Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menguji RUU KUHAP: Antara Kepentingan Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM
7 Mei 2025 13:42 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nurus Syamsi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang dibahas DPR RI memantik perdebatan serius di kalangan akademisi dan praktisi hukum. RUU ini dianggap mengandung paradoks: di satu sisi ingin memperkuat penegakan hukum, tetapi di sisi lain justru berpotensi melemahkan perlindungan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Prof. Dr. Topo Santoso, Guru Besar Hukum Pidana UI, menyatakan bahwa "RUU ini justru berpotensi mengembalikan kita ke era represif dengan perluasan kewenangan aparat yang tidak diimbangi mekanisme pengawasan memadai" (Kompas, 15 Juni 2024).
Berdasarkan analisis komparatif dengan standar hukum pidana modern dan praktik di berbagai negara, setidaknya terdapat tiga aspek krusial yang patut dikritisi dari RUU KUHAP yang dianggap kontroversial.
1. Penyadapan Tanpa Pengawasan Judicial: Langkah Mundur dari Prinsip Due Process
Pasal 38-39 RUU KUHAP mengatur penyadapan cukup dengan izin atasan, tanpa mewajibkan persetujuan pengadilan. Padahal, sistem warrant yang diterapkan di AS (Fourth Amendment), Belanda (Wetboek van Strafvordering), dan Jerman (StPO) justru menempatkan pengadilan sebagai filter untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Tanpa mekanisme checks and balances ini, RUU KUHAP berisiko menjadi alat represif.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan, mengungkapkan "Ini bisa menjadi pintu masuk penyalahgunaan wewenang oleh aparat" (Hukumonline, 3 Juli 2024). Pendapat ini sejalan dengan analisis ICJR yang mencatat setidaknya 15 kasus penyalahgunaan penyadapan dalam 5 tahun terakhir (Laporan ICJR 2023).
2. Pelemahan Hak Bantuan Hukum: Ancaman terhadap Keadilan Prosedural
Pasal 57 RUU KUHAP memperbolehkan pemeriksaan tersangka tanpa pendampingan pengacara dalam kondisi tertentu. Ketentuan ini dianggap bertentangan dengan Miranda Rights di AS yang menjamin akses kepada penasihat hukum sejak awal pemeriksaan.
Kemudian juga dianggap bertentangan dengan prinsip fair trial dalam Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Selain itu, pasal ini juga dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 21/PUU-XII/2014 yang menegaskan tentang pentingnya pendampingan hukum.
ADVERTISEMENT
Erasmus Napitupulu, Direktur LBH Jakarta mengkritik "Dalam praktik, ketentuan ini akan dimanfaatkan untuk memaksa pengakuan, terutama terhadap masyarakat miskin yang tidak paham hukum" (Tempo, 20 Mei 2024). Data KontraS juga menunjukkan 67% kasus kekerasan dalam proses pemeriksaan terjadi ketika tersangka tidak didampingi pengacara (2023).
3. Inkonsistensi dengan Prinsip Presumption of Innocence
Yang ketiga, pada (Pasal 112) RUU KUHAP dianggap bertentangan dengan prinsip Presumption of Innocence dimanaperpanjangan masa penahanan hingga 120 hari dinilai tanpa kontrol ketat.
Hal ini bertentangan dengan, pembatasan 110 hari di Belanda yang harus mendapat persetujuan judisial. Di inggris, maksimal 96 jam (kecuali kasus tertentu) berdasarkan Police and Criminal Evidence Act 1984. Serta, Putusan MK RI yang menegaskan penahanan harus proporsional (Putusan No. 2/PUU-V/2007).
ADVERTISEMENT
Ahmad Fikri, Wartawan senior Hukumonline, dalam analisisnya menulis: "Perpanjangan masa penahanan hingga 120 hari tanpa kontrol ketat berpotensi menjadi alat kriminalisasi, terutama terhadap aktivis dan kelompok minoritas" (10 Juni 2024).
Pendapat ini diperkuat oleh penelitian Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) yang menemukan penyalahgunaan wewenang penahanan dalam 40% kasus korupsi (2024).
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas. Maka, penting bagi para legislatif untuk benar-benar mengkaji RUU KUHAP secara teliti agar RUU KUHAP tidak menjadi produk hukum yang regresif.
Selain itu, DPR RI juga perlu melakukan penguatan mekanisme judicial oversight untuk penyadapan dan penahanan, penegasan jaminan akses bantuan hukum sejak dini, serta harmonisasi dengan standar HAM internasional.
Prof. Romli Atmasasmita (Guru Besar Unpad) menyarankan pembentukan mekanisme judicial review untuk setiap penyadapan (Seminar Nasional FH Unpad, Mei 2024).
ADVERTISEMENT
Pembaruan KUHAP seharusnya mengakomodasi perkembangan paradigma hukum pidana modern yang menyeimbangkan kepentingan penegakan hukum dan perlindungan HAM. Tanpa koreksi mendasar, RUU KUHAP berpotensi menjadi instrumen hukum yang kontraproduktif bagi reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia.