Self Harm dan Komunikasi Sayatan Lengan

Rahman Tanjung
Widyaiswara Ahli Madya BKPSDM Kabupaten Karawang, Dosen STIT Rakeyan Santang Karawang
Konten dari Pengguna
15 Maret 2023 11:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahman Tanjung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Saat Menengok Bayi Adik Saya di Rumah Sakit 4 Maret 2023 (Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Saat Menengok Bayi Adik Saya di Rumah Sakit 4 Maret 2023 (Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Siang itu kebetulan saya dan keluarga sedang berkunjung ke rumah adik yang baru melahirkan anak ketiganya. Tiba-tiba terdengar tangisan bayi di kamar belakang rumahnya, sehingga saya pun bergegas menghampiri sang bayi dan berusaha menggendongnya.
ADVERTISEMENT
Neng, ini kayaknya haus dede bayinya,” ucap saya kepada adik yang sedang memasak. Kemudian dia mengambil bayi dalam gendongan saya sambil berkata, “gak A, ini barusan dah disusui kok, kayaknya si dedenya pup deh, mau diganti dulu popoknya”.
Ternyata kalau kita tidak memahami cara bayi berkomunikasi, maka tindakan yang akan diambil mungkin tak akan sesuai dengan yang diinginkan sang bayi. Terbukti setelah bayi itu dibersihkan dan diganti popoknya dia pun tidak menangis lagi dan langsung tertidur kembali.
Dari kejadian tersebut saya jadi teringat dengan berita yang saat ini tengah viral, yaitu tentang 52 siswa SMP Negeri di Bengkulu Utara yang melukai diri sendiri berupa sayatan pada lengannya menggunakan benda tajam seperti silet, pisau cutter, atau pecahan kaca.
Ilustrasi anak praremaja stres. Foto: Shutterstock
Saat ini kasus tersebut selain mendapat perhatian dan penanganan dari sekolah terkait, juga sedang ditangani oleh pihak Polres Bengkulu Utara dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan Anak (PPA) Provinsi Bengkulu
ADVERTISEMENT
Dalam istilah kesehatan, perilaku para siswa tersebut dapat disebut sebagai Self Harm. Mengacu pada artikel ilmiah dari World Health Organization (WHO) tahun 2015 dan National Institute for Health and Care Excellence (NICE) tahun 2016, Self Harm diartikan sebagai sebuah perilaku seseorang yang menyakiti diri sendiri melalui berbagai cara tanpa melihat ada atau tidaknya niat serta keinginan untuk mati.
Perilaku tersebut biasanya sering terjadi pada sebagian remaja dengan menyakiti dirinya sendiri, seperti: menggores, menyayat kulit, membakar sebagian area kulit, memukul diri sendiri, hingga membenturkan kepalanya ke dinding
Mungkin saja apa yang dilakukan para siswa SMP di Bengkulu tersebut merupakan bentuk komunikasi mereka untuk mengungkapkan atau menunjukkan sesuatu kepada pihak sekolah atau pun orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Kalau sudah ada kejadian seperti ini, salah siapa ya? Orang tua, sekolah, si anak, atau media.

Medsos dan Ungkapan Kekesalan

Ilustrasi dampak buruk medsos bagi anak. Foto: myboys.me/Shutterstock
Berbagai sumber informasi baik dari media televisi maupun media online, menyebutkan bahwa yang dilakukan para siswa dengan melukai lengannya dikarenakan faktor media sosial dan ada juga dari sebagian mereka yang mempunyai masalah serta menganggap hal itu adalah cara untuk menunjukkan bahwa mereka memerlukan perhatian.
Beberapa dari mereka beralasan perilaku menyayat atau menggoresi lengan tersebut hanya untuk konten media sosial saja, karena saat ini hal itu seolah sudah menjadi salah satu tren di media sosial.
Bahkan pernah ada sebuah artikel yang menceritakan tentang pengakuan seorang anak muda yang melakukan Self Harm karena mengikuti tutorialnya di sebuah media sosial.
ADVERTISEMENT
Selain itu, disebutkan juga oleh pihak UPTD PPA Provinsi Bengkulu bahwa tidak menutup kemungkinan kasus Self Harm yang dilakukan para siswa tersebut merupakan cara dari mereka untuk lari dari masalah, mencari jati diri atau hanya sekadar menginginkan perhatian.
Namun, perlu untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut terkait apa yang menjadi motif utama ke 52 siswa tersebut melakukan tindakan Self Harm.
Oleh karena itu, diperlukan konseling khusus untuk mendalami motif yang membuat mereka melakukan tren yang tidak biasa tersebut.
Saat ini telah dilakukan pendampingan oleh PPA Bengkulu Utara dan pengawasan oleh PPA Provinsi Bengkulu terhadap 52 siswa SMP tersebut.

