Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
QRIS Vs Dominasi AS: Pertarungan Kedaulatan Finansial Indonesia
13 Mei 2025 12:57 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Nurus Syamsi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) adalah sistem pembayaran digital berbasis QR code yang diluncurkan oleh Bank Indonesia (BI) pada 2019. Tujuannya adalah mempermudah transaksi, memperkuat inklusi keuangan, dan mengurangi ketergantungan pada sistem pembayaran asing. Data Bank Indonesia (2023) menunjukkan bahwa penggunaan QRIS telah melampaui 38 juta pengguna dan 24 juta merchant, dengan transaksi tumbuh lebih dari 300% sejak 2021.
ADVERTISEMENT
Menurut Dr. Perry Warjiyo (Gubernur BI), QRIS adalah bagian dari strategi "Indonesia Payment System Blueprint 2025" untuk memperkuat kedaulatan finansial dan mengurangi dominasi Visa/Mastercard yang menguasai 80% pasar pembayaran Indonesia (Bank for International Settlements, 2022).
Amerika Serikat melalui perusahaan pembayaran seperti Visa, Mastercard, dan PayPal memiliki kepentingan besar di pasar pembayaran global. Laporan Atlantic Council (2023) menyebutkan bahwa AS khawatir dengan kebijakan proteksionis digital seperti QRIS, yang dapat mengurangi pangsa pasar perusahaan AS.
Oleh karena itulah, AS kemudian melakukan beberapa bentuk tekanan AS terhadap QRIS. Seperti, lobi melalui USTR (United States Trade Representative). Dalam laporan "National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers" (2023), AS menyatakan kekhawatiran atas kebijakan BI yang "membatasi persaingan" dengan memprioritaskan QRIS.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, potensi ancaman pembatasan akses teknologi juga dapat dilakukan oleh AS. Dimana AS dapat membatasi akses Indonesia ke sistem clearing dollar (CHIPS) atau SWIFT jika dianggap mengancam kepentingan ekonominya. Atau bahkan seperti yang baru-baru ini terjadi, dimana AS melalui Presiden Trump mengumumkan kenaikan tarif impor AS sebesar 32% (sebelum negosiasi) dan 47% (setelah negosiasi).
Mantan Menko Perekonomian, Dr. Rizal Ramli mengungkapkan Jika tekanan AS terus meningkat, beberapa risiko yang mungkin dihadapi Indonesia adalah sanksi finansial. Seperti kasus Rusia yang dikeluarkan dari SWIFT, meski skenario ini mungkin terlalu ekstrem untuk Indonesia.
Selain itu, ada potensi perang sistem pembayaran. Dimana, AS bisa mendorong alternatif seperti FedNow (sistem real-time payment AS) untuk bersaing dengan QRIS di kawasan Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Dr. Yanuar Nugroho, Pakar Kebijakan Digital menyatakan bahwa QRIS masih bergantung pada infrastruktur cloud dan keamanan siber yang dikuasai perusahaan AS (Microsoft, Google), membuatnya rentan terhadap tekanan teknologis.
Untuk itulah, pemerintah perlu memperkuat kolaborasi regional. Misalnya, dengan integrasi QRIS dengan sistem pembayaran ASEAN seperti Thailand’s PromptPay atau Malaysia’s DuitNow.
Kemudian, mengembangkan infrastruktur lokal untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi AS dengan mengembangkan server dan standar keamanan dalam negeri (BSSN). Selain ktu, diplomasi ekonomi aktif juga harus dilakukan untuk menjaga hubungan dengan AS sambil memperkuat kerja sama dengan BRICS+ yang sedang mengembangkan alternatif SWIFT.
QRIS adalah terobosan strategis Indonesia di era digital, tetapi juga memicu ketegangan dengan AS yang ingin mempertahankan hegemoninya di sistem pembayaran global. Ancaman sanksi atau tekanan teknologi nyata, tetapi bisa diminimalkan dengan kebijakan yang berdaulat dan kolaborasi multilateral.
ADVERTISEMENT