OSS yang Ambisius

Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta
Konten dari Pengguna
3 Juni 2018 14:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roziqin Matlap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
OSS yang Ambisius
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia usaha harus bersabar lagi sepertinya. Sebab, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, menunda peluncuran Online Single Submission (OSS) yang dijadwalkan pada akhir Mei 2018. Penundaan tersebut merupakan yang ketiga kalinya, setelah sebelumnya pemerintah berjanji akan meluncurkan OSS pada April lalu, dan saat hari kebangkitan nasional 20 Mei 2018. Dengan OSS, diharapkan seluruh perizinan dari pusat hingga ke daerah betul-betul terintegrasi menjadi satu kesatuan, dan selesai dalam hitungan jam Tampaknya, target tersebut masih terlalu ambisius di tengah birokrasi yang belum mapan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2018, kendati mengalami kenaikan 19 peringkat kemudahan berbisnis dari tahun lalu, dengan menempati posisi 72 dari 190 negara yang disurvei, Indonesia gagal mengulang keberhasilan masuk 10 besar negara paling berimprovisasi dalam mendorong peringkat kemudahan berbisnis. OSS menjadi salah upaya Presiden dalam mewujudkan kemudahan berbisnis di Indonesia, yang dikembangkan berdasarkan Perpres Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Sayang, Pemerintah tidak belajar dari kegagalan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang meski sudah diimplementasikan sejak tahun 2009, masih tertarih-tatih sampai sekarang. Untuk OSS, Penulis setidaknya melihat lima permasalahan berikut dalam implementasi OSS.
Pertama, dukungan SDM belum memadai. Sebagaimana diakui Kepala BKPM, bahwa kendala penerapan OSS ialah penyatuan seluruh anggota satuan tugas (satgas) dalam satu sistem. OSS dirancang menggabungkan lebih dari 600 anggota. Dukungan SDM agak problematis. Jauh sebelum OSS, sejak 2009 melalui Peraturan Perpres Nomor 27 Tahun 2009, Presiden SBY sudah meminta dilakukan PTSP. Melalui PTSP, perizinan dan nonperizinan mulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen idealnya dilakukan dalam satu tempat. Namun berdasarkan temuan BPK pada tahun 2017, PTSP belum efektif antara lain karena masih terdapat daerah yang belum memiliki standar pelayanan publik untuk mendukung pelayanan yang mudah, murah, cepat, dan tepat. Tim Kerja Teknis, penanganan pengaduan, serta kegiatan penelitian kepuasan masyarakat pun belum melaksanakan verifikasi dokumen dan verifikasi lapangan sesuai dengan regulasi dan kebijakan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Selain itu, belum ada analisis beban kerja atas pejabat dan pegawai untuk PTSP, baik di daerah maupun pusat. Untuk PTSP Pusat saja di BKPM diketahui adanya keterbatasan sumber daya manusia yang tersedia. Misalnya, berdasarkan temuan BPK, disebutkan bahwa jumlah kurir BKPM yang bertugas mengantarkan berkas permohonan perizinan dan nonperizinan ke Kementerian teknis berjumlah satu orang. Oleh karena itu, kurir dari BKPM yang berjumlah satu orang tersebut hanya bisa mengantarkan berkas permohonan perizinan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal (Ditjen) Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Ditjen Minerba Kementerian ESDM sebanyak satu kali dalam sehari. Selain itu, untuk berkas yang sudah selesai dievaluasi di Ditjen Migas, dan Ditjen Minerba Kementerian ESDM, maka berkas tidak dikirim segera melainkan menunggu kurir dari BKPM untuk mengambil berkas. Hal ini mengakibatkan berkas permohonan melewati SLA yang telah ditetapkan
ADVERTISEMENT
Kedua, belum ada desain perizinan komprehensif dari Pemerintah. Sebagai gambaran Peraturan Presiden tentang PTSP saja berubah-ubah, mulai dari Perpres Nomor 27 Tahun 2009 yang kemudian dicabut dengan Perpres Nomor 97 Tahun 2014, dan masih harus ditegaskan dengan Perpres Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. OSS sendiri masih berupa program sporadis, dan bukan bagian dari RPJMN, karena yang menjadi salah satu sasaran dalam RPJMN Tahun 2015-2019 sebatas PTSP. Di RPJMN pun, pada tahun 2019, PTSP ditargetkan baru sebatas 55% keberhasilannya.
