Problematika PK Perkara di KPK dari Perspektif Kepastian atau Keadilan

Roy Riady
Praktisi Hukum
Konten dari Pengguna
20 Desember 2019 7:55 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) khususnya penuntut umum banyak menerima tembusan dari pengadilan tingkat pertama mengenai jadwal sidang PK (peninjauan kembali) yang dimohonkan oleh terpidananya.
ADVERTISEMENT
Setidaknya tercatat banyak yang mengajukan PK bahkan ada perkara yang diajukan PK oleh terpidananya untuk kedua kalinya, diantara pengajuan permohonan PK tersebut ada yang ditolak, diterima dan ada yang sedang menunggu putusannya.
Ada suatu asas di mana pun di dunia peradilan, bahwa suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak bisa diubah lagi. Bilamana suatu perkara yang sudah pernah diputus dengan suatu putusan berkekuatan tetap, akan diajukan lagi ke muka pengadilan, maka tuntutan Jaksa (dalam suatu perkara pidana) dapat ditangkis dengan eksepsi asas “ne bis in idem” yang berarti tidak boleh terjadi dua kali pemutusan terhadap suatu perkara yang sama antara terdakwa yang sama pula.
Tetapi karena hakim juga merupakan manusia yang tidak luput dari kekhilafan/kesalahan, maka dalam perkara pidana yang sudah diputus dengan menyatakan terdakwa bersalah dan dijatuhi hukuman pidana, putusan mana sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, lalu ditemukan bukti-bukti yang kalau dulu diketahui oleh hakim memberikan kemungkinan besar tertuduh dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum maka untuk memenuhi keadilan, perkara tersebut dapat dibuka kembali melalui peninjauan kembali dalam perkara pidana disebut “herziening”.
ADVERTISEMENT
Pasal 263 KUHAP mengatur tentang PK yaitu:
Ayat 1: Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Ayat 2: Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
ADVERTISEMENT
Ayat 3: atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.
Dari pasal 263 KUHAP di atas, alasan untuk mengajukan PK ada 2 hal yaitu:
ADVERTISEMENT
Dari kedua alasan untuk mengadakan PK (herziening) yaitu conflict van rechtspraak dan novum menurut kami dari pengajuan permohonan perkara-perkara di KPK, novumlah yang lebih banyak dijadikan alasan untuk mengajukan PK.
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
Dalam kamus bahasa Indonesia, novum berarti alasan untuk naik banding dengan ditemukannya bukti baru. Novum memiliki arti dalam bidang ilmu hukum yaitu bukti yang sudah ada sebelum peristiwa itu diproses tapi belum pernah diajukan di persidangan.
Jika kita mengacu apa yang dimaksud dengan bukti adalah sebagaimana dalam pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, dan untuk perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 26 A UU No. 31 Tahun 1999 mengenai perluasan alat bukti petunjuk diantaranya dari bukti elektronik.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan pengajuan PK dengan dasar novum timbul menjadi beberapa problema dalam praktik yaitu pertama, batasan mana yang dapat dikatakan bukti baru? dan kedua, apakah penuntut umum dapat melakukan PK atas PK jika putusan PK mengakibatkan hukum lain terutama mengenai barang bukti berupa aset yang sudah dirampas/dieksekusi untuk negara?
Sebelum membahas permasalahan hukum (questions law) di atas, penulis menguraikan terlebih dahulu mengenai aturan hukum terutama mengenai legal standing pemohon PK.
Sebagaimana ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warsinya, walaupun dalam praktik (kasus Muchtar Pakpahan) jaksa pernah mengajukan PK namun Mahkamah Kostitusi akhirnya melarang penuntut umum untuk mengajukan PK sebagaimana dalam putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016. Sehingga sepertinya terjawab problematika kedua di atas, apakah jaksa bisa penuntut umum bisa mengajukan PK atas PK?
ADVERTISEMENT
Akan tetapi tidak sesederhana itu dalam hal mengkaji suatu persoalan. Keterbatasan penuntut umum sebagai legal standing pemohon PK tersebut menurut hemat penulis tidak menemukan substansi keadilan khsusus mengenai perkara tindak pidana korupsi. Keadilan bukan hanya perspektif terpidana tetapi keadilan juga diperjuangkan oleh penuntut umum sebagai pihak negara yang kedudukannya sebagai korban dalam tindak pidana korupsi karena korupsi selain merugikan kerugian keuangan negara juga sangat merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam praktik pengajuan PK yang dilakukan oleh terpidana dalam perkara tindak pidana korupsi di KPK yang menjadi dasar yang diajukan sebagai alasan PK berupa Novum.
