Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Kewenangan Penuntutan KPK
30 Desember 2019 9:27 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagian pihak mengkhawatirkan kewenangan penuntutan di KPK pasca terbitnya UU KPK No. 19 tahun 2019. Bahkan dianggap ujung tanduk penuntutan kasus korupsi yang dilakukan oleh jaksa pada KPK.
ADVERTISEMENT
UU KPK No. 19 tahun 2019 memang banyak mengubah aturan-aturan dari UU KPK sebelumnya yaitu UU No. 30 tahun 2002 baik itu mengenai status kepegawaian KPK yang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk kedudukan pimpinan KPK yang bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum.
Dalam pelaksanaan penuntutan tindak pidana korupsi, penuntut pada KPK melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (pasal 12 A) walaupun tidak disebutkan dalam penjelasan pasalnya: Berkordinasi dengan siapa penuntut dalam melaksanakan tugas penuntutannya?
UU KPK No. 19 tahun 2019 ini juga menguatkan posisi KPK sebagai lembaga pemerintah (regeringsorgaan-bestuursorganen) yang sejalan dengan Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 yang menyatakan KPK merupakan cabang dari kekuasaan pemerintahan.
KPK sebagai lembaga pemerintah yang menurut hemat penulis KPK bagian dari instansi pemerintah bukan di luar instansi pemerintah karena PP No. 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan Permenpan No. 35 tahun 2008 menerangkan yang dimaksud instansi pemerintah adalah instansi pusat dan instansi daerah sedangkan instansi pusat adalah kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural, sehingga kedudukan KPK jika dilihat dari penjelasan UU KPK No. 19 tahun 2019 adalah lembaga pemerintah non kementerian yang bagian dari instansi pusat.
ADVERTISEMENT
Pada saat berlakunya UU KPK No. 30 tahun 2002, pasal 51 menyebutkan penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga jaksa di KPK yang melaksanakan fungsi penuntutan saat berlakunya undang-undang tersebut diangkat berdasarkan SK pengangkatan dari Pimpinan KPK sebagaimana hal tersebut diatur dalam PP Nomor 63 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Walaupun pasal 51 di UU KPK No. 30 tahun 2002 tersebut di atas tidak diganti di UU KPK No. 19 tahun 2019 namun bertentangan dengan ketentuan di pasal 21-nya yang sudah tidak menyebutkan Pimpinan KPK sebagai Penyidik atau Penuntut Umum.
ADVERTISEMENT
Sehingga ketika kedudukan Pegawai KPK disebutkan Aparatur Sipil Negara (ASN) maka secara mutatis mutandis berlaku juga terhadap jaksa-jaksa yang dipekerjakan di KPK dengan ketentuan aturan lainnya mengenai ASN yaitu PP No. 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan Permenpan Nomor 35 tahun 2008 Tentang Penugasan Pegawai Negeri Sipil Pada Instansi Pemerintah Dan Di Luar Instansi Pemerintah yang pada pokoknya mengatur “penugasan” pada instansi pemerintah yang pimpinannya tidak memiliki kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS untuk hal ini jaksa termasuk sebagai jenis melaksanakan tugas jabatan khusus nantinya di KPK.
Sehingga sejalan dengan kekhawatiran sebagian pihak tersebut menjadi timbul pertanyaan:
ADVERTISEMENT
UU KPK baru yakni UU No. 19 tahun 2019 masih memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan proses penuntutan tindak pidana korupsi sebagaimana pasal 6 huruf e. Bahkan secara atributif sebagaimana dalam pasal 51 ayat (3) UU KPK No. 30 tahun 2002 kewenangan penuntutan tersebut secara tegas tetap disebutkan diberikan hanya kepada Jaksa Penuntut Umum.
