Mengakui Kesalahan

Rahman Tanjung
Widyaiswara Ahli Madya BKPSDM Kabupaten Karawang, Dosen STIT Rakeyan Santang Karawang
Konten dari Pengguna
15 April 2024 10:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahman Tanjung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi saling memaafkan dan mengakui kesalahan (sumber: pexels.com/Ketut Subiyanto)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi saling memaafkan dan mengakui kesalahan (sumber: pexels.com/Ketut Subiyanto)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
mohon maaf lahir dan batin ya pak, bu…”, ucap seorang tetangga setelah selesai menunaikan Salat Idul Fitri, sambil tak lupa saya dan Istri pun bersalaman dengan ucapan yang sama, “mohon maaf lahir dan batin juga ya pak
ADVERTISEMENT
Begitulah salah satu suasana yang mungkin dialami oleh hampir seluruh umat Islam di Indonesia saat perayaan Idul Fitri. Bahkan dua atau satu hari menjelang 1 Syawal, sudah banyak pesan masuk ke WhatsApp, yang isi pesannya adalah tentang ucapan mohon maaf lahir dan batin. Belum lagi setelah libur panjang Idul Fitri, ketika hari pertama masuk sekolah atau kerja, biasanya kita juga tak lupa untuk saling bermaafan saat bertemu dengan teman-teman.
Momen perayaan Idul Fitri memang begitu spesial, bukan hanya soal kumpul keluarga, makan bersama atau bagi-bagi uang kepada anak-anak di lingkungan keluarga maupun tetangga, tetapi juga momen selepas Idul Fitri tersebut. Hari itu, tidaklah menjadi ajang untuk memamerkan keangkuhan atau menonjolkan kesempurnaan, melainkan menjadi waktu untuk mengakui kelemahan dan memperbaiki diri. Tak terkecuali, kita semua menghadapinya dengan kerendahan hati, mengucapkan permohonan maaf lahir dan batin kepada siapa pun yang kita temui.
ADVERTISEMENT
Setelah Idul Fitri, tidak ada yang merasa benar, tidak ada yang menonjolkan kesempurnaan diri. Semua, dengan tulus dan tanpa malu, mengakui kekhilafan mereka, meminta maaf lahir dan batin. Ini adalah momen magis yang membuat hati-hati terbuka, meruntuhkan tembok-tembok ego, dan menebarkan semangat perdamaian.
Di tengah-tengah khidmat suasana Idul Fitri, terbesit rasa lega bahwa kini, tak ada lagi yang merasa berdiri di atas kesalahannya. Aura kerendahan hati dan kesediaan untuk memaafkan menjalar di seluruh negeri. Inilah momen ketika kita semua menyadari bahwa kehidupan adalah tentang belajar dan bertumbuh. Tak ada yang sempurna, tapi dengan bersama-sama, kita bisa menjadi lebih baik.
Tak hanya di rumah, tapi juga di lingkungan sekitar, dan bahkan di tempat kerja, suasana Idul Fitri memberikan "aura" yang membumi, membuat kita semua merasa nyaman untuk mengakui kesalahan dan memperbaiki diri. Ini bukan tentang menunjukkan siapa yang paling kuat atau paling hebat, melainkan tentang menjadi manusia yang lebih baik, lebih peka terhadap perasaan orang lain, dan lebih bersedia untuk berbagi maaf dan pengampunan.
ADVERTISEMENT
Setelah selama satu bulan penuh saat Ramadan kita sebagai Muslim menunaikan puasa dengan ibadah-ibadah lainnya, dan setelahnya saat Idul Fitri, kita seolah-olah masuk ke masa reset dalam kehidupan, di mana semua mulai kembali dari titik nol atau fitrah.
Menurut Udji Asiyah dalam bukunya yang berjudul "Dakwah Cerdas: Ramadan, Idul Fitri, Walimatul Hajj, dan Idul Adha", asal-usul kata "Id" berasal dari kata dasar "aada - yauudu", yang bermakna kembali, sementara kata "fitri" mengandung arti kesucian atau kebebasan dari dosa dan keburukan. Oleh karena itu, bisa dimaknai bahwa konsep Idulfitri mencerminkan arti mengembalikan diri kepada keadaan suci atau bersih dari segala dosa, sehingga manusia kembali kepada kesucian atau fitrahnya seperti saat pertama kali dilahirkan.