Secara subjektif alasan novum ini tentunya menjadi pandangan yang diametral (bertentangan) antara terpidana melalui penasehat hukumnya dengan penuntut umum.
ADVERTISEMENT
Sehingga menurut penulis harus jelas ukuran batasan apa yang dimaksud dengan bukti baru dalam novum tersebut. Baik itu yang dihadirkan berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk alat bukti lainnya. Karena sejauh mana pengujian kekuatan bukti baru itu oleh Hakim PK dapat mengubah putusan itu menjadi putusan bebas atau lepas atau ketentuan pidana lebih ringan.
Dalam praktik yang diajukan PK dalam perkara di KPK ke Mahkamah Agung, sebagian besar PK dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan mengurangi straafmacht bagi terpidana (pemohon) bahkan dalam pengajuan PK pemohon terpidana terdapat putusan PK yang mengubah status mengenai barang bukti yang dirampas untuk negara diubah menjadi dikembalikan kepada terpidana.
Tentunya ini menjadi persoalan baru karena barang bukti (aset) yang dirampas untuk negara tersebut sudah dilelang dan disetorkan ke kas negara. Seyogyanya Mahkamah Agung melalui Hakim PK mempertimbangkan hal terkait dengan status aset tersebut, apakah ada relevansi dengan novum yang dihadirkan apalagi jika dalam praktik nya yang dianggap sebuah novum oleh terpidana hanyalah pengurangan-pengulangan pembahasan di dalam pledoi.
ADVERTISEMENT
Jika Hakim PK dalam putusannya mengurangi hukuman bagi terpidana, hal itu bisa dilihat penerapan-penerapan ketentuan-ketentuan pidana yang dapat meringankan seperti penerapan pasal yang terbukti dalam dakwaan penuntut umum menjadi berbeda yakni pasal yang ancaman lebih meringankan dan jika pasal penerapan sama dalam putusan PK dengan tuntutan penuntut umum maka tidak tepat hukuman pemindanaan dikurangi.
Terhadap pengajuan PK hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali sebagaimana dalam ketentuan pasal 66 ayat (1) UU tentang Mahkamah Agung, pasal 24 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 268 ayat (3) KUHAP, Putusan MK No. 108/PUU-XIV/2016, Putusan MK No. 16/PUU-VIII/2010 yang pada pokoknya menyebutkan PK lebih dari 1 (satu) kali mengakibatkan penyelesaian perkara semakin panjang/tidak selesai-selesai menimbulkan ketidakpastian hukum bertentangan dengan asas litis finiri opertet (bahwa setiap perkara harus ada akhirnya).
ADVERTISEMENT
Akan tetapi berbicara kepastian hukum memang terkadang berseberangan dengan keadilan, ibarat pisau bermata dua yang artinya terdapat dua persoalan tapi juga mendapatkan keuntungan dari dua persoalan itu.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Apakah penuntut umum KPK dapat mengajukan PK terhadap putusan PK yang dianggap tidak memiliki nilai novum yang diajukan oleh terpidana apalagi putusan PK tersebut mempunyai permasalahan hukum khususnya mengenai aset yang sudah terlanjur dieksekusi tersebut?
Terhadap permohonan PK diajukan lebih dari 1 (satu) kali, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 10 Tahun 2009 dan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 akan tetapi permohonan PK diajukan lebih dari 1 (satu) kali sifatnya terbatas yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan PK yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perkara perdata maupun perkara pidana.
ADVERTISEMENT
Terhadap ketentuan ini menurut penulis, penuntut umum dapat mengajukan PK terhadap adanya putusan yang saling bertentangan ini (conflict van rechtspraak) karena dampak terhadap suatu putusan tentunya tidak hanya berdampak bagi terpidana juga bagi penuntut umum sebagai pihak yang berperkara dalam pidana. Walaupun putusan MK melarang penuntut umum melakukan PK akan tetapi seyogyanya melalui SEMA Nomor 10 Tahun 2009 dan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 Mahkamah Agung mau menerima permohonan PK dari penuntut umum karena tentunya yang menjadi alasan bukan novum, lebih tepatnya didasarkan putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kehilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dalam pasal 263 ayat (2) huruf c. Selain itu dalam perkara pidana esensi dasar adalah mencari keadilan sebagaimana termaktub dalam pasal 1 mengenai UU Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Fenomena terpidana korupsi di KPK ramai-ramai mengajukan PK ke Mahkamah Agung semoga bukan untuk mencari discount pengurangan hukuman, hal ini ditanggapi oleh ICW fenomena tersebut dikarenakan Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun, menanggapi tanggapan ICW tersebut, Wallahu a’lam bish showab.