Konten dari Pengguna

Aroma ‘Busuk’ Orba di Balik Revisi UU TNI

Rozy Brilian Sodik
Master Student di Utrecht University. Ex-Peneliti di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Menaruh perhatian terhadap isu-isu Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.
14 Juli 2024 15:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rozy Brilian Sodik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Perubahan norma dalam draf Revisi UU TNI akan membangkitkan ‘Hantu’ dwifungsi ABRI, bahkan mengembalikan dominasi militer. Indonesia kian terjerembab dalam jurang orde baru.
ADVERTISEMENT
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali membuka peluang untuk melakukan revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di akhir masa jabatannya, DPR lagi-lagi mengebut sejumlah regulasi strategis dengan menerapkan legislasi ‘ugal-ugalan’ tanpa memperhatikan prinsip partisipasi bermakna dan bermanfaat (meaningful and worthwhile participation). Selain wacana revisi UU TNI, revisi terhadap Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) pun kabarnya juga akan segera dilangsungkan. Sayangnya, agenda perubahan peraturan ini tak sejalan dengan reformasi sektor keamanan sebagaimana didorong pada saat jatuhnya rezim otoritarian di bawah pimpinan Soeharto.
Selain tidak memiliki urgensi, secara singkat, substansi yang diatur dalam draf revisi UU TNI begitu problematik. Berdasarkan draf yang tersebar, perubahan hanya menyasar pada dua pasal yakni Pasal 47 terkait jabatan sipil yang dapat ditempati oleh TNI aktif dan Pasal 53 mengenai batas usia dinas keprajuritan. Dari sini, sangat mudah membaca bahwa agenda revisi ini muatannya sangat politis, sebab hanya untuk mengakselerasi kepentingan pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Wacana revisi UU TNI ini sebetulnya bukan kali pertama. Tahun 2023 lalu, draf usulan telah diserahkan oleh Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI kepada Panglima TNI, Yudo Margono. Selain itu, usulan pun sempat mengemuka menjelang berakhirnya masa jabatan Jenderal Andika Perkasa yang saat itu hanya memimpin selama setahun.
Khusus untuk agenda memperpanjang masa pensiun, draf revisi mengatur bahwa prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun bagi perwira dan paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi bintara dan tamtama. Sementara dalam UU 34 Tahun 200 disebutkan bahwa prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama. Artinya terdapat pertambahan jumlah umur yang cukup signifikan dalam draf revisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Merusak Profesionalitas TNI
Perubahan esensial yang tentu akan sangat fatal akibatnya tentu saja memperkenankan militer di domain sipil tanpa batasan yang ketat. Pembatasan dalam UU yang ada saat ini tentu untuk mencegah dominasi militer di ranah sipil, sebab struktur sosial masyarakat tetap akan menempatkan status militer pada posisi yang lebih superior dibandingkan sipil biasa.
Walaupun tetap mensyaratkan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan, Pasal 47 ayat (2) menyebut prajurit aktif dapat menempati kementerian/lembaga sesuai kebijakan Presiden. Klausul ini ditambahkan agar TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil lainnya di luar sepuluh (10) batasan yang ditentukan oleh UU eksisting.
ADVERTISEMENT
Muatan revisi ini akan sangat berbahaya, sebab mengizinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan pada Kementerian/Lembaga tersebut sama saja dengan membuka peluang bagi kembalinya dwi fungsi ABRI. Terlebih politik kebijakan penempatan tersebut diserahkan sepenuhnya pada tangan Presiden. Bukan tidak mungkin, Prabowo Subianto yang berlatarbelakang militer memanfaatkan ketentuan ini untuk menaruh sebanyak-banyaknya prajurit pada jabatan di Kementerian/Lembaga.
Dalam negara yang memutuskan untuk menganut demokrasi, selain mutlak untuk memisahkan antara sipil dan militer, tentara pun hanya ditugaskan untuk urusan pertahanan – kedaulatan negara. Prajurit militer pun dipersenjatai dan dipersiapkan untuk menghadapi situasi perang, bukan untuk menempati jabatan publik yang tersedia. Tentara pun memiliki doktrin to kill or not to be killed, sehingga tidak sesuai jika ditempatkan pada posisi yang mengedepankan pelayanan seperti halnya di Kementerian di luar urusan pertahanan.
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat bahwa bangsa ini telah melewati rezim di bawah kepemimpinan militer yang sangat otoriter, yang mana ditandai dengan peran ganda militer di ranah-ranah sipil. Saat itu, militer bahkan dapat bebas berpolitik dan mempunyai peran yang besar dalam arena pemerintahan. Lahirnya Reformasi tentu untuk menghentikan praktik sewenang-wenang tersebut dan mendorong profesionalitas institusi pertahanan.
Langkah penempatan prajurit aktif di ranah sipil hanya akan mengganggu fokus militer di aspek pertahanan. Terlebih tantangan global di masa mendatang hampir pasti makin berat berkaca pada perang Rusia-Ukraina dan situasi yang kian memanas di Timur Tengah.
Militerisme Kian Kuat
Melegitimasi penempatan militer di ranah sipil jelas merupakan upaya pengkhianatan agenda reformasi yang menghendaki penghapusan dwi-fungsi ABRI. Jika disahkan, UU ini akan berkonsekuensi serius pada meritokrasi dan praktik pengisian jabatan di Kementerian/Lembaga. Prajurit-prajurit militer akan ‘mencengkram’ jabatan sipil dan berpotensi mengganggu rantai kaderisasi. Selain itu, akan muncul komando ganda dan kebingungan, apakah prajurit tersebut tunduk pada pimpinan lembaga/Menteri atau pada Panglima TNI.
ADVERTISEMENT
Langkah revisi ini pun kian menebalkan siasat jahat untuk mengembalikan militerisme. Sebelumnya, revisi UU Aparatur Sipil Negara yang memperkenankan militer di jabatan ASN telah berhasil disahkan. Begitupun beberapa Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang telah ditunjuk berlatarbelakang militer, diberikannya proyek food estate kepada Kementerian Pertahanan hingga pendekatan militeristik yang terus berlangsung di Papua lewat penerjunan aparat dengan skala besar. Perluasan kewenangan TNI hanya akan membuka ruang bagi pengerahan pasukan TNI secara lebih masif yang juga beresiko akan terjadinya Pelanggaran HAM.
Berangkat dari berbagai permasalahan tersebut, revisi yang tidak menyentuh permasalahan kompleks di tubuh institusi militer sudah seharusnya dihentikan. Pembaharuan hukum militer pun semestinya menyasar pada hal-hal yang lebih urgen, seperti halnya revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang selama bertahun-tahun terbukti menyisakan ruang impunitas bagi para prajurit yang melakukan pelanggaran.
ADVERTISEMENT