Konten dari Pengguna

Potensi Dan Tantangan Indonesia Dalam Pemanfaatan Mineral Kritis

Nurus Syamsi
Aktivis Politik dan Demokrasi, Pengurus Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur Periode 2021-2023 & Periode 2024-2026. Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia Provinsi Jawa Timur Periode 2021-2025.
5 Mei 2025 14:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurus Syamsi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Potensi & Tantangan Indonesia Dalam Pemanfaatan Mineral Kritis. Sumber: ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Potensi & Tantangan Indonesia Dalam Pemanfaatan Mineral Kritis. Sumber: ChatGPT
ADVERTISEMENT
Mineral kritis (critical minerals) seperti nikel, kobalt, litium, dan logam tanah jarang (LTJ) telah menjadi fondasi transisi energi global dan membuat setiap negara berlomba-lomba untuk memanfaatkannya. International Energy Agency (IEA, 2021) memproyeksikan bahwa permintaan mineral ini akan mengalami peningkatan hingga 4–6 kali lipat pada 2040, didorong oleh revolusi kendaraan listrik (EV), energi terbarukan, dan teknologi digital.
ADVERTISEMENT
Posisi Indonesia dengan kekayaan mineralnya yang melimpah, jelas memiliki peluang strategis untuk memainkan peran kunci dalam rantai pasok global. Namun, menurut para ahli, potensi ini harus diimbangi dengan kebijakan yang tepat untuk mengatasi tantangan lingkungan, teknologi, dan tata kelola.
Untuk memahami lebih jauh, seberapa besar potensi dan apa saja tantangan yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya (SDA) khususnya mineral kritis penulis telah merangkum beberapa pendapat ahli sebebagai berikut:
Potensi Indonesia: Pandangan Ahli Tentang Peluang Strategis
1. Nikel dan Kobalt: Kekuatan Indonesia di Pasar Global
Indonesia memiliki 22% cadangan nikel dunia (USGS, 2023), menjadikannya pemain utama dalam industri baterai EV. Beberapa daerah penghasil bijih nikel di Indonesia adalah Sorowako (Sulawesi Selatan), Gebe (Halmahera), Luwu Timur (Sulawesi Selatan), Morowali (Sulawesi Tengah), Pomala (Sulawesi Tenggara), Tapunopaka (Sulawesi Tenggara), dan Tanjung Buli (Halmahera).
ADVERTISEMENT
Prof. Bambang Setiadi (Guru Besar Teknik Pertambangan ITB, 2022) menyatakan "Dengan kebijakan hilirisasi yang tepat, Indonesia bisa menjadi pusat produksi baterai global, tetapi kita harus mempercepat penguasaan teknologi pengolahan."
Selain itu, Dr. Filda Yusgiantoro (CSIS, 2023) juga mengatakan bahwa "Kita tidak boleh hanya menjadi penyedia bahan baku, tapi harus masuk ke manufaktur sel baterai dan recycling."
2. Logam Tanah Jarang (LTJ): Potensi yang Masih Terkendala
Indonesia memang memiliki deposit Logam Tanah Jarang (LTJ) yang signifikan, terutama di Bangka Belitung (Babel) dan Kalimantan, tetapi eksplorasi dan pemanfaatannya masih terbatas karena berbagai faktor teknis, regulasi, dan ekonomi.
Dr. Irwandy Arif (Kepala Badan Geologi, 2023) menjelaskan "LTJ kita belum tergarap optimal karena keterbatasan teknologi pemurnian. Perlu kerja sama dengan negara maju seperti Jepang atau Jerman." Sementara itu, hasil studi LIPI (2021) memperkirakan bahwa nilai ekonomi LTJ Indonesia bisa menyamai Tiongkok jika dikelola dengan baik.
ADVERTISEMENT
3. Proyeksi Nilai Tambah Hilir
Kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah dan dorongan hilirisasi (pengolahan mineral di dalam negeri) telah menjadi game-changer bagi perekonomian Indonesia, dengan dampak signifikan pada investasi, pertumbuhan PDB, dan penciptaan nilai tambah.
Larangan ekspor bijih nikel sendiri pertama kali diterapkan pada 2014 melalui (Permen ESDM No. 1/2014), tetapi dilonggarkan dengan syarat pembangunan smelter. Kemudian pada 2020, larangan total ekspor bijih nikel (UU Minerba 2020) berlaku efektif, memaksa perusahaan untuk mengolah nikel di dalam negeri.
Akan tetapi, tentu setiap potensi memiliki tantangannya sendiri. Dalam hal ini, para pakar menganalisis dan menyimpulkan beberapa tantangan senagai berikut:
Tantangan Menurut Analisis Pakar
1. Ketergantungan Teknologi Asing
ADVERTISEMENT
Dr. Herry Darwanto (BPPT, 2022) menekankan "Lebih dari 70% teknologi pemurnian nikel dan LTJ masih impor. Jika tidak berinvestasi dalam inovasi lokal, kita akan terus bergantung."
Sementara itu, laporan Harvard Kennedy School (2023) menyoroti bahwa Indonesia hanya menyumbang 5% nilai tambah global dari rantai baterai EV, masih jauh di bawah Tiongkok yang sebesar 45%.
2. Dampak Lingkungan dan Sosial
Dr. Dwi Sawung (Walhi, 2023) memaparkan "Pertambangan nikel di Halmahera dan Sulawesi telah menyebabkan kerusakan ekosistem dan konflik dengan masyarakat adat." Penelitian UI (2022) juga menemukan bahwa 40% tambang nikel tidak memenuhi standar AMDAL, sehingga kian meningkatkan risiko pencemaran lingkungan.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah, karena jika tidak maka ekonomi hijau yang digadang-gadang melalui energi terbarukan hanya akan menjadi angan semu belaka.
ADVERTISEMENT
3. Ketidakpastian Regulasi dan Pasar
Di sisi lain, ketidakpastian regilasi dan kondisi pasar yang tak menentu juga perlu mendapatkan atensi khusus. Dr. Pri Agung Rakhmanto (Reforminer Institute, 2023) mengkritik "Perubahan kebijakan ekspor yang terlalu sering menciptakan ketidakpastian bagi investor." Sementara, laporan CRU Group (2023) juga menunjukkan bahwa fluktuasi harga nikel bisa mengancam proyek hilirisasi jika tidak didukung dengan kebijakan stabil.
Mineral Kritis sebagai Penentu Masa Depan Ekonomi Indonesia
Setelah memahami semua potensi dan tantangan di atas, setidaknya dapat kita simpulkan bahwa para ahli sepakat bahwa Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam mineral kritis. Namun, harus segera mengatasi tantangan teknologi, lingkungan, dan kebijakan.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan industri, Indonesia dapat beralih dari eksportir bahan mentah menjadi pemain utama dalam ekonomi hijau global serta dapat mendorong Indonesia naik ke panggung utama perekonomian global.
ADVERTISEMENT