Ketiga, masalah koordinasi. Berdasarkan Perpres Nomor 91 Tahun 2017, OSS melibatkan 13 kementerian dan lembaga. Namun demikian, jamak diketahui bahwa aparat kita memiliki masalah dalam koordinasi. Ambil contoh, data beras, garam dan jagung saja bisa berbeda antar kementerian dan lembaga, sehingga memicu perdebatan di kalangan Pemerintah sendiri terkait perlu atau tidaknya impor. Dalam OSS, kesulitan koordinasi tergambar dari banyaknya aplikasi untuk OSS yang tersebar di kementerian dan lembaga. Misalnya untuk aplikasi cerdas layanan terpadu untuk publik (SiCANTIK), berada dalam koordinasi Kemenkominfo; Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) berada dalam koordinasi BKPM; Sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) berada dalam koordinasi Kemenkum HAM; Database KTP-elektronik berada dalam koordinasi Kemendagri; aplikasi Indonesia National Single Window (INSW), berada dalam koordinasi Kemenkeu, dan Sistem PTSP Daerah, berada dalam koordinasi Kemenkominfo dan BKPM.
ADVERTISEMENT
Selain itu, beberapa perizinan sebagian prosesnya masih diserahkan untuk ditelah oleh Kementerian terkait, dimana prosesnya masih dilakukan di Kementerian terkait. Hal ini terjadi misalnya di Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM (Ditjen Migas dan Ditjen Minerba), Kementerian Pertanian dan Kementerian LHK. BKPM sebagai penyelenggara PTSP Pusat telah mengembangkan sistem informasi sebagai alat bantu pemantauan proses perizinan yakni SPIPISE untuk Perizinan Penananaman Modal dan Service Performance Monitoring (SPM)-Dashboard untuk perizinan sektoral. Namun SPM-Dashboard belum dimanfaatkan secara optimal dan belum terintegrasi dengan sistem informasi pada kementerian terkait.
Keempat, belum jelasnya pembagian tugas. Berdasarkan Perpres Nomor 91 Tahun 2017, satgas dibagi ada yang bersifat utama (leading), dan ada yang pendukung (supporting). Namun belum jelas dasar pembagian tugas tersebut. Misalnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak masuk sebagai satgas utama, padahal banyak perizinan terhambat di bidang pertanahan. Demikian pula BPOM, yang mengurusi berbagai perizinan obat dan makanan, dan Kementerian tenaga Kerja yang mengurusi ketenagakerjaan tidak masuk sebagai satgas utama. Pembagian tugas yang tidak jelas berpotensi menimbulkan kecemburuan antar kementerian dan lembaga.
ADVERTISEMENT
Kelima, penambahan biaya. Jamak diketahui bahwa pembentukan Satgas menambah biaya, padahal tugas tersebut sudah menjadi tugas sehari-hari lembaga/badan yang bersangkutan. Tren pembentukan tim, staf khusus, lembaga marak pasca reformasi. Menurut data Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara (PAN RB), Setidaknya, ada 129 lembaga non struktural di Indonesia, yang jika dikaji satu-per satu, banyak yang tidak produktif. Badan kelembagaan dibentuk dari pejabat hingga staf, tapi, hasil dari lembaga itu tidak ada.
Mari kita tunggu kelanjutan implementasi OSS ini. Semoga segera terealisasi dan berkualitas!
Roziqin Matlap, SH, MSi, CLA.
Penulis adalah dosen hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta. Tulisan ini adalah pendapat pribadi, tidak mencerminkan pandangan dimana penulis bekerja.
ADVERTISEMENT