Konten dari Pengguna

Vaksin Berbayar, Mengapa Tidak?

Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta
14 Juli 2021 23:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roziqin Matlap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kumparan
ADVERTISEMENT
Permasalahan vaksin Covid-19 terus mengemuka. Sebelumnya, masyarakat meragukan kehalalan vaksin, kehandalan vaksin, biaya vaksin, dan akses vaksin. Semua dijawab Pemerintah dengan memastikan bahwa vaksin Covid-19 diperbolehkan menurut agama (menggandeng Majelis Ulama Indonesia), menjadikan Presiden sebagai “kelinci percobaan” vaksin, menggratiskan vaksin, dan melakukan vaksin secara massal di berbagai tempat.
ADVERTISEMENT
Kali ini sebagian masyarakat mempermasalahkan rencana program vaksin yang berbayar, yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan akan dilakukan oleh Kimia Farma, BUMN farmasi terbesar di Indonesia. Melalui vaksin berbayar, Pemerintah dituduh berbisnis dengan masyarakat di tengah pandemi. Karena banyaknya protes dari masyarakat, termasuk dari DPR, saat tulisan ini dibuat, Kimia Farma telah memutuskan untuk menunda pelaksanaan vaksin berbayar atau yang lebih dikenal dengan vaksin gotong royong, dengan alasan ingin memperluas sosialisasi terlebih dahulu.
Penulis berharap, segala perdebatan terkait vaksin betul-betul dalam rangka mencari cara terbaik dalam menyehatkan masyarakat, bukan karena motif pribadi atau kelompok tertentu. Agak berbeda dengan beberapa kolega, pada kesempatan ini, justru penulis ingin mendukung kebijakan vaksin berbayar, alias vaksin gotong royong tersebut karena beberapa alasan.
ADVERTISEMENT
Welfare State Secara Proporsional
Benar bahwa Indonesia menganut konsep welfare state (negara kesejahteraan). Pada negara yang menerapkan konsep welfare state, peranan negara lebih luas dari pada sekedar sebagai “penjaga malam” atau penjaga ketertiban. Negara, menurut Utrecht (1985), bertugas menjaga keamanan dalam arti kata yang seluas-luasnya, yakni keamanan sosial di segala bidang kemasyarakatan. Hal ini tampak dari Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dengan tegas mencantumkan tugas negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dalam tataran ideal, negara memang harus melindungi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI), dalam konteks saat ini dengan memberikan vaksin gratis kepada mereka. Namun demikian, kondisi tidak selalu ideal. Kebijakan vaksin gratis harus dilakukan dengan biaya besar. Tercatat, anggaran pengadaan vaksin di APBN pada tahun 2020 dan 2021 sangat besar, masing-masing sebesar Rp35,1 triliun dan 13,9 triliun. Bisa jadi, sebagian dana itu berasal dari utang, yang selama ini ditolak oleh sebagian masyarakat yang juga menolak vaksin berbayar.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun welfare state harus diimplementasikan secara proporsional. Sebagai contoh, pada kebijakan BBM bersubsidi, pencabutan subsidi BBM bukan berarti negara abai dengan nasib masyarakat, namun subsidi BBM dianggap tidak tepat sasaran karena justru dinikmati oleh orang kaya. Demikian pula ketika Pemerintah mengadakan vaksin berbayar, maka ada subsidi yang dicabut kepada sebagian kalangan yang memang mampu untuk membayar. Toh saat ini Pemerintah masih terus menggalakkan vaksin gratis secara massal di berbagai tempat, mulai dari Puskesmas, stadion, dan beberapa tempat lainnya, bahkan tersedia vaksin keliling di beberapa tempat bagi yang tidak ingin berbayar.
Welfare state yang tidak proporsional justru membahayakan negara, karena bisa terserat ke jurang defisit yang semakin dalam. Bahkan negara-negara besar juga telah mengalami krisis di masa pandemi saat ini. Jangan terlalu membandingkan Indonesia dengan beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat yang menggratiskan vaksin. Negara-negara tersebut memiliki kemampuan keuangan keuangan yang lebih besar dari Indonesia. Di beberapa negara Eropa, yang berbagai layanannya gratis, termasuk vaksin, masyarakatnya dikenai pajak penghasilan besar, sekitar 40-50 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang pajak penghasilannya sebesar 5%. Sementara Amerika yang menggratiskan vaksin, dan cerita kemudahan vaksinnya sempat viral, adalah negara maju dengan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 21,43 triliun di 2020. Sementara Indonesia hanya memiliki PDB US$ 1,12 triliun.
ADVERTISEMENT
Sumbangan Masyarakat
Dengan tarif maksimal vaksin sebesar Rp321.660 per dosis dan pelayanan vaksinasi sebesar Rp117.910 per dosis, atau total Rp879.140 per orang (masing-masing dua dosis), anggap saja masyarakat yang mampu sedang menyumbang ke negara di saat negara sedang kesulitan mencari dana saat ini. Dengan kuota vaksin berbayar sebesar 1,5 juta-5 juta dosis, nilai “sumbangan masyarakat” tersebut akan mencapai Rp659 miliar-2,2 triliun. Suatu angka yang cukup besar untuk pendapatan negara di tengah menurunnya pendapatan dari sektor pajak. Pemerintah juga terbantu dengan inisiatif sebagian pengusaha yang menyelenggarakan vaksin untuk para karyawannya, dengan anggaran sekitar Rp1 juta untuk 2 kali suntik dan biaya pelayanan.
Kalaulah BUMN mendapat untung dari vaksin berbayar, maka memang sudah seharusnya BUMN didirikan untuk mencari untung selain untuk melayani masyarakat. Keuntungan tersebut akan menjadi salah satu sumber deviden bagi negara. Kita tentu juga akan protes bila BUMN terus merugi dan sebaliknya mendambakan BUMN yang sehat. Tuduhan negara sedang berbisnis dengan warganya, tampaknya berlebihan bila dilihat bahwa Pemerintah sendiri ternyata masih punya utang Rp1,3 triliun per 30 April 2020 kepada Kimia Farma, dan baru dibayar Rp400 miliar. Utang tersebut antara lain digunakan untuk obat-obatan guna keperluan BPJS Kesehatan, yang hasilnya dinikmati masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan vaksin berbayar kali ini menurut penulis masih wajar, karena dilaksanakan oleh BUMN, harga telah ditetapkan sehingga tidak bisa dipermainkan, dan tanpa menghilangkan vaksin gratis bagi masyarakat yang kurang mampu.
Mempercepat Herd Imunity
Pelaksanaan vaksin berbayar diharapkan akan mempercepat terjadinya herd imunity. Berdasarkan analisis para ahli, herd imunity akan tercapai jika pelaksanaan vaksin mencapai 70 persen. Target vaksin 1 juta perhari di bulan Juli 2021 dan dua juta perhari di bulan Agustus 2021, tentu akan terbantu dengan pelaksanaan vaksin berbayar. Vaksin tersebut akan menjadi solusi bagi mereka yang malas ribet dan antri untuk pelaksanana vaksin massal yang gratis. Untuk orang mampu, sudah sewajarnya mereka membayar vaksin.
Benahi Tata Kelola Vaksin
ADVERTISEMENT
Vaksin saat ini menjadi salah satu solusi ampuh penanganan pandemi. Saat ini pelaksanaan vaksin cukup lambat, padahal kecepatan vaksin menjadi salah satu kunci keberhasilan penanganan pandemi. Untuk itu, tata kelola vaksin juga harus dibenahi, baik yang gratis maupun yang berbayar. Yang gratis, sejauh ini masih belum terlaksana dengan optimal karena sebagian masyarakat ada yang takut vaksin, terkena hoax soal vaksin, dan kurang mendapat sosialisasi. Untuk orang yang lanjut usia yang menjadi salah satu prioritas, baru 23% yang mendapat vaksin dosis pertama, dan 14% untuk dosis kedua. Bahkan petugas publik yang bisa “dipaksa” oleh Pemerintah, baru 50% yang telah mendapat vaksin dosis kedua.
Beberapa vaksin massal tampak sepi karena kurangnya sosialisasi dan kesadaran masyarakat. Di tempat saya misalnya, petugas desa harus menunggu berjam-jam saat menjemput satu persatu orang yang mau divaksin ke Puskesmas, karena minimnya sosialisasi petugas, sekaligus minimnya kesadaran masyarakat. Untuk vaksin berbayar, tentu tata kelola harus menjadi perhatian serius. Kita tentu tidak ingin Kimia Farma yang pernah tersandung kasus penggunaan alat rapid test bekas, kembali melakukan kesalahan pada pelaksanaan vaksin berbayar. Tentu pengawasan masyarakat atas implementasi vaksin berbayar menjadi sangat penting bagi kesuksesan program tersebut. Mari sukseskan dan awasi program vaksinasi Covid-19!
ADVERTISEMENT
Roziqin
Penulis adalah pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA Jakarta). Opini tidak mewakili organisasi tempat penulis bekerja