Hal ini berbeda ketika berbicara kewenangan pengangkatan penyelidik dan penyidik di UU KPK No. 19 tahun 2019 yang menyebutkan beberapa pihak yang dapat diangkat sebagai penyelidik dan penyidik, bukan hanya dari kepolisian dan kejaksaan. Sehingga menurut hemat penulis, tujuan frase pasal 21 yang menyebutkan pimpinan KPK bukan penyidik atau penuntut umum itu jika diterapkan mengenai aturan ASN maka KPK tidak bisa lagi mengangkat penyidik independen apalagi berpikir untuk mengangkat penuntut umum independen karena sebagaimana pasal 51 ayat (3) di atas secara tegas disebutkan kewenangan Penuntut itu pada Jaksa Penuntut Umum.
ADVERTISEMENT
Oleh karena pasal 70A di UU KPK No. 19 tahun 2019 sudah mengamanatkan untuk pengangkatan, pembinaan, dan pemberhentian pegawai komisi pemberantasan korupsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka memang perlu dibuat regulasi untuk mengatur legal standing kedudukan jaksa penuntut umum di KPK pasca Pegawai KPK sebagai ASN.
Untuk menguatkan kedudukan Jaksa penuntut umum di KPK melaksanakan fungsi penuntutan, ada banyak cara dilakukan, di antaranya:
Perspektif jika dibuat regulasi memberikan kewenangan pimpinan KPK sebagai penuntut umum lalu bisa mengangkat penuntut umum tentunya ada 2 (dua) syarat pokok yaitu regulasi itu harus setara dengan undang-undang karena dalam UU No. 19 Tahun 2019 telah mengubah kedudukan pimpinan KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum dan pengangkatan penuntut umum itu tetap jaksa yang berasal dari Kejaksaan karena syarat menjadi jaksa sudah rigid diatur dalam UU Kejaksaan yaitu UU No. 16 tahun 2004.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya dapat juga dilakukan perspektif lainnya dengan cara Jaksa Agung seharusnya menerbitkan SK penugasan khusus kepada jaksa-jaksa di KPK karena Kedudukan Jaksa Agung sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan, pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan termasuk jaksa-jaksa di KPK yang melaksanakan fungsi penuntutan di KPK dan saat pendidikan, pelatihan, dan pembentukan jaksanya diangkat oleh Jaksa Agung.
Pasal 37 UU Kejaksaan juga menyebutkan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.
Selanjutnya juga untuk menjawab pertanyaan kedua yakni bagaimana memaknai Pasal 12 A yang terdapat dalam UU No. 19 tahun 2019 yang menyebutkan dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana korupsi penuntut umum pada KPK melaksanakan kordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Penulis yakin, pembentuk undang-undang memasukkan frase pasal ini bukan secara “ucuk-ucuk” ditulis saja melainkan ada asas pembentukan perundang-undangannya yakni “dapat dilaksanakan” nantinya pasal 12 A tersebut dengan landasan secara filosofis Kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang salah satunya melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Een en ondeelbaar sebuah istilah yang menyebutkan kejaksaan pada dasarnya satu kesatuan dan tidak terpisahkan merupakan bagian dari satu fungsi penuntutan yang hanya dilakukan oleh Jaksa. Termasuk nantinya apabila pemimpin KPK diberikan kewenangan sebagai penuntut umum yang tentunya harus berkordinasi dengan Jaksa Agung atau Direktur Penuntutan pada KPK atau jaksa-jaksa di KPK yang melaksanakan fungsi penuntutan berkordinasi dengan Jaksa Agung.
Jaksa Agung memiliki kewenangan khusus yang tidak dimiliki oleh jaksa lainnya di antaranya yaitu memiliki asas oportunitas (menyampingkan perkara demi kepentingan umum) dan dapat mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada MA. Tentunya dalam penerapan pasal 12 A mengenai “kordinasi” melaksanakan fungsi penuntutan dibuatkan pedoman aturan antara KPK dengan Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi karena kewenangan khusus yang dimilikinya berdasarkan undang-undang.
ADVERTISEMENT