Konten dari Pengguna

#KaburAjaDulu: Inkompetensi Pemerintah dan Pentingnya Menjaga Harapan

Rozy Brilian Sodik
Master Student di Utrecht University. Ex-Peneliti di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Menaruh perhatian terhadap isu-isu Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.
21 Februari 2025 18:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rozy Brilian Sodik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah calon penumpang pesawat berada di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (18/5/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah calon penumpang pesawat berada di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (18/5/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam kurun beberapa minggu terakhir, publik Indonesia diramaikan dengan tren #KaburAjaDulu di media sosial baik TikTok, X maupun Instagram. Fenomena ini muncul sebagai representasi kekecewaan masyarakat khususnya generasi muda atas situasi sosial-politik yang tak kunjung mengalami perbaikan signifikan.
ADVERTISEMENT
Kemarahan juga muncul sebagai respons atas berbagai permasalahan eksisting seperti halnya terbatasnya lapangan kerja, ketidaklayakan hidup di tanah air hingga pendidikan tinggi yang kian sulit dijangkau. Isu-isu tersebut akhirnya membuat generasi muda khawatir akan kepastian masa depannya. Persentase harapan serta potensi untuk menaikkan taraf hidup dan mengubah nasib pun semakin menyusut.
Diskursus ini kian menguat usai Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Implikasi serius atas kebijakan ini yaitu pemangkasan di segala lini terkhusus anggaran pendidikan baik dasar, menengah hingga tinggi.
Terakhir, sebelum Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri di-reshuffle, sempat menyebut bahwa biaya masuk universitas akan berpotensi naik di 2025. Hal tersebut sebagai konsekuensi dari dipotongnya Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) sekitar 50%.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini tentu berbahaya, sebab tidak hanya membuat pendidikan kian jauh dari aksesibel, juga berpotensi membuat banyak mahasiswa gagal menyelesaikan studinya. Hal tersebut karena kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan dicabutnya mekanisme beasiswa. Secara makro, kebijakan ini juga akan membuat laju persentase penduduk dengan lulusan perguruan tinggi semakin lambat. Lebih jauh, dana riset yang dipotong akan kontraproduktif dengan perbaikan kualitas perguruan tinggi di Indonesia.
Inkompetensi Pemerintah
Arus wacana mencari peruntungan di luar Indonesia tidak terlepas dari kemuakan yang terus teramplifikasi sebagai respons dari kebijakan ugal-ugalan pemerintah. Belakangan, beberapa langkah strategis dalam produk kebijakan tidak diambil berdasar ilmu pengetahuan dan dampak sosial di masyarakat.
Sebagai contoh, dalam agenda revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara, salah satu muatan substansinya adalah dimungkinkannya pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi. Langkah ini jelas akan menimbulkan paradoks, di satu sisi akademisi diharapkan menjadi penjaga moral. Namun sebaliknya, kampus akan ternodai, sebab secara nature, industri ekstraktif tentu memiliki efek destruktif. Kebijakan ini juga pada akhirnya akan memberangus independensi kampus dalam bersuara dan sebagai kontrol utama terhadap kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, ketika publik melempar kritik, respons pemerintah terlihat tidak serius, dengan terus memproduksi narasi seadanya-seakan-akan masyarakat bodoh dan pada akhirnya pun tak akan berdaya. Komunikasi publik yang buruk ini salah satunya akibat dari penunjukan orang-orang yang tidak kompeten dan kapabel di bidangnya.
Tak hanya itu, ‘penghakiman’ juga datang kepada orang-orang yang memutuskan keluar dari Indonesia. Stigma buruk seperti generasi yang lemah, tidak tahan banting hingga tidak nasionalis terus diproduksi, alih-alih melakukan refleksi dan perbaikan sistemik.
Pada faktanya, kita sebagai bangsa tidak berprogres. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Vietnam misalnya, Indonesia kian jauh tertinggal. Indonesia Emas 2045 pun hanyalah slogan kosong, meniup harapan di tengah kecemasan akan masa depan. Situasi demokrasi kian ambruk, ditambah ekonomi yang terus memburuk. Begitu banyak mimpi anak muda untuk menaikkan taraf hidup harus pupus karena kebijakan yang tak berpihak pada mereka.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kepercayaan publik terlihat runtuh karena kecil kemungkinan untuk menggantungkan harapan pada pemerintah akibat terus menerus dikecewakan. Ekspresi kekecewaan ini jika didiamkan akan menumpuk dan menjadi ‘bom’ waktu. Yang terjadi yakni frustrasi kolektif generasi atas inkompetensi pemerintah dalam menyelenggarakan urusan-urusan negara.
Momentum Bangun Kritisisme
Pilihan untuk ‘lari’ dari Indonesia untuk menetap di negara lain ataupun sementara waktu tampaknya memang hanya bagi mereka yang punya privilese. Bagi sebagian orang, opsi-opsi tersebut bahkan tidak tersedia karena keterbatasan kesempatan dan kemampuan. Mereka pun harus menelan kepahitan tinggal di Indonesia dan dipaksa menyaksikan beragam keserampangan pemerintah.
Namun, di tengah merebaknya wacana ‘kabur aja dulu’, satu hal yang positif adalah pemerintah kian menyadari bahwa kritisisme masyarakat masih signifikan. Hal ini harus dijadikan ‘tamparan keras’ terhadap pengelola negara, yang nampaknya semakin melihat masyarakat dalam situasi tak berdaya. Padahal, reformasi dan perbaikan membutuhkan partisipasi serta pengawasan aktif warga negara.
ADVERTISEMENT
Merujuk Katharina Bauer (2024), dalam alam demokrasi, kita dapat melakukan integrasi ketidakberdayaan ke dalam harapan. Pengalaman ketidakberdayaan relatif dapat menjadi sumber motivasi bagi individu untuk terlibat dalam upaya-upaya kolektif. Menyadari bahwa mereka tidak dapat mencapai harapan mereka sendiri dapat mendorong warga negara untuk bekerja sama dan memperkuat agensi demokrasi mereka.
Dengan demikian terwujud konsep ‘strong democratic hope’. Kekhawatiran kolektif masyarakat atas buruknya situasi hari ini dan kesadaran mereka atas ketidakberdayaan akan menjadi bekal yang kokoh untuk terus melakukan perlawanan. Akan muncul simpul kewargaan yang mengorganisir diri secara organik karena keresahan yang sama. Masyarakat yang terus bersuara tentu akan meminimalisir penyimpangan dan penguasa yang ingin berbuat seenaknya. Sehingga, yang diperlukan saat ini adalah ‘bersuara aja dulu’.
ADVERTISEMENT