ADVERTISEMENT
Makna kembali ke fitri (suci, bersih) akan lebih terasa lagi ketika dibarengi dengan ucapan “mohon maaf lahir dan batin” yang sering diucapkan oleh kita sebagai Muslim saat bertemu dengan keluarga, kerabat, sahabat atau pun tetangga.
Di momen kebahagiaan Idul Fitri tersebut, kita semua merasa ikhlas ketika kita meminta maaf. Begitu juga dengan orang-orang yang kita temui atau kunjungi, mereka pun tanpa keterpaksaan menerima permohonan maaf kita dan bahkan tak malu juga untuk memohon maaf melalui ucapan yang sama. Aktivitas saling memaafkan ini mungkin akan menjadi hal yang sedikit sulit jika terjadi di hari-hari biasa, namun semangat Idul Fitri membuat kita malah seakan berlomba-lomba untuk mengakui kesalahan dengan sesama.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Chelsea L. Greer dan rekannya dari Virginia Commonwealth University, dilakukan sebuah tes untuk menguji sejauh mana partisipan penelitian akan memaafkan orang yang telah menyakiti perasaan mereka. Dalam penelitian itu, Greer dan timnya menciptakan situasi di mana pelaku yang menyakiti perasaan partisipan merupakan anggota dari komunitas keagamaan yang sama dengan partisipan penelitian.
ADVERTISEMENT
Hasil studi menunjukkan, bahwa semakin kuat keterikatan partisipan dengan agama mereka, maka semakin besar kemungkinan akan memaafkan pelaku yang berasal dari komunitas keagamaan yang sama. Greer dan koleganya, melalui konsep spiritualitas relasional (relational spirituality), percaya bahwa memberikan maaf kepada sesama pemeluk agama memiliki aspek yang sakral.
Hal ini menunjukkan bahwa pada momen Idul Fitri, ketika identitas sosial sebagai Muslim diangkat, hubungan antara peminta maaf dan penerima maaf mendorong hati seseorang untuk bersikap lapang dada dalam memberikan maaf atas kesalahan yang dilakukan.
Selain konsep spiritualitas relasional tersebut, Islam sebenarnya telah mengajarkan melalui Al Quran dan Hadis tentang saling memaafkan. Misalnya saja Firman Allah SWT dalam Quran Surat Asy-Syura ayat 43, yang artinya: “Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” Begitu juga dengan Sabda Rasulullah SAW, yang artinya: “Tidaklah Allah memberi tambahan kepada seseorang hamba yang suka memberi maaf melainkan kemuliaan” (HR. Muslim).
ADVERTISEMENT
Betapa indah dan damainya negeri ini jika semangat Idul Fitri dalam hal saling memaafkan tetap membekas dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja, kita akan hidup dalam masyarakat yang lebih harmonis dan penuh toleransi. Ketika setiap individu berani mengakui kesalahannya dan bersedia memperbaiki diri, konflik-konflik yang tak perlu bisa dihindari. Inilah panggilan untuk menjaga "aura" Idul Fitri tidak hanya saat Lebaran, tapi setiap hari, sebagai bagian tak terpisahkan dari jati diri kita.
Jadi, mari kita jadikan Idul Fitri sebagai titik tolak untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang tidak takut mengakui kesalahan dan belajar dari mereka. Seperti yang dikatakan oleh Winston Churchill, "Semua orang membuat kesalahan, tapi hanya orang bijak yang belajar dari kesalahan mereka."
ADVERTISEMENT
Biarkan semangat maaf dan pengampunan mengalir dalam setiap interaksi kita, menjadikan dunia ini tempat yang lebih ramah dan hangat. Sesungguhnya, kebesaran seseorang bukanlah pada kesempurnaannya, melainkan pada kemampuannya untuk tumbuh dan memperbaiki diri. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, dan selamat memulai perjalanan menuju kebaikan yang lebih besar!