Konten dari Pengguna

Childfree, Dinamika Kepribadian Seseorang Sehingga mengambil Keputusan Tersebut

Rekha Sahirah D
Seorang mahasiswi semester 2 dengan jurusan Psikologi di Universitas Al-Azhar Indonesia. Memiliki keinginan untuk menulis. Profesi : Mahasiswa Institusi Pendidikan : Universitas Al-Azhar Indonesia
21 Mei 2024 12:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rekha Sahirah D tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pandangan orang yang memilh childfree. Sumber : Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pandangan orang yang memilh childfree. Sumber : Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Manusia adalah makhluk biologis yang memiliki hasrat untuk meneruskan generasinya dengan cara memperoleh keturunan. Namun, ada beberapa pasangan yang tidak ingin mempunyai keturunan walaupun sudah menikah.
ADVERTISEMENT
Jika anda mengenal pasangan yang sudah menikah tapi tidak ingin memiliki anak, bisa saja pasangan tersebut memiliki keputusan untuk childfree.
Idealnya pasangan yang sudah menikah menginginkan buah hati atau anak untuk melengkapi dan menambah kebahagiaan dalam keluarga kecil mereka. Selain untuk melengkapi dan menambah kebahagiaan, memiliki anak juga berarti dapat meneruskan generasi keluarga tersebut. Tidak semua pasangan dapat langsung mendapat anak, banyak sekali pasangan yang butuh waktu bertahun-tahun untuk memiliki anak. Keberhasilan anak terkadang juga dapat menjadi sumber kebahagian orang tuanya. Dengan memiliki anak, ketika sudah tua pasangan tersebut bisa berharap anaknya mau menjaga mereka.
Nyatanya, tidak semua orang ingin memiliki anak di dalam keluarga mereka. Banyak pasangan yang memilih untuk childfree dengan berbagai macam alasan. Sebelum kita membahas lebih lanjut, saya akan menjelaskan apa itu childfree. Childfree atau tanpa anak adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup sebuah pasangan untuk tidak memiliki anak, baik anak kandung maupun anak angkat. Pengambilan keputusan untuk childfree pasti sudah dibicarakan oleh pasangan suami istri sebelum mereka menikah.
ADVERTISEMENT
Beberapa alasan pasangan memilih childfree :
1. Menghambat karir
Beberapa pasangan memiliki pemikiran bahwa memiliki anak dapat menghambat karir mereka, terutama dari pihak perempuan. Banyak hal yang ingin mereka capai dari segi karirnya tapi terhambat ketika memiliki anak.
2. Menghindari penurunan penyakit bawaan
Ketika salah satu atau kedua pasangan tersebut memiliki penyakit yang dapat diturunkan kepada anaknya, maka mereka lebih memilih untuk childfree. Mereka merasa tidak enak jika anaknya harus mengalami suatu penyakit hanya karena orang tuanya memiliki penyakit tersebut.
3. Resiko melahirkan yang sangat tinggi
Banyak ibu yang meninggal ketika sedang melahirkan, hal ini menjadi salah satu alasan pengambilan keputusan childfree karena mereka takut harus kehilangan pasangannya.
4. Masalah finansial
ADVERTISEMENT
Slogan banyak anak banyak rezeki mungkin sudah seringkali kita dengar. Dulu slogan tersebut dapat dipercaya karena semakin banyak anak maka semakin banyak yang bisa membantu para orang tuanya bekerja di sawah. Namun, di zaman sekarang slogan tersebut tidak bisa digunakan lagi. Biaya untuk membesarkan satu orang anak agar menjadi anak yang ‘berhasil’ sangatlah banyak sehingga sudah tidak cocok dengan slogan tersebut.
Perspektif psikologi kepribadian memandang seseorang yang memilih untuk childfree.
Ilustrasi pertengkaran orang tua. Sumber : Canva
Hal tersebut bisa saja terjadi karena salah satu mekanisme pertahanan yang dibentuk oleh dirinya. Salah satu mekanisme pertahanan adalah represi. Represi adalah mekanisme pertahanan ego yang menekan pikiran-pikiran yang mengamcam ke alam ketidaksadaran. Hal ini bisa terjadi pada orang yang mengalami trauma, banyak orang-orang yang mengalami trauma telah mengatasi ketakutannya dan terlihat dapat melakukan aktivitas seperti orang pada umumnya. Namun, ingatan tersembunyi (represi) tersebut sebenarnya terus mengajar dan menjangkiti mereka.
