Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Problematika Proses Peradilan Pidana dalam Keadaan Pandemi
29 Maret 2020 11:12 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia sekarang berduka menghadapi virus Corona atau juga disebut dengan coronaviruses COVID-19 yang merupakan penyebab penyakit mulai dari flu biasa hingga penyakit lebih parah seperti sindrom pernapasan (MERS-CoV) dan Sindrom Pernapasan akut parah (SARS-CoV) yang dapat menyebabkan kematian.
ADVERTISEMENT
Hampir semua negara terjangkit penyakit ini, karena penyakit ini penularannya begitu cepat dan yang mengkhawatirkan virus ini dapat hidup di benda mati selama 9 (sembilan) jam sehingga metode penularannya begitu mudah dan cepat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memutuskan memperpanjang status keadaan tertentu darurat wabah bencana penyakit akibat virus Corona di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan BNPB Nomor 13.A Tahun 2020 yang ditandatangani oleh Kepala BNPB Doni Monardo pada tanggal 29 Februari 2020 yang pada intinya menetapkan perpanjangan status keadaan tertentu darurat selama 91 hari, yakni sampai dengan tanggal 29 Mei 2020.
Selain itu langkah-langkah edukasi pencegahan dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, kepolisian, dan unsur masyarakat sosial lainnya untuk mengingatkan dan menyarankan akan “stay at home” yakni bekerja, belajar bahkan beribadah di rumah dalam rangka mencegah wabah (pandemic) virus corona ini.
ADVERTISEMENT
Status keadaan darurat tertentu karena wabah penyakit (pandemi) Corona ini tentunya memiliki dampak bagi pelaksanaan proses peradilan. Tentunya juga “stay at home” tidak bisa dilakukan dalam pelaksanaan persidangan khusus perkara pidana karena dalam persidangan melibatkan beberapa pihak, yakni Hakim, Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan tentunya terdakwa dan para saksi.
Untuk pencegahan pandemi corona ini namun proses peradilan tetap harus berjalan, setidaknya ada 3 (tiga) lembaga yang terlibat dalam proses peradilan dengan cepat menyikapi hal ini yakni: Pertama, Kejaksaan Agung mengeluarkan surat yang ditandatangani oleh Jaksa Agung perihal Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di tengah Upaya Mencegah COVID-19, yang salah satu poinnya mengupayakan sidang pidana menggunakan video conference/live streaming. Dan dipertegas dengan dikeluarkan Intruksi Jaksa Agung Nomor 5 tahun 2010 Tentang Kebijakan Pelaksanaan Tugas dan Penananganan Perkara Selama Masa Pencegahan COVID-19 di Lingkungkan Kejaksaan RI.
ADVERTISEMENT
Kedua, Mahmakah Agung RI mengeluarkan surat yang ditandatangani oleh Dirjen Badan Peradilan Umum perihal Persidangan Perkara Pidana secara teleconference. Ketiga, Kementrian Hukum dan Ham mengeluarkan surat yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Ham perihal Pencegahan, Penanganan dan Pengendalian Penyebaran COVID-19 di lapas/rutan yang salah satu isinya mengenai sidang dapat dilaksanakan di rutan/lapas, terbuka untuk publik melalui media internet (live streaming) atau melaksanakan sidang melalui teleconference.
Selain dari ketiga lembaga tersebut, KPK juga melalui Plt Jubir, ALI Fikri, menyampaikan kalau KPK juga sudah akan melakukan sidang melalui media internet (live streaming) atau melaksanakan sidang melalui teleconference.
Langkah-langkah cepat yang diambil baik oleh Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Ham, dan KPK khususnya mengenai pelaksanaan proses peradilan sangatlah tepat akan tetapi bukan berarti dalam pelaksanaannya tidak timbul persoalan.
ADVERTISEMENT
Persoalan yang paling sederhana yang salah satu contoh saja misalkan saksi yang seharusnya dipanggil untuk dihadirkan tidak bisa hadir karena merasa takut untuk datang ke pengadilan atau tempat ditentukan ia bersaksi (rutan/kejaksaan/kpk) dikarenakan takut terkena penyakit Corona. Salah satu esensi pokok dalam pelaksanaan sidang melalui teleconference dengan kondisi pandemic corona ini apakah bisa disebut menyampingkan asas legalitas dalam hal hukum pidana? Sehingga proses pelaksanaannya diberikan “keluwesan” penegak hukum sebagaimana Mahkamah Agung mengajak untuk menerapkan asas Solus Populi Suprema Lex Esto yakni Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi.