Virgo and The Sparklings

Konferensi pers film Virgo and The Saprklings, XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, Rabu (11/1) Foto: Giovanni/kumparan
Melihat kasus Self Harm yang viral tersebut, kita dapat mengambil sedikit pembelajaran yang tersirat dalam film Virgo and The Spraklings yang saat ini masih tayang di beberapa bioskop di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di film tersebut dikisahkan ada beberapa teman dari Riani sang tokoh utama yang diperankan oleh Adhisty Zara mengalami masalah komunikasi dengan orang tuanya masing-masing. Mereka tidak berani mengungkapkan apa yang mereka inginkan, karena takut ditolak oleh orang tuanya. Sehingga memilih menyimpannya sendiri di hati, walaupun di sepertiga bagian akhir film, mereka mengatakan juga apa yang menjadi keinginannya serta orang tua mereka mau mengerti dan menerima.
Ada juga kisah sang tokoh antagonis Carmine yang diperankan oleh Mawar de Jongh yang melakukan perbuatan jahat dengan menebarkan virus kebencian anak terhadap orang tua mereka melalui perantara suaranya. Perbuatan jahat Carmine didasari trauma masa kecilnya yang selalu dibentak dan tidak pernah didengarkan suaranya oleh ortunya.
ADVERTISEMENT
Dari film tersebut dapat disimpulkan bahwa anak-anak harus punya keberanian untuk berkata jujur tentang apa yang mereka inginkan kepada orang tuanya, dan begitu juga orang tua harus mau bertanya dan mendengarkan apa yang menjadi keluh kesah atau keinginan anaknya.

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Ilustrasi kedekatan orang tua dan anak. Foto: LightField Studios/Shutterstock
Jika kita anggap bahwa kasus penyayatan lengan sendiri oleh siswa SMP Negeri Bengkulu Utara merupakan akibat dari faktor komunikasi yang salah antara orang tua dan anak, maka perlu diterapkan bagaimana melakukan komunikasi yang efektif antara keduanya.
Kita dapat belajar dari kisah Contoh komunikasi yang baik antara orang tua dan anak dalam Islam dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Zeni M. Mizani yang berjudul Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Islam (2017), dijelaskan bahwa Nama Ibrahim dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 69 kali pada 63 ayat dan menjadi nama Surah ke 14, sedangkan nama Nabi Isma’il disebut sebanyak 12 kali pada 12 ayat.
ADVERTISEMENT
Pada penelitian itu disebutkan dari beberapa ayat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi yang dilakukan Nabi Ibrahim dengan Nabi Isma’il adalah komunikasi interaksional-dialogis-humanis.
Dikatakan interaksional karena komunikasi yang dilakukan tidak sepihak. Nabi Ibrahim dan Isma’il saling aktif, reflektif dalam memaknai dan mengartikan pesan yang tersirat dalam mimpi nabi Ibrahim.
Komunikasi dialogis di antara mereka berdua telah membantu untuk melatih argumentasi, kesabaran, ketangguhan serta keteguhan untuk patuh dalam menjalankan perintah Allah dan membuktikan ketaatan kepada orang tua. Sedangkan komunikasi humanis, dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap Nabi Ismail dengan tujuan memanusiakan manusia agar patuh kepada perintah Allah SWT.
Selain itu, disebutkan juga dalam penelitian tersebut bahwa Nabi Ibrahim menerapkan komunikasi demokratis terhadap putranya, dengan terlebih dahulu memahami kejiwaan Ismail terkait bagaimana kesanggupannya dalam menjalankan perintah Allah SWT.
ADVERTISEMENT