ADVERTISEMENT
Pasangan yang memilih untuk childfree bisa saja terjadi karena mereka mengalami hal yang tidak menyenangkan ataupun kekerasan ynag dapat membentuk trauma dalam pengasuhan orang tuanya. Walaupun mereka dapat mengatasi hal tersebut dan mungkin memiliki keingin untuk memiliki seorang anak, tetapi ketika represi tersebut mengajar mereka maka mereka mengurungkan niatnya tersebut.
Salah satu pembentuk identitas dan krisis ego yang dijelaskan oleh Erikson terdapat ‘rasa percaya vs rasa tidak percaya’. Dalam tahap ini, anak berusaha keras untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya sehingga dapat membentuk rasa mempercayai dan mengembangkan asa. Jika anak mengalami gangguan pada tahap ini, maka ia akan mnegembangkan rasa tidak percaya dan merasa terabaikan.
Pasangan yang memilih untuk childfree bisa saja terjadi karena mereka mengalami gangguan pada tahap tersebut, karena mereka memiliki rasa tidak percaya dan merasa terabaikan mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak. Mereka takut hal yang mereka alami dapat terulang kembali kepada anaknya secara tidak sadar.
ADVERTISEMENT
Kecemasan dasar (basic anxiety) adalah ketakutan akan ditinggal sendiri, tidak berdaya dan perasaan tidak aman yang seorang anak miliki. Friedman, n.d.) Anak yang memiliki kecemasan dasar di dalam dirinya bisa saja memilih untuk childfree, karena mereka tidak ingin rasa tidak aman tersebut dirasakan oleh anaknya dan mereka sendiri juga belum tau bagaimana cara untuk membesarkan seorang anak agar tidak memiliki hal yang sama. Karena ketidakaadaanya modeling ataupun seseorang yang bisa menjadi contoh mereka.
Pada dasarnya, ketiga teori tersebut menjelaskan bahwa orang tua merupakan faktor pembentuk keputusan childfree tersebut. Hal ini diperkuat oleh salah satu penlitian yang dilakukan pada wanita berusia 19 hingga 40 tahun. Tiga dari empat orang yang diteliti menyetujui bahwa pola asuh orang tua mereka yang dianggap tidak ideal karena menyebabkan trauma masa kecilnya menjadi hal mendasar pengambilan keputusan tersebut. Mereka sangat tidak ingin anaknya mengalami hal yang sama. ( et al., 2023)
ADVERTISEMENT
Walaupun childfree masih dianggap hal yang aneh di Indonesia, tetapi jika kita melihat orang di sekeliling kita yang memutuskan untuk childfree, cobalah untuk tidak mencemooh atau memojokkan orang tersebut. Bisa saja orang tersebut hanya butuh di rangkul dan dibantu untuk keluar dari zona yang ia takuti agar bisa melangkah lebih jauh lagi.
Daftar Pustaka
Febri, N., Rahayu, S., & Aulia, F. (2022). Keputusan Pasangan Subur Untuk Tidak Memiliki Anak. Journal Hermeneutika, 8(1), 20–33.
Friedman, H. (n.d.). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern.
Hanandita, T. (2022). Konstruksi Masyarakat Tentang Hidup Tanpa Anak Setelah Menikah. Jurnal Analisa Sosiologi, 11(1), 126–136. https://doi.org/10.20961/jas.v11i1.56920
Karana, A. C., & Christanti, F. D. (2023). Wanita Dewasa Awal Childfree: Tinjauan Psikokultural. Experientia: Jurnal Psikologi Indonesia, 11(2), 232–250. https://doi.org/10.33508/exp.v11i2.5172
ADVERTISEMENT
Komala, D., & Warmiyati D.W., M. T. (2022). Proses Pengambilan Keputusan Pada Pasangan Suami Istri Yang Memilih Untuk Tidak Memiliki Anak. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, Dan Seni, 6(1), 119. https://doi.org/10.24912/jmishumsen.v6i1.13536.2022
Siswanto, A. W., & Neneng Nurhasanah. (2022). Analisis Fenomena Childfree di Indonesia. Bandung Conference Series: Islamic Family Law, 2(2), 64–70. https://doi.org/10.29313/bcsifl.v2i2.2684