarana bagi pihak ketiga yang beritikad baik untuk mengajukan keberatan atas haknya yang dianggap ada pada barang-barang terdakwa yang dalam putusannya dirampas untuk negara.
ADVERTISEMENT
Contoh: Aset yang disita terdakwa berupa barang tidak bergerak seperti rumah—yang dirampas untuk negara—ternyata dalam rumah tersebut sudah dijual terdakwa sebelumnya ke orang lain namun belum sempat dibaliknamakan.
Dalam praktik persidangan, ada juga yang terungkap mengenai kepemilikan aset khususnya aset kendaraan yang masih dalam keadaan kredit (belum lunas) yang disita dari tersangka/terdakwa dan menjadi sebuah persoalan karena leasing merasa sebagai pihak ketiga yang punya hak terhadap aset yang sebagai jaminan fidusia dipakai oleh nasabah (tersangka/terdakwa) berdasarkan sebelumnya perjanjian dengan Terdakwa / nasabah tersebut.
Pertanyaan sederhananya, apakah aset kendaraan yang statusnya masih belum lunas kreditnya di leasing dan pihak leasing-nya termasuk sebagai pihak ketiga beritikad baik sebagaimana dalam ketentuan Pasal 19 UU Tipikor? Selanjutnya bagaimana solusi mengakomodir kepentingan pihak leasing yang sebagian punya hak atas aset kendaraan yang disita tersebut?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mengutip ketentuan Pasal 19 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, yang mengatur mengenai hal ini sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Dari ketentuan Pasal 19 tersebut secara limitatif sudah diatur oleh undang-undang mengenai tenggang waktu (kapan) pengajuan keberatan maupun pihak mana yang dapat mengajukan keberatan tersebut, sehingga apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka sudah sepatutnya permohonan keberatan harus ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.
Mengenai tenggang waktu (kapan) pengajuan keberatan yang dilakukan pemohon haruslah paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Perhitungan tenggang waktu (kapan) permohonan keberatan tersebut tidak boleh ditafsirkan lain dari tanggal dibacakannya putusan tersebut oleh hakim, seperti contoh menafsirkan sejak menerima salinan putusan atau baru mengetahui putusan dari pihak lain sehingga meminta dimulai perhitungan daluwarsanya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tentu ditolak oleh hakim karena putusan pengadilan itu diucapkan disidang terbuka untuk umum maka dianggap sudah diketahui masyarakat luas bukan hanya pihak-pihak berperkara.
Selanjutnya siapa saja yang dimaksud dalam pihak berperkara dalam pasal 19 UU Tipikor tersebut.
Jika dilihat dari isi ketentuan pasal tersebut pihak yang berperkara dengan penuntut umum bukan lagi terdakwa atau penasehat hukum terdakwa melainkan pihak ketiga sebagai pemohon keberatan yang mengajukan “surat keberatan” dan penuntut umum sebagai pihak termohon yang akan menjawab dengan membuat “keterangan penuntut umum”.
Yang perlu diperhatikan adalah yang menjadi objek keberatan adalah barang rampasan bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan.
ADVERTISEMENT
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 19 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, secara jelas dan limitatif dinyatakan permohonan keberatan hanya dapat diajukan oleh pihak ketiga “yang beritikad baik”.
Bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberi pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan “itikad baik”, untuk itu dapat berpedoman dari literatur KUHPerdata karya Prof R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibyo, cetakan tahun 1992 yang menyebutkan, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 531 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi ”Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung di dalamnya”.
ADVERTISEMENT
Bahwa apabila pengertian itikad baik dalam KUHPerdata tersebut di atas dihubungkan dengan penerapan Pasal 19 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, maka yang dimaksud ”Pihak Ketiga yang beritikad baik” adalah pihak ketiga yang tidak berkehendak atau tidak menyadari bahwa barang yang diperolehnya tersebut terkait dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa, atau dengan kata lain adalah pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya secara langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa.
Selanjutnya selain dari pemahaman pihak ketiga beritikad baik, pada pasal 19 ayat (1) tersebut menurut hemat penulis adalah yang paling penting adalah ”perampasan barang yang bukan punya terdakwa”, bagaimana dengan aset kendaraan yang posisinya di leasing sebagaimana menjadi topik permasalahan penulisan ini.
ADVERTISEMENT
Sedangkan kita mengetahui aset kendaraan yang disita dari leasing tersebut sebagian merupakan uang dari terdakwa, dan jika kita berbicara mengenai tindak pidana pencucian uang, hal itu bisa saja sebagai modus pencucian uang yang dilakukan terdakwa untuk mencampuradukkan hasil kejahatan ke jasa keuangan lain seakan-akan itu harta yang bersih/sah atau dikenal dengan istilah Co-Mingling.
Kesimpulan dari penulisan ini atas pertanyaan sederhana, apakah aset kendaraan yang statusnya masih belum lunas kreditnya di leasing dan pihak leasing-nya termasuk sebagai pihak ketiga beritikad baik sebagaimana dalam ketentuan Pasal 19 UU Tipikor? Jawabannya adalah TIDAK karena itu tidak termasuk dalam pengertian perampasan barang yang bukan punya terdakwa.
Lalu menjawab pertanyaan selanjutnya bagaimana solusi mengakomodir kepentingan pihak leasing yang sebagian punya hak atas aset kendaraan yang disita tersebut? Untuk menjawab hal tersebut tentunya kepentingan itu harus dilihat sudut “keadilan”.
ADVERTISEMENT
Sebuah contoh yang dapat dilakukan penuntut umum adalah menghadirkan pihak leasing sebagai saksi di persidangan dan meminta mereka menyampaikan berapa hak leasing yang masih ada dalam aset tersebut dan mereka mengajukan dalam bentuk pembagian hak yang proposional (persentase) dari meminta hak negara yang akan merampas dari hasil lelang terhadap aset tersebut.
Selanjutnya dari keterangan apa yang disampaikan pihak leasing tersebut, tentunya penuntut umum akan mengambil sikap demi “keadilan” untuk mempertimbangkan perhitungan pembagian hak yang proposional (persentase) dari hak negara yang akan merampas dari hasil lelang terhadap aset tersebut apalagi hakim dalam persidangan meminta agar hal itu dipertimbangkan.
Walaupun konsekuensinya pengembalian aset/recorvery terhadap aset tersebut untuk pemasukan negara tidak maksimal/tidak sesuai dengan diharapkan dikarenakan penyebab kemungkinan menurunnya nilai aset kendaraan tersebut dan demi sebuah kata “keadilan” untuk pihak lain dan juga, hal-hal tersebut bisa saja penuntut umum untuk mengambil sebuah sikap dalam sebuah analisis di tuntutannya yang tentunya akan diakomodir dalam putusan pengadilan.
ADVERTISEMENT