PROBLEM REALOKASI ANGGARAN PANDEMI

Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta
Konten dari Pengguna
3 Mei 2020 17:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roziqin Matlap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 kini memasuki babak baru di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Perpu tersebut sebagai salah satu bentuk respon Pemerintah dalam menghadapi wabah Covid-19. Kejadian Pandemi yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional tersebut, tentu di luar prediksi Pemerintah, sehingga belum ada anggaran khusus untuk penanganannya.
ADVERTISEMENT
Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020, Pemerintah memiliki berbagai fleksibilitas di bidang keuangan. Misalnya, sejak sekarang hingga 2022, Pemerintah berwenang untuk melaksanakan anggaran defisit melebihi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang sebelumya dibatasi maksimal 3% dari PDB. Pemerintah juga diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang belum tersedia anggarannya.
Problem Hukum
Kehadiran Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi dasar bagi Pemerintah dalam melakukan realokasi anggaran agar anggaran difokuskan untuk penanganan Covid-19. Sayangnya, terdapat beberapa problem hukum dalam Perpu tersebut.
Pertama, Perpu tersebut belum diperlukan. Untuk realokasi anggaran guna penanganan pandemi, UU 17 Tahun 2003 telah menyediakan mekanisme APBN Perubahan. Berdasarkan UU 17 Tahun 2003, dalam keadaan darurat, perubahan APBN/APBD dapat dilakukan di kemudian hari, dan dapat dilakukan pengeluaran terlebih dahulu meski belum tersedia anggarannya. Bahkan bila tidak memungkinkan, bisa saja tidak dibuat Perubahan APBN/APBD, namun hanya berupa Laporan Realisasi Anggaran.
ADVERTISEMENT
Kedua, Perpu tidak mengatur mekanisme evaluasi atas kegiatan realokasi anggaran dan mekanisme pengawasan masyarakat. Diketahui sejumlah Pemerintah Daerah belum melakukan realokasi anggaran yang diminta. Padahal penanganan pandemi harus cepat dan tersedia anggaran yang cukup untuk itu. Perpu juga tidak tegas mengatur batas minimal alokasi anggaran untuk penanganan pandemi, sehingga Pemerintah Daerah maupun lembaga Pemerintah berpotensi hanya mengganggarkan penanganan Covid-19 dalam jumlah minimal.
Ketiga, ketentuan Perpu yang mengatur bahwa sampai 2022 defisit boleh lebih dari 3% tanpa batas maksimal, berpotensi terjadinya moral hazard oleh oknum Pemerintah dengan melaksanakan defisit secara tidak prudent. Perpu dimaksud juga tidak mengatur klausul bagaimana bila perekonomian sudah membaik sebelum 2022. Presiden sendiri optimis wabah Covid-19 akan selesai pada akhir tahun. BNPB belum lama memprediksi bahwa Juli kehidupan sudah normal.
ADVERTISEMENT
Lalu Bagaimana?
Perlu diingat bahwa berdasarkan UUD 1945, hak budget ada pada DPR sebagai wakil rakyat, sehingga APBN harus ditetapkan setiap tahun oleh DPR. Dengan demikian, tidak tepat bila untuk penanganan pandemi, Pemerintah diberi kewenangan terus menerus untuk melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya. Karena saat ini Pemerintah sudah tahu ada pandemi, maka selayaknya Pemerintah telah dapat merencanakan anggaran penangananan pandemi untuk tahun-tahun mendatang dengan APBN. Khusus untuk tahun ini, Pemerintah bisa mulai menyusun APBN Perubahan untuk disampaikan dan dimintakan persetujuan kepada DPR.
Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, anggaran memiliki arti penting karena berfungsi sebagai otorisasi, alokasi, perencanaan, distribusi, stabilisasi, dan pengawasan. Oleh karena itu, semua hak dan pengeluaran keuangan negara harus dimasukkan dalam APBN/APBD.