Mengapa hal ini penting ketika kita berbicara asas legalitas dalam hukum pidana karena Indonesia memiliki sistem hukum eropa continental (civil law system) yang salah satu cirinya penggunaan aturannya tertulis dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Sehingga kalau dalam pidana penerapan asas legalitas ini merupakan dasar utama dalam penegakan hukum pidana. Dari beberapa literatur para ahli, maka makna asas legalitas ini, antara lain penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan oleh Undang-undang.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah situasi yang “eksepsional” seperti wabah penyakit (pandemic) Corona ini tentunya menjadi sebuah problematika penerapan asas legalitas tersebut. Hukum acara pidana yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang terdiri dari 286 Pasal tidak mengatur mengenai bagaimana proses peradilan pidana dalam situasi pandemi.
Menurut Yahya Harahap yang menulis buku tentang KUHAP, menyebutkan secara filosofis manusia itu bersifat ephemeral. Terbatas jangkauan pandangan dan pemikiran secara nalarnya. Akal dan nalar tidak dapat menembus kegelapan cakrawala masa depan yang terbentang menantang mereka. Bagaimanapun pintar manusia, tidak mungkin mencipta dan merumuskan suatu produk legislasi yang mampu meliput (mengkover) hal-hal konkreto di masa yang akan datang termasuk mengenai wabah penyakit Corona. Berdasar pandangan filosofi tersebut, pada saat KUHAP dibuat, banyak hal-hal konkreto yang timbul sekarang belum tertampung di dalamnya yang perlu di-“jembatani”.
ADVERTISEMENT
Menjembatani hal-hal yang tidak tertampung dalam KUHAP tersebut ini lah menjadi PR yang harus segera dijawab oleh Menteri Hukum dan HAM atau oleh Mahkamah Agung yang tidak hanya mengeluarkan surat edaran dalam melaksanakan atau menjalani fungsi-fungsi peradilan. Karena tentunya dalam pelaksanaan sidang melalui teleconference dengan situasi keadaan gawat darurat seperti halnya wabah global (pandemi) Corona ini akan ada norma hukum acara yang ditabrak seperti mengenai pengertian Keterangan Saksi pada pasal 185 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan, selanjutnya pasal 186 KUHAP menyebutkan keterangan Ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Mengenai frase “dinyatakan di sidang pengadilan” akan menjadi persoalan atau celah hukum nantinya ketika menafsirkan proses pemeriksaan saksi di kejaksaan/KPK/tempat lain (bukan ruang sidang pengadilan), bahkan lebih parah nya nanti akan menjadi celah buat upaya hukum sampai ke Peninjauan Kembali (PK) karena tidak ada aturan secara tegas menyebutkan/mengatur hal itu,
ADVERTISEMENT
Adapun hukum acara pidana yang mengatur teleconference sejauh ini hanyalah mengenai sidang peradilan anak. Yakni Undang-undang Nomor 11 tahun 2011 pasal 58 ayat (3) yang menyebutkan Dalam hal anak korban dan/atau anak saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan. Hakim dapat memerintahkan anak korban dan/atau anak saksi didengar keterangannya.
Di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh penyidik atau penuntut umum dan advocate atau pemberi bantuan hukum lainnya; atau
Melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual dengan didampingi oleh orang tua/wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya.
Akan tetapi penerapan sidang melalui teleconference pada sidang peradilan anak masih membuka ruang untuk hakim, jaksa, anak sebagai pelaku, penasehat hukum dan petugas bapas untuk bertemu dalam suatu ruang sidang yang mana tidak sesuai dengan social distancing sebagai protocol dalam pencegahan penyebaran virus COVID-19.
ADVERTISEMENT
Untuk menindaklanjuti agar tidak banyak persoalan ke depan nantinya dalam pelaksanaan proses peradilan dalam situasi keadaan tertentu wabah penyakit (pandemic) Corona ini kiranya Mahkamah Agung dapat mengeluarkan Perma (Peraturan Mahkamah Agung), atau Pemerintah dalam hal ini bapak Presiden berkenan mengeluarkan PERPU (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) atau segera revisi KUHAP disahkan dengan memasukan hukum acara pemeriksaan dalam hal penanganan perkara pidana dalam situasi keadaan tertentu, wabah penyakit Corona karena KUHAP tidak mengaturnya, sehingga untuk memperkuat dalam pelaksanaan asas legalitas dalam hukum pidana juga mengakomodir imbauan MA yang menerapkan Solus Populi Suprema Lex Esto, yakni Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi.