Penguatan Kewenangan Jaksa: Implementasi Perkembangan Hukum Pidana di Masyarakat

Roy Riady
Praktisi Hukum
Konten dari Pengguna
21 September 2020 14:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lawrence Meir Friedman yang merupakan seorang ahli sosiologi hukum dari Stanford University mengemukakan efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni substansi hukum (substance of the law), struktur hukum (struktur of law) dan budaya hukum (legal culture).
ADVERTISEMENT
Sederhana memahaminya Substansi hukum berisikan produk aturan hukum yang di buat untuk masyarakat, struktur hukum ialah organ-organ pelaksananya (polisi, hakim, jaksa, hakim dan advocate) serta budaya hukum adalah sikap manusia (masyarakat) terhadap aturan hukum dan organ penegak hukum.
Dalam perkembangan zaman, ilmu dan teknologi yang terus berkembang begitu juga sejalan dengan kejahatan yang semakin berkembang di masyarakat tentunya harus dibarengi suatu aturan hukum pidana yang mengatur itu baik dari sisi pidana materill maupun pidana formilnya.
Hal tersebut tidak terlepas dari substansi hukum mengenai aturan hukum yang dibuat untuk masyarakat yang tidak terlepas dari asas legalitas yang merupakan prinsip dasar dalam hukum pidana yang mana terdapat pada pasal 1 ayat (1) KUHP merupakan “perjanjian mengikat” antara penguasa dan rakyat” yang secara sederhana dapat diartikan rakyat hanya dapat dihukum sepanjang penguasa telah menerbitkan aturannya atau ketika penguasa telah membentuk aturan maka setiap orang/siapapun juga wajib dan patuh terhadap aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sehingga dalam prespektif bertujuan bernegara agar penguasa tidak sewenang-wenang dengan rakyatnya maka dibuatlah undang-undang secara tertulis (lex scripta) sebagai bentuk kepastian hukum bagi pejabat pemerintah untuk menegakan hukum seperti polisi, jaksa dan hakim. Selain itu dari sisi hukum acara yang mengatur para penegak hukum dalam penegakan hukum pidana yang dijadikan dasar penghukuman haruslah berdasarkan alat bukti yang diperoleh berdasarkan hukum atau aturan yang ada sebagaimana juga salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang termuat dalam UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu pasal 6 ayat (2) menyebutkan “tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuaatan yang telah didakwa kepadanya”
ADVERTISEMENT
Hukum pidana materiil yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak mengakomodir perkembangan kejahatan pidana sekarang karena usia KUHP itu sendiri sudah 100 tahun lebih yang merupakan peninggalan Belanda yang awalnya diberlakukan di Jawa dan Madura melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 lalu berlaku diseluruh Indonesia sejak Tahun 1958 dengan diterbitkan Undang-undang nomor 7 Tahun 1958. Oleh karena itu pemerintah dan DPR memutuskan untuk melakukan revisi KUHP peninggalan Belanda tersebut dengan manjadikan RUU KUHP termasuk diantara Program Legislasi Nasional (Proglenas) yang harus diselesaikan.