ADVERTISEMENT
Agar realokasi anggaran berjalan optimal, Presiden harus memaksa para menteri, para kepala lembaga negara, para kepala daerah dan DPRD, untuk segera memangkas anggaran yang tidak mendesak, dan mengalihkannya menjadi anggaran untuk penanganan wabah Covid-19. Berbagai anggaran yang bisa dipangkas adalah belanja yang tidak terkait dengan pelayanan rakyat secara langsung, antara lain konsinyering, perjalanan dinas, pembangunan gedung, jamuan rapat, alat tulis kantor, dan paket meeting di hotel yang tidak akan dilaksanakan di saat social distancing ini. Selain itu, masyarakat juga harus berani melaporkan jika ada proyek- proyek yang tidak mendesak namun masih dikerjakan di tengah wabah saat ini.
Presiden sebagai atasan dari BUMN juga perlu menginstruksikan BUMN agar memangkas kegiatan yang tidak berhubungan dengan produksi dan distribusi. Pemangkasan THR PNS dan BUMN perlu diikuti pemangkasan bonus pegawai dan pimpinan BUMN karena capaian mereka tidak maksimal saat ini. Pemangkasan bonus sekaligus sebagai upaya menjaga perasaan masyarakat di tengah kesulitan ekonomi saat ini. Turunnya harga minyak juga harus dijadikan dasar realokasi belanja BBM. Untuk diketahui, devisa Indonesia sebagian besar tersedot untuk impor minyak yang perharinya mencapai 800 ribu barel.
ADVERTISEMENT
Presiden harus memastikan bahwa realokasi benar-benar mengalokasikan bantuan terhadap pihak terdampak, terutama dari kelas menengah ke bawah yang kehilangan atau berkurang pendapatannya. Bila realokasi dijalankan dengan baik, maka dalam rangka penanggulangan wabah Covid-19 bisa jadi Indonesia tidak perlu menambah utang kepada lembaga donor atau negara lain, serta skema pendanaan lain yang mengandalkan pihak ketiga. Misalnya, bila belanja modal yang saat ini dianggarkan lebih dari 200 triliun direalokasi untuk penanganan Covid-19, maka penerbitan global bond sebesar US$ 4,3 miliar seperti yang dilakukan oleh Pemerintah beberapa waktu lalu bisa dihindari. Penambahan utang akan mengganggu sensitivitas masyarakat di masa kritis ini.
Realokasi dan pelaksanaannya di lapangan, harus dikawal agar tidak menjadi ladang korupsi baru, dengan berlindung sebagai anggaran penanganan Covid-19. Terlebih dengan adanya kebolehan penyederhanaan dokumen di bidang keuangan negara melalui Perpu dimaksud, menyebabkan potensi terjadinya kegiatan fiktif oleh oknum penyelenggara negara menjadi tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam realokasi anggaran ini, ketika semua melakukan refocusing kegiatan untuk penanganan Covid-19, kita harus mewaspadai potensi terjadinya duplikasi anggaran. Misalnya anggaran pengadaan peralatan medis, perlu dicek apakah dari pos dana hibah Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah, atau jangan-jangan dana sumbangan masyarakat. Demikian pula Bantuan Langsung Tuna (BLT) yang diterima masyarakat desa, apakah sebagai realokasi Dana Desa dari Kementerian Desa, atau hibah pemerintah daerah. Jangan sampai satu bentuk bantuan dilaporkan berkali-kali.
Untuk meningkatkan transaparansi dan akuntabilitas, informasi tentang realokasi anggaran di masa darurat nasional saat ini seharusnya menjadi informasi yang tersedia serta merta untuk umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Hal ini karena keberlangsungan realokasi anggaran akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Kita perlu belajar dari ketertutupan dana bailout Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang ternyata justru jadi ladang korupsi bagi para oknum pejabat dan dunia perbankan yang bernilai triliunan.
ADVERTISEMENT
Perlu diingat bahwa meski dalam kondisi darurat, semua kegiatan harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel nantinya, meski dengan standar yang lebih rendah. Bila ada praktik korupsi di tengah bencana nasional, maka itu merupakan perbuatan tak bermoral yang akan tercatat dalam sejarah sepanjang massa.
Roziqin Matlap
Auditor Forensik dan Dosen Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia