Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyoal Politik Hukum Divestasi Freeport
5 Juni 2018 9:45 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Roziqin Matlap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lama tak terdengar kabar tentang divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI), publik harap-harap cemas dengan kelanjutan divestasi tersebut. Sang waktu pun telah memasuki Juni 2018, yang merupakan target Pemerintah untuk menyelesaikan divestasi.
ADVERTISEMENT
Semoga target tersebut terealisasi. Maklum, target sebelumnya pada April 2018, Desember 2017, Oktober 2017, semua terlewati begitu saja. Proses divestasi ini terus berlarut-larut dari masa Presiden Soeharto hingga sekarang. Politik hukum divestasi pun dipertanyakan.
Sejak PTFI bercokol di Indonesia tahun 1967 hingga sekarang, saham Pemerintah di PTFI Indonesia masih saja sebesar 9,36%. Benar bahwa Pemerintah Indonesia pernah memiliki saham hingga sebesar 11,11 %, namun Pemerintahan Presiden Soeharto membiarkan saham Pemerintah terdilusi kembali menjadi sebesar 9,36%.
Kepemilikan saham Pemerintah Indonesia di PTFI sebesar 9,36% oleh Pemerintah Indonesia tidak menghasilkan pendapatan negara yang signifikan dari dividen. Untuk beberapa tahun, Pemerintah Indonesia tidak memperoleh dividen padahal di kurun waktu tersebut penjualan mineral emas dari pertambangan Indonesia selalu menyumbang lebih dari 90% pendapatan bagi Freeport McMoran (FCX), induk PTFI.
ADVERTISEMENT
Politik Hukum Divestasi
Gagalnya divestasi saham PTFI tak lepas dari politik hukum divestasi yang tidak jelas dari Pemerintah. Mengutip Mahfud MD, politik hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak atau cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.
Sejak awal PTFI beroperasi, belum tampak niat Pemerintah untuk memaksa perusahaan tersebut untuk melakukan divestasi. Ketentuan divestasi saham pun baru muncul tahun 1991 saat perpanjangan Kontrak Karya (KK), atau selisih 24 tahun sejak Freeport beroperasi.
Divestasi saham PTFI sudah menjadi salah satu kewajiban perusahaan sebagaimana diatur dalam KK mengenai Promosi Kepentingan Nasional. Divestasi saham adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk kesempatan kepada peserta Indonesia agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
ADVERTISEMENT
Dalam divestasi, para pemodal asing wajib mengalihkan sebagian saham kepada peserta Indonesia yang terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN, BUMD dan badan usaha swasta nasional.
Sayangnya, sejak awal Kontrak Karya seolah sudah dibuat celah bagi PTFI untuk menghindari kewajiban divestasi. Berbagai ketentuan divestasi saham yang dibuat cenderung menguatkan PTFI.
Dalam KK Pasal 24 ayat (2a), (2b) dan (2c) tentang Promosi Kepentingan Nasional dijelaskan bahwa kewajiban untuk melakukan divestasi saham sebesar 51% paling lambat 20 tahun sejak penandatanganan KK atau pada 30 Desember 2011. Mekanisme divestasi saham dibagi menjadi dua tahapan yaitu pada 10 tahun pertama (30 Desember 2001) dan sisanya pada 10 tahun berikutnya (30 Desember 2011).
ADVERTISEMENT
Sayang, dengan adanya Pasal 24 ayat (2d KK), PTFI terus menghindari kewajiban divestasi. Pasal tersebut mengatur bahwa para pihak dapat melepaskan diri atau menghindari kewajiban dari ketentuan dalam KK (escape clause) apabila setelah penandatanganan KK terdapat ketentuan pengalihan saham yang lebih ringan.
Hal ini menjadi sesuatu yang janggal karena alih-alih menetapkan standar divestasi yang lebih baik dari KK sebagaimana pada umumnya ketentuan perpajakan, pemerintah justru diberi kewenangan menetapkan standar lebih ringan dari KK untuk ketentuan divestasi.
Dalam kurun waktu 10 tahun pertama (hingga 30 Desember 2001), PTFI tidak melaksanakan kewajiban melepas sahamnya minimal 10%. Hal ini karena Pemerintahan Presiden Soeharto mengeluarkan PP Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.
ADVERTISEMENT
Pasal 6 ayat (1) PP tersebut menyatakan bahwa kepemilikan saham peserta Indonesia dalam perusahaan modal asing sekurang-kurangnya “hanya” 5%. PP tersebut menjadi dasar PTFI untuk tidak menawarkan menjual sahamnya sesuai dengan mekanisme KK Pasal 24 ayat 2 (b).
Terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk menggantikan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan patut diapresiasi. Posisi pemerintah tidak lagi sejajar dengan perusahaan karena bentuk kontrak sudah tidak ada dan diganti dengan sistem izin.
Namun demikian, Pemerintah kembali tergagap mengatur PTFI dengan meringankan kewajiban divestasi PTFI melalui PP Nomor 23 Tahun 2010. Dalam PP tersebut kewajiban divestasi hanya 20% dalam waktu lima tahun setelah produksi, atau jatuh pada tahun 2015 bila dihitung dari terbitnya peraturan, mundur lagi dari target semula. Tidak ada kewajiban divestasi hingga 51% dalam PP tersebut.
