Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nexus dalam Pencucian Uang
10 Mei 2020 8:24 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah literatur bahasa Inggris, kata “Nexus” dapat diartikan connect atau secara sederhana diartikan dalam bahasa Indonesia ialah menghubung. Kata Nexus ini juga sering kita dengar dari literature pembahasan mengenai tindak pidana pencucian uang. Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang mengalami beberapa kali perubahan dan pergantian yaitu UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 lalu diganti dengan UU No. 8 tahun 2010.
ADVERTISEMENT
Dalam TPPU dikenal dengan pelaku aktif sebagaimana dengan bunyi ketentuan pasal mengenai tindak pidananya yaitu;
Pasal 3 ayat (1) huruf a s.d huruf g UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 yang intinya “setiap orang dengan sengaja menempatkan, mentransfer…….. harta kekayaa yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut berasal dari hasil tindak pidana;
Pasal 3 UU No. 8 tahun 2010: Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
ADVERTISEMENT
Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010: Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1).
Selanjutnya yang disebut pelaku pasif dalam TPPU sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal, yakni;
Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 yang intinya “setiap orang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan…… harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana;
Pasal 5 UU No. 8 tahun 2010: Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1).
ADVERTISEMENT
Dari ketentuan pidana TPPU baik pelaku aktif maupun pasif dapat disimpulkan pemahaman tentang nexus adalah hubungan antara perbuatan TPPU seperti menempatkan, mentransfer, menerima penempatan dan lainnya terhadap Harta Kekayaan memiliki hubungan yaitu itu diketahui atau diduga hasil dari tindak pidana. Bahkan secara limitatif itu disebutkan di pasal 3, 4 dan 5 UU No. 8 tahun 2010, hasil tindak pidana itu sebagaimana dalam pasal 2 ayat (1) seperti contoh di antaranya hasil tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crimenya).
Dalam praktik beberapa perkara penanganan TPPU yang juga pernah ditangani oleh penulis, banyak topik perdebatan sesama penegak hukum dalam membahas nexus sehingga penulis mencoba menuangkan beberapa topik perdebatan itu menjadi beberapa permasalahan dalam penulisan ini yakni:
ADVERTISEMENT
Apakah dalam menyidik, menuntut perkara TPPU harus ada surat perintah penyidikannya terlebih dahulu (sprindik) terhadap tindak pidana asalnya (predicate crime)?
Bagaimana jika dalam pembuktian di persidangan predicate crime yang di dalam surat dakwaan penuntut umum ternyata berbeda dengan fakta yang terungkap di persidangan, contoh predicate crime dalam surat dakwan penuntut umum tindak pidana korupsi tetapi terbukti dalam persidangan faktanya adalah tindak pidana penipuan?
Apakah perbuatan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan terdakwa itu harus sebanding nilainya (sama) dengan hasil tindak pidana asalnya?
Bagaimana mengidentifikasi harta kekayaan milik terdakwa itu merupakan hasil dari tindak pidana?
Dari beberapa permasalahan tersebut di atas, penulis mencoba menjawab dari sisi ketentuan UU TPPU dan pengalaman penulis menangani perkara TPPU, yaitu:
ADVERTISEMENT
Secara limitatif ketentuan pidana UU TPPU jelas disebutkan ada unsur delik yang harus dibuktikan yaitu: “yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)”, sehingga dalam surat dakwaan penuntut umum menguraikan perbuatan terdakwa mengenai tindak pidana asalnya (predicate crime) yang sebagaimana ada dalam pasal 2 ayat (1), seperti contoh tindak pidana korupsi dan konsekuensinya harus dibuktikan. Sehinga jelas dari unsur delik “yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)” maka predicate crime TPPU haruslah ada.
Namun apakah dalam menangani perkara TPPU harus ada sprindik predicate crimenya, hal itu tergantung dari karateristik perbuatan apakah ia pelaku aktif atau pasif. Berdasarkan beberapa kasus TPPU yang melibatkan pelaku aktif seperti Akil Mochtar, Fuad Amin, Muhammad Nazarudin (penulis tangani), Tubagus Chaeri Wardana(Penulis tangani) dengan dakwaan kumulatif yaitu dakwaan Pertama Tindak Pidana Asal DAN TPPU sebagaimana dalam ketentuan pasal 75 UU TPPU No. 8 tahun 2010 membolehkan menggabungkan TPPU dan tindak pidana asalnya, sehingga untuk case seperti jelas sudah ada sprindik predicate crimenya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi untuk ketentuan pasal 74 UU TPPU No. 8 tahun 2010 membolehkan penanganan perkara TPPU dilakukan terlebih dahulu atau sendiri-sendiri (TPPU dan TP asal) sehingga dakwaannya adalah dakwaan tunggal, maka menurut hemat penulis dalam memajukan perkara TPPU terlebih dahulu tidak menjadi syarat ada sprindik namun predicate crimenya tetap harus ada karena secara limitatif sebagaimana penulis jelaskan pada ketentuan pidana TPPU yang harus dibuktikan. Penerapan TPPU penggunaan pasal 74 untuk dakwaan tunggal ini lebih memungkinkan dikenakan pada pelaku pasif.
