Memberikan Keyakinan Hakim dalam Perkara Pencucian Uang

Roy Riady
Praktisi Hukum
Konten dari Pengguna
9 Desember 2019 11:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam praktik persidangan khususnya mengenai pembelaan dari terdakwa/penasehat hukum (pledoi) sering diakhir pledoinya menuliskan asas In Dubio Pro Reo yaitu jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan. Hal ini juga sama seperti sebuah adigium hukum yang terkenal, “lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah dari pada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Baik terhadap asas In Dubio Pro Reo maupun adigium di atas pada prinsipnya sama yaitu hakim tidak boleh memutus perkara hanya berdasarkan keyakinan saja apalagi ragu-ragu, dan harus didukung alat-alat bukti yang membuktikan perbuatan terdakwa.
ADVERTISEMENT
Dalam prespektif penanganan perkara di KPK memiliki kareteristik sedikit berbeda dengan penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan hampir memiliki kesamaan dengan Kejaksaan khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang karena badan-badan di dalam system peradilan pidana sepeti badan penyelidikan/penyidikan dan badan penuntutan dalam lingkup satu atap. Penanganan perkara dalam satu atap yang mempunyai fungsi penyelidikan/penyidikan dan penuntutan setidaknya lebih mempercepat dalam proses penanganan perkara dan lebih utama dalam kerangka yuridis pembuktian. Pemahamanan sejak awal yang dibangun antara penyelidik, penyidik dan penuntut umum lebih mudah membangun konstruksi hukum untuk mendakwa terdakwa dan kerangka yuridis pembuktiannya.
Pasal 183 KUHAP menyebutkan,”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Penulis mencoba menguraikan sederhana strategi dalam membangun keyakinan hakim dengan menyusun konstruksi yuridis pembuktian terhadap perkara tindak pidana pencucian uang yang nexusnya (tindak pidana asal) adalah tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana makna penjelasan 183 KUHAP, keyakinan hakim timbul berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti. Adapaun alat bukti yang dimaksud dalam pidana sebagaimana dalam pasal 184 KUHAP yaitu 1. Keterangan saksi; 2. Surat; 3. Keterangan Ahli; 4. Petunjuk; 5. Keterangan Terdakwa. Ada perluasan alat bukti dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu dalam pasal 26 A UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang TPK mengenai perluasan alat bukti Petunjuk berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu dan dokumen yang semuanya dapat berasal dari bukti elektronik maupun sadapan.
Menurut M Yahya Harahap, Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Memaknai pendapat M Yahya Harahap tentang Pembuktian hal yang pokok tidak hanya bagaimana membuktikan suatu peristiwa dari perbuatan terdakwa yang terangkum dalam sebuah dakwaan tetapi lebih utama bagaimana sebuah bukti (alat bukti) itu didapatkan dengan cara-cara yang benar. Walaupun biasanya permasalahan keabsahan alat bukti untuk menetapkan tersangka merupakan ranah praperadilan sebagaimana Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 akan tetapi dalam pemeriksaan pokok perkara juga terkadang mengenai keabsahan alat bukti di permasalahkan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya. Dalam praktik, seorang lawyer yang piawai dalam membela kliennya tidak hanya membela atau mendampingi atau menjawab suatu peristiwa materiil yang dituduhkan kepada kliennya tetapi ia juga mempertanyakan secara formil bagaimana keabsahan alat bukti yang disajikan penuntut umum di persidangan tidak dilakukan dengan dengan cara yang benar atau cacat hukum maka dalam pledoinya meminta menyampingkan alat bukti yang dibawa oleh penuntut umum.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, aspek pembuktian sudah dimulai berdasarkan tahap penyelidikan perkara pidana. Walaupun dalam perkara pidana yang dimulai dari sebuah laporan pengaduan masyarakat, pihak yang menerima laporan dapat bertindak selaku penyelidik (jika memang ada SK Penyelidik) karena proses menerima pengaduan dari masyarakat merupakan bagian dari kewajiban/kewenangan seorang penyelidik sebagaimana dalam pasal 5 ayat (1) huruf a ke- 1 KUHAP. seseorang yang bertugas dalam menerima laporan pengaduan masyarakat tidak bisa melakukan tindakan-tindakan seperti penyelidik jika tidak memiliki SK sebagai penyelidik, apalagi dapat menyimpulkan suatu peristiwa konstruksi kerangka yuridis pembuktian. Tugas penerima pengaduan masyarakat sifatnya hanya menilai apakah pengaduan itu peritiwa pidana atau bukan dan tidak perlu menilai suatu pembuktian karena itu merupakan ranah yang dimulai dari tahap penyelidikan.