Menjadi persoalan ketika pemerintah/penguasa hanya mengakomodir substansi hukum hukum terkait pidana materiil saja seperti RUU KUHP tapi tidak mengupayakan hukum pidana formil seperti RUU KUHAP dimasukan dalam Proglenas. Sebagaimana dijelaskan di atas dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan pidana materiil tersebut perlu diatur hukum acara yang dapat mencangkup perkembangan kejahatan dan juga perlu penguatan tugas dan kewenangan penegak-penegak hukum dan penguatan lembaganya dalam melaskanakan tugas dan kewenangannya dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan persidangan sampai ke tahap eksekusi putusan pengadilan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh dalam penegakan hukum pidana yang diatur dalam KUHAP yaitu dalam menentukan apakah berkas perkara pidana tersebut dapat atau tidak dilakukan penuntutan, KUHAP hanya memberikan batasan waktu selama 7 (tujuh) hari sebagaimana pasal 138 ayat (1) menyebutkan penuntut umum hanya diberi waktu hanya 7 (tujuh) hari untuk wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan dalam berkas perkara tersebut sudah lengkap atau belum. KUHAP tidak mengatur bagaimana mekanisme proses Jaksa mengikuti perkembangan setelah penyidik mengirimkan/memberitahukan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Walaupun MK dalam putusannya No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 tetapi hanya mengatur dalam hal pemberian SPDP tidak hanya kepada penunutut umum tetapi juga kepada terlapor dan korban/pelapor saja. Selanjutnya KUHAP hanya mengatur setelah berkas perkara diserahkan ke penuntut umum (tahap 1) maka sebagaimana pasal 14 KUHAP huruf b disebutkan penuntut umum berwenang mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuarangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan yang dilakukan penyidik. Jika kita melihat kembali aturan hubungan kewenangan penyidik dan penuntut umum ditinjau farase “jaksa mengikuti perkembangan penyidikan” maka argo berjalan (waktu) tersebut dimulai sejak menerima berkas perakara 1 dan terhitung 7 hari berikutnya meneliti semua berkas perkara tersebut yang sangat menentukan apakah keberhasilan suatu perkara pidana tersebut disidangkan di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Menjadi persoalan sendiri dalam praktik yakni waktu yang diberikan KUHAP selama 7 (tujuh) hari untuk jaksa penuntut umum melalukan penelitan berkas perkara jika dalam proses perkembangan penyidikan tersebut, antara penyidik dan penuntut umum tidak saling aktif melakukan kordinasi penyelesai perkara sejak awal dimulainya penyidikan oleh penyidik. Apakah cukup dengan waktu 7 hari jaksa penuntut umum melakukan penelitian hasil berkas perkara jika perkara tersebut memiliki karaterisitik perkara yang diangap sulit sehingga dalam proses penyidikannya dapat tergambar dari berkas perkara yang tebal-tebal bahkan sampai setebal 1-2 meter. Penelitian yang dilakukan oleh JPU tentunya diharapkan tidak hanya melihat dari sisi materil perkara tersebut tetapi juga dari sisi formil terutama mengenai penyitaan barang bukti yang tentu akan menjadi persoalan lanjutan nantinya ketika di tahap eksekusi jika dalam proses penyitaan terjadi kesalahan. Tentu yang menjadi sulit adalah JPU nya sebagai eksekutor.
ADVERTISEMENT
Persoalan lain dalam proses penegakan hukum pidana ketika melihat dari sisi asas peradilan cepat sederhana dan biaya murah sebagaimana terdapat dalam UU No. 48 tahun 2009 kekuasaan Kehakiman. Tentunya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan ini tidak hanya dinilai dari proses persidangan ketika seorang ahli berhadapan “jam karet” di pengadilan tetapi juga dilihat dari dimulainya proses penyelidikan/penyidikan sebagai langkah awal melakukan penegakan hukum pidana. Dalam UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya menjelaskan yang dimaksud “sederhana” ialah penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif, sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan ialah biaya yang dapat dijangkau oleh masyarakat.