Hubungan perbuatan TPPU dengan hasil kejahatan kaitan dengan sprindik predicate crimenya ini sering dianalogikan sama dengan ketentuan pasal 480 KUHP mengenai penadahan, karena ada ketentuan pasal 69 UUTPPU No. 8 tahun 2010 menyebutkan “untuk melakukan penyidikan, penuntutan persidangan tindak pidana pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Namun dalam praktik pembuktian menjadi sangat berbeda antara pasal 69 TPPU ini dengan pasal 480 KUHP yakni pasal 480 KUHP yang tidak secara limitatif menyebutkan nama kejahatan asalnya sedangkan delik pidana TPPU yang limitative menyebutkan nama kejahatan yang termaktub dalam pasal 2 ayat (1) sehingga tindak pidana asalnya bagian dari unsur delik yang harus dibuktikan dalam dakwaan.
ADVERTISEMENT
Penerapan unsur delik TPPU yaitu “yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)” ini memungkinkan dalam praktik pembuktian di persidangan predicate crime yang di dalam surat dakwaan penuntut umum ternyata berbeda dengan fakta yang terungkap di persidangan, contoh predicate crime dalam surat dakwaan penuntut umum tindak pidana korupsi tetapi terbukti dalam persidangan faktanya adalah tindak pidana penipuan walaupun itu harta kekayaan itu sama-sama diperoleh dari hasil tindak pidana. Tentu menjadi persoalan apakah Hakim membebaskan dakwaan TPPU atau Hakim dengan aliran progresif memutus terbukti TPPU walaupun fakta hukum predicate crimenya berbeda (tidak terbukti). Ada sebuah literature kasus TPPU yang Hakim memutus “ultra petita” artinya di luar apa yang diminta oleh penuntut umum yaitu kasus TPPU Susi Tur Andayani (penyuap Akil Mochtar), yang dalam dakwaan pertama dan dakwaan kedua JPU pasal 12 huruf c UU Tipikor karena dianggap bersama-sama dengan AKil Mochtar (Hakim) namun dalam putusan majelis hakim pasal yang terbukti adalah adalah 6 ayat 1 huruf a dan pasal 13 UU Tipikor. Terlepas dari putusan itu berbeda dengan dakwaan penuntut umum akan tetapi menurut hemat penulis itu memungkinkan karena kualifikasi deliknya sejenis sedangkan jika predicate crimenya berbeda yang dianggap tidak terbukti misal dari tipikor ke penipuan, tentunya terlalu progresif majelis hakim berani untuk memutuskan tindak pidana TPPU terbukti dengan perbedaan predicate crime seperti itu, terlebih dilihat dari sisi kewenangan absolut predicate crime yang tidak ada kewenangan bagi KPK atau kejaksaan menyidik tindak pidana penipuan.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik persidangan TPPU yang penulis alami, ada beberapa pertanyaan dari anggota majelis hakim dengan menghitung berapa nilai TPPU yang dilakukan oleh terdakwa dengan hasil tindak pidana predicate crimenya, sehingga ini menjadi sebuah kekhawatiran penuntut umum untuk pembuktian dakwaan TPPU nya sehingga ada perkembangan nexus dari sisi jumlah hasil kejahatan yang diperoleh. Seperti contoh kasus TPPU dengan terdakwa Bahasyim yang dakwaan tindak pidana asal (korupsi) sebesar 1 miliar rupiah dan TPPU nya senilai 64 miliar rupiah. Selanjutnya perkara TPPU lainnya seperti kasus TPPU terakhir yang penulis sidangkan khusus mengenai TPPU atas nama Muhammad Nazarudin (perkara sudah in-krahct), dalam surat dakwaan penuntut umum menyebutkan tindak pidana asalnya Tindak Pidana Korupsi mengenai suap dari PT DGI sebesar Rp.23.119.278.000,00 (dua puluh tiga miliar seratus sembilan belas juta dua ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah) dan dari PT Nindya Karya sebesar Rp.17.250.750.744,00 (tujuh belas miliar dua ratus lima puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus empat puluh empat rupiah) sehingga total penerimaan suap tindak pidana asal yang didakwakan deliknya secara utuh ialah Rp40.370.029.744,00 (empat puluh miliar tiga ratus tujuh puluh juta dua puluh sembilan ribu tujuh ratus empat puluh empat rupiah) namun dalam dakwaan TPPU nya penuntut umum juga memasukkan dalam satu uraian fakta hukum di dakwaan mengenai hasil tindak pidana dari suap perusahaan-perusahaan lain dan keuntungan tidak sah Muhamad Nazarudin melalui perusahaannya PT Permai grup sebesar Rp.580.390.268.443,36 (lima ratus delapan puluh miliar tiga ratus sembilan puluh juta dua ratus enam puluh delapan ribu empat ratus empat puluh tiga rupiah koma tiga puluh enam sen) sehingga hal ini sebanding nilainya dengan perbuatan pencucian uang atas nilai harta kekayaannya sekitar 500 miliar rupiah. Penerapan konsep dakwaan Muhamad Nazarudin ini sama dengan sebelumnya kasus TPPU yang dilakukan oleh Fuad Amin yakni dengan memasukkan satu uraian fakta hukum di dakwaan TPPU mengenai hasil tindak pidana yang diterima oleh terdakwa selain dengan dakwaan tindak pidana asal yang didakwakan secara utuh delik-deliknya.