ADVERTISEMENT
Gagapnya Pemerintah semakin terlihat ketika harus mengubah PP Nomor 23 Tahun 2010 sampai lima kali, terakhir dengan PP Nomor 8 Tahun 2018. Pada perubahan keempat, yaitu PP Nomor 1 Tahun 2017 telah ditegaskan bahwa Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam rangka penanaman modal asing wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi.
Tahapan tersebut setiap tahun sejak tahun keenam hingga tahun kesepuluh masing-masing adalah 20%, 30%, 37%, 44% dan 51%. Namun demikian, tahapan tersebut terus terlewat begitu saja. Meski belum melakukan kewajiban divestasi, PTFI terus mendesak Pemerintah untuk memperpanjang izin operasi hingga 2041.
Sayangnya, Pemerintah tidak mengatur sanksi atas keterlambatan divestasi saham. Terlebih dengan adanya PP Nomor 23 Tahun 2010 yang diubah sampai lima kali, divestasi saham menjadi hanya berlaku untuk pemegang IUP dan IUPK.
ADVERTISEMENT
Pemerintah tidak mengantisipasi atau sengaja memberi celah adanya perusahan seperti PTFI yang ogah-ogahan mengubah KK nya menjadi IUPK sehingga Pasal tersebut tidak dapat otomatis diterapkan pada PTFI. Padahal sesuai KK tahun 1991, PTFI sendiri sudah setuju untuk divestasi 51% paling lambat 30 Desember 2011.
Pemerintah pun tidak mampu memaksa PTFI untuk mengubah KK menjadi IUPK dalam waktu satu tahun sebagaimana diwajibakan dalam Pasal 169 UU Nomor 4 Tahun 2009. Padahal Pasal 158 UU Nomor 4 Tahun 2009 telah mengatur sanksi pidana penjara paling lama sepuluh tahun bagi pihak yang menambang tanpa IUPK.
Demikian pula Pemerintah tidak menindak tegas PTFI yang ogah-ogahan membangun smelter, meski sudah diharuskan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 untuk dibuat maksimal lima tahun sejak diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 2009, atau maksimal pada tahun 2014. Bahkan larangan untuk mengekspor konsentrat bagi perusahaan yang belum membangun smelter sebagaimana diatur dalam PP Nomor 77 Tahun 2014 pun dicabut melalui PP Nomor 1 Tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Apa yang harus dilakukan?
Menurut penulis, setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan Pemerintah dalam divestasi PTFI. Pertama, Pemerintah harus memperjelas politik hukum divestasi. Peraturan yang dibuat harus benar-benar memberi manfaat untuk rakyat dan bangsa Indonesia. Dalam urusan divestasi, negara tidak boleh kalah dari korporasi. Sudah saatnya Indonesia berdaulat di bidang sumber daya alam dan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Posisi tawar Pemerintah sebenarnya di atas angin pasca UU Nomor 4 Tahun 2009, terlebih PTFI akan berakhirnya izinnya tahun 2021 bila tidak diperpanjang. Tidak ada keharusan Pemerintah memperpanjang izin hingga 2041.
Kedua, Pemerintah Indonesia harus segera menyelesaikan proses divestasi 51% saham sebelum tahun 2019. Sebagaimana diketahui, tahun 2019 merupakan tahun politik dimana konsentrasi bangsa banyak tercurah untuk urusan pemilihan umum, sehingga dikhawatirkan divestasi akan terus tertunda.
ADVERTISEMENT
Bahkan sejak Juni 2018 saja, publik sudah terkuras konsentrasinya untuk pilkada langsung, lebaran, dan penentuan capres-cawapres. Perlu diingat, divestasi yang berlarut-larut akan menjadi beban pemerintahan hasil pemilu nanti.
Ketiga, proses divestasi 51% saham harus transparan dan akuntabel, dilakukan dengan semangat merah putih dan bebas dari kepentingan pribadi maupun golongan tertentu. Dalam negosiasi divestasi, Pemerintah Indonesia perlu memperhitungkan berbagai persoalan di PTFI yang menjadi temuan BPK tahun 2017 atas Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atas Kontrak Karya PTFI Tahun 2013-2017. Hal ini agar tidak membebani Pemerintah Indonesia di masa depan selaku pemilik saham mayoritas.
Keempat, Pemerintah perlu berhati-hati dengan ketentuan dilusi saham yang terbuka lebar sejak terbitnya PP Nomor 77 Tahun 2014 sebagai perubahan ketiga dari PP Nomor 23 Tahun 2010. Meski suatu saat telah memiliki 51% saham, saham Pemerintah berpotensi tergerus kembali.
ADVERTISEMENT
Semoga divestasi 51% saham PTFI memberi sebesar-besarnya manfaat untuk rakyat Indonesia sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
Roziqin Matlap, SH, MSi, CLA
Penulis adalah Peneliti Pusat Pendidikan dan Anti Korupsi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (PUSDAK UNUSIA), Jakarta.