ADVERTISEMENT
Pasal 1 angka 5 menyebutkan sebuah definisi penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Disini ada perbedaan mengenai pemaknaan penyelidikan dalam hal “alat bukti atau bukti” karena kata bukti pada UUKPK sudah disebutkan di pasal 44 UUKPK No. 30 tahun 2002 terletak pada proses penyelidikan yaitu dalam mencari bukti permulaan yang cukup sekurang-kurangnya minimal 2 (dua) alat bukti untuk nantinya dinaikan ke tahap penyidikan. Sedangan dalam KUHAP mengenai bukti terletak pada definisi penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
ADVERTISEMENT
Pada prinsipnya proses penyelidikan dan penyidikan menjadi tolak ukur sebuah alat bukti diperoleh dan dikumpulkan dengan cara-cara yang benar dan diuji di persidangan alat-alat bukti tersebut berdasaran dengan dakwaan penuntut umum kepada terdakwa. Hakikat pidana mencari kebenaran materiil sehingga proses pembuktian memang lebih dominan di dalam ruang sidang. Proses pembuktian antara penuntut umum dan penasehat hukum yang cenderung/terkadang subyektif masing-masing menilai alat bukti tersebut dari kepentingan berbeda yaitu penuntut umum (mewakili negara) sedangkan penasehat hukum (mewakili terdakwa) namun penilaian hakim haruslah bersikap obyektif terhadap alat-alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum.
Pasal 66 KUHAP menyebutkan, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian sehingga beban pembuktian ada di penuntut umum. Walaupun dalam Tindak Pidana Pencucian Uang UU No. 8 tahun 2010 pada pasal 77 menyebutkan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta keakyaannya bukan merupakan hasil tindak pidana akan tetapi penuntut umum tetap mempunyai beban pembuktian atas dakwaannya. Oleh karena itu dalam memberikan keyakinan hakim terhadap perbuatan terdakwa dan aset-aset pencucian uangnya dengan penilaian suatu alat-alat bukti yang disajikan di persidangan maka peran penuntut umum dalam tahap pra-adjudikasi (sebelum proses persidangan) sangatlah menentukan dalam kerangka yuridis pembuktian.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara tindak pidana pencucian uang, terkadang sebuah keyakinan hakim dibangun dari sebuah pertanyaan sederhana bagi hakim yang bersifat mendasar dari sebuah penilaian apakah tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya seimbang dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan artinya secara sederhana nilai aset pencucian uang seimbang dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa. Untuk menjawab pertanyaan yang sederhana tersebut, penuntut umum tentunya harus memasukan fakta-fakta hukum tentang hasil kejahatan korupsi yang dilakukan terdakwa. Walaupun dalam dakwaan tindak pidana asalnya penutut umum mendakwa terdakwa dengan nilai tidak begitu besar akan tetapi penuntut umum dapat memasukan di dalam fakta hukum di tindak pidana pencucian uang tentang hasil-hasil tindak pidana korupsi lainnya yang di dapatkan oleh terdakwa, tentunya dengan minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup. Sebagai contoh, dalam kasus TPPU M Nazarudin yang didakwa tindak pidana asalnya korupsi hanya sebesar sekitar 40 miliar rupiah dari PT DGI dan Nindya Karya sedangkan dalam pencician uangnya senilai hampir 500 miliar rupiah, namun dalam dakwaan tindak pidana pencucian uang dimasukan hasil-hasil tindak pidana lainnya berdasarkan catatan Yulianis berupa keutungan tidak sah yang diterima perusahaan M Nazarudin sebesar hampir 500 miliar rupiah. sehingga antara hasil tindak pidana korupsi dengan aset pencucian uang memiliki nilai yang seimbang.
ADVERTISEMENT
Selain itu penuntut umum dapat memasukan fakta hukum mengenai keadaan-keadaan lain yang ada dalam diri terdakwa seperti profiling dari hal-hal yang terkait dengan pekerjaan terdakwa, seperti contoh jika terdakwa seorang pengusaha, penuntut umum dapat menguraikan suatu fakta hukum kalau terdakwa adalah pengendali dari perusahaan itu (benewficial owner) dan lebih bagus jika di temukan fakta hukum perusahaan tersebut merupakan salah satu wajib pajak (badan) yang tidak patuh, sehingga semua hal-hal itu dapat menambah keyakinan hakim kalau keuntungan-keuntungan dari perusahaan terdakwa itu patut di duga dari hasil yag tidak sah. Jika semua itu dapat dikonstruksikan dengan baik maka perbuatan pencucian uang (actus reus) yang dilakukan terdakwa akan mudah untuk dibuktikan sepanjang perbuatan pencucian uang itu masih masuk dalam lingkup dari sejak aset diperoleh berasal dari tindak pidana korupsi atau perbuatan menyamarkan terhadap aset tersebut sejak tindak pidana korupsi dilakukan yang didakwakan kepada terdakwa.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik yang tidak kalah penting juga adalah bagaimana meyakinkan hakim tentang alat bukti yang disajikan secara formil di atas. Tentunya terdakwa atau penasehat hukum akan mempermasalahkan alat bukti yang diperoleh tersebut. Untuk menjawab hal tersebut, disinilah guna penuntut umum hadir dalam pra-adjudikasi yaitu pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Penuntut umum harus menguji terlebih dahulu ditingkat pra-adjudikasi mengenai alat-alat bukti yang dibawah oleh penyelidik/penyidik sebelum dibawa ke persidangan, salah satu bentuk mengujiannya adalah dengan membuat matriks perbuatan terdakwa khususnya mengenai perbuatan pencucian uangnya. Tujuannya untuk menyusun sejak awal konstruksi hukum apa yang mau dibangun atau unsur-unsur apa yang mau dikenakan kepada terdakwa dari perbuatan pencucian uangnya dengan didukung alat buktinya. Dengan memahami sejak awal maka penuntut umum akan lebih dapat mematahkan argument penasehat hukum yang mempermasalahkan alat bukti di persidangan.
ADVERTISEMENT