ADVERTISEMENT
Sehingga penuntut umum berusaha menguraikan fakta hukum perbuatan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan tersangka/terdakwa itu sebanding nilainya (sama) dengan hasil tindak pidana asalnya hanyalah sebuah strategi pembuktian oleh penuntut umum dalam memberikan keyakinan kepada majelis hakim karena ada beberapa pertanyaan dari anggota majelis hakim dengan menghitung berapa nilai TPPU yang dilakukan oleh terdakwa dengan hasil tindak pidana predicate crimenya, belum lagi ada yang berpandangan harus secara “causalitas” (hubungan sebab akibat) antara nilai hasil kejahatan dan nilai harta kekayaan yang di TPPU. Sehingga dengan memasukkan satu uraian fakta hukum di dakwaan TPPU mengenai hasil tindak pidana yang diterima oleh terdakwa selain dengan dakwaan tindak pidana asal yang didakwakan secara utuh delik-deliknya untuk menambah keyakinan hakim walaupun pandangan para ahli TPPU tidak ada memberikan pendapat jika perbuatan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan terdakwa itu harus sebanding nilainya (sama) dengan hasil tindak pidana asalnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya bagaimana mengidentifikasi harta kekayaan milik terdakwa itu merupakan hasil dari tindak pidana, secara teori pembuktian harta kekayaan milik terdakwa ini dilakukan oleh terdakwa sehingga dikenal dengan asas pembuktian terbalik atau ada yang menyebutnya asas beban pembuktian terbalik sebagaimana terdapat pasal 77 UUTPPU, hal ini diperkuat dengan Putusan MK No. 77/PUU-XII/2014 mengenai permohonan uji materiil terhadap UU TPPU (M. AKil Mochtar) yang salah satu kaidah hukumnya mengenai penerapan pasal 77 yang menurut MK untuk kepastian hukum seharusnya tidak sulit bagi terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan dari hasil tindak pidana. Namun walaupun teorinya TPPU mengenal asas pembuktian terbalik namun menurut hemat penulis penuntut umum tetap harus membuktikan surat dakwaannya. Dalam praktik penanganan perkara TPPU, biasanya mengidentifikasi harta kekayaan milik terdakwa itu merupakan hasil dari tindak pidana dari “tempus perolehan aset” harus setelah tindak pidana asal dilakukan”. Contoh tindak pidana asal (korupsi) proyek tahun 2012 maka perolehan aset harus di tahun 2012 atau di atasnya (2013, 2014 dst). Pandangan ini terkadang secara umum disamaratakan oleh penegak hukum sehingga menurut penulis tidak begitu tepat karena unsur-unsur yang ada dalam delik TPPU itu memiliki arti berbeda seperti unsur menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayar…dst, sehingga arti berbeda itu tentunya perbuatannya berbeda, contoh bisa jadi perolehan aset tanah rumah dengan cara membelanjakan di tahun 2011 (sebelum tempus tindak pidana asal 2012) namun aset tersebut dialihkan terdakwa di tahun 2013 maka secara yuridis pembuktian unsur perbuatan TPPU dengan Mengalihkan Harta kekayaan ini sudah dapat dibuktikan, walaupun perolehan asetnya di tahun sebelum tindak pidana asal dilakukan.
ADVERTISEMENT
Selain itu untuk dapat menambah keyakinan hakim dengan mengidentifikasikan Harta kekayaan milik terdakwa itu merupakan hasil dari tindak pidana dengan cukup menilai ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan dari hasil tindak pidana
Kesimpulan dari penulisan ini, dalam praktik penanganan perkara TPPU memang banyak perkembangan dan permasalahan yang ditemukan dalam membahas nexus atau hubungan perbuatan TPPU terhadap Harta kekayaan dengan Tindak Pidana asal (predicate crime) dan juga mengenai ketentuan pasal 69 UU TPPU yang menyebutkan “untuk melakukan penyidikan, penuntutan persidangan tindak pidana pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya” menurut hemat penulis agak bertentangan dalam praktik pembuktian nexus terhadap delik tindak pidana yang ada dalam TPPU baik itu pelaku aktif maupun pasif yang secara limitatif dalam unsur delik menyebutkan ““yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)” yang dalam Pratik pembuatan surat dakwaan langsung menguraikan jenis tindak pidana asal dan itu harus dibuktikan di persidangan. Hal ini juga menimbulkan perdebatan dan permasalahan lainnya seperti yang telah penulis uraikan permasalahan dan pandangan penulis dari permasalahan tersebut.
ADVERTISEMENT