Sebagaimana yang di bahas di atas berkas perkara setinggi 1-2 meter tentu menjadi penilaian dari sebuah biaya dan waktu yang dikeluarkan dalam proses penyidikan untuk melihat efesien dan efektif kah penegakan hukum tersebut. Berbicara nilai dari cosh (biaya) dari sebuah penyidikan perkara dimulai dari pemanggilan/pemeriksaan saksi, pemanggilan/pemeriksaan ahli, proses penyitaan yang berada di lokasi jauh dari wilayah hukum penegak hukum tersebut dan Tindakan penyidik lainnya sampai berkas perkara tersebut di lak/dijilid lalu diserahkan ke penuntut umum untuk dilakukan penelitian maka biaya yang dikeluarkan dari proses penyidikan tersebut menjadi beban dalam APBN negara. Belum lagi dari persoalan waktu lamanya proses penyidikan terlebih sudah mempersangkakan seseorang, yang menurut KUHAP pasal 50 ayat (1), (2), (3) pada pokoknya tersangka atau terdakwa berhak segera mendapatkan pemeriksaan dan diadili di pengadilan. sehingga menurut hemat kami, biaya dan waktu penyidikan tersebut dapat diefektifkan ketika penyidik dan Jaksa Penunut Umum sudah aktif berkordinasi atau Jaksa Penuntut Umum terlibat sejak awal dalam proses penyidikan. Sebagai pengalaman, dalam praktik kami sering menemukan tidak semua saksi-saksi yang ada dalam berkas perkara di hadirkan dalam persidangan artinya apa peran seorang jaksa penuntut umum lah yang menentukan alat bukti apa yang efektif dalam pembuktian suatu perkara di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya dalam RUU KUHAP dapat menjawab persoalan diatas yaitu pada pasal 13 ayat (1) disebutkan “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang diduga keras merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan tentang dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak dimulainya penyidikan, dan ayat (2) Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik berkoordinasi, berkonsultasi, dan meminta petunjuk kepada penuntut umum agar kelengkapan berkas perkara dapat segera dipenuhi baik formil maupun materiel. sehingga menurut hemat kami selayaknya pemerintah/DPR memperioritaskan juga revisi KUHAP dalam Proglenas.
Namun dalam pencapaian keberhasilan penegakan hukum yang tujuan hukumnya untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan maka pemerintah/DPR tidak hanya perlu melakukan revisi KUHAP tetapi juga perlu menguatkan tugas dan kewenangan penegak hukumnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya salah satunya ialah menjadikan prioritas proglenas RUU Kejaksaan. Karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tidak diaturnya mengenai tugas dan keweanngan Jaksa Penuntut mengikuti perkembangan penyidikan setelah menerima SPDP tetapi intinya ialah posisi Jaksa yang memiliki fungsi sentral dalam penegakan hukum pidana karena Asas Dominus Litis yang meletakan Jaksa sebagai pengendali perkara pidana mengartikan tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain penuntut umum yang dapat atau tidaknya membawa suatu perkara ke pengadilan. Sedangkan Hakim tidak dapat meminta perkara pidana yang sudah terjadi untuk diserahkan kepadanya karena hakim dalam tugas dan kewenangannya mulai ada sejak berkas perkara, barang bukti dan terdakwa di limpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan
ADVERTISEMENT
Bentuk penguatan tugas dan kewenangan kejaksaan ini juga dapat menjawab persoalan lain dalam budaya hukum di masyarakat yang berharap dalam penegakan hukum tidak hanya berdasarkan pembalasan (hukuman) tetapi juga ada perbaikan baik itu dari sisi pelaku dan korban. Penulis mengutip kalimat Jaksa Agung (ST Burhanuddin) yang menyebutkan “ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP, Tidak ada dalam KUHAP, tapi ada dalam hati Nurani” maka implementasi dari itu terbit Peraturan Kejaksaan RI No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan Restoratif” dan hal ini juga sebagai respon fenomena hukum di masyarakat mengenai rasa keadilan terusik sehingga contoh seperti kasus nenek mencuri kayu tidak terulang lagi sampai di bawah ke pengadilan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya dalam penegakan hukum pidana, RUU Kejaksaan diharapkan akan menjawab semua persoalan-persoalan hukum yang ada. Ada penguatan dari UU Kejaksaan sekarang ini yaitu UU No. 16 tahun 2004, penguatan kewenangan dalam penegakan hukum pidana yaitu meletakan pengertian jaksa dalam melaksanakan Fungsi Penyelidikan bersama dengan fungsi penyidikan, fungsi penuntutan, Pelaksana Putusan dan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, melakukan berkas perkara tertentu dengan melakukan penyidikan lanjutan, melakukan mediasi penal sertab melakukan penelusuran, Pelacakan, perampasan dan pemulihan aset negara dan perolehan kejahatan. Penguatan-penguatan kewenangan dibidang pidana tersebut sebagai implementasi perkembangan hukum